IDULFITRI yang akan datang, untuk Indonesia, insya Allah jatuh pada hari Senin 9 Juni. Itu tercantum di penanggalan berdasarkan perhitungan, tentu, alias hisab. Tapi berdasarkan perhitungan maupun penyaksian munculnya bulan secara langsung (rukyat), bisa ditebak tak ada yang akan berlebaran hari Selasa - mengingat bahwa dengan penentuan hari Senin itu puasa kita sudah berumur 30 hari. Juga tak ada yang berlebaran hari Ahad - misalnya berdasar rukyat - mengingat bahwa, menurut hisab tadi, bulan baru bisa dilihat di hari Ahad dan belum lagi pada Sabtu sore. Malahan menurut As-Subky, ulama klasik dari mazhab Syafi'i, bila ada yang mengaku menyaksikan bulan pada saat yang, menurut hisab, bulan belum bisa dilihat, kesaksiannya tertolak. Begitu mutlaknya hisab itu, bukan, untuk penentuan tanggal? Itulah sebabnya, agaknya, untuk Ramadan kemarin Departemen Agama sudah dari jauh hari menetapkan tanggal permulaannya: Sabtu 10 Mei. Dan, terbukti, tidak seorang pun di tanah air - yang diketahui, atau yang memegangi kepercayaan yang waras - yang memulai puasa Jumat atau Ahad. Tapi keputusan itu pulalah yang mendapat reaksi dari pihak Nahdatul Ulama. Lho? Soalnya, bagi NU, bukan kesamaan hari itu yang penting tapi proses mencapai keputusan itu, yang semata-mata berdasar hisab. Itulah sebabnya PBNU, dalam surat yang ditandatangani K.H. Rodhi Sholeh dan K.H. Hamid Wijaya sebagai rais awal dan katib 'am Syuriah, empat hari sebelum tanggal 1 Puasa, mempertanyakan keabsahan prosedur penentuan itu kepada Menteri Agama. Jangan lupa, Munas NU di Situbondo, akhir Desember 1983, meneguhkan pegangan mereka kepada rukyat itu. Kapan saja pemerintah menetapkan awal Ramadan atau Syawal hanya berdasarkan hisab, demikian keputusan Munas, ketetapan pemerintah itu tak wajib diikuti - meski "tak wajib" berarti boleh, kata seorang ulama NU yang tak mau disebut namanya. Ketegaran NU itu bukan hanya berdasar pemahaman hadis Nabi menurut bunyinya. Tapi juga kenyataan bahwa di antara empat imam mahab fiqh, hanya Syafi'i yang bisa menerima hisab - itu pun hanya untuk pengamalan orang per orang, bukan untuk diumumkan. Itulah sebabnya NU punya berbagai pesantren yang mengajarkan hisab, dengan alat tradisionalnya yang terkenal, seperti rubu', dan dengan hasil perhitungan - untuk kalangan terbatas - yang kadang berbeda dari hasil rukyat. Tapi secara umum para imam memihak rakyat - sehingga ucapan seperti dari As-Subky di atas memang terhitung menyendiri. Bagi Departemen Agama, pengumuman Menteri bertanggal 2 Mei itu, yang merupakan hasil rapat Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama di pertengahan April (dihadiri 12 anggota ahli hisab, antara lain K.H. Rodhi Sholeh sendiri), sudah merupakan kesepakatan berbagai pihak: selain badan Departemen Agama itu sendiri juga pihak-pihak Metereologi, Oseanografi TNI AL Planetarium, di samping Almanak Muhammadiyah dan Almanak NU, misalnya, dan Komisi Penyatuan Kalender Hijriah Internasional yang berkedudukan di Turki. Lagi pula, penentuan tanggal berdasar hisab bukan hal baru. Menteri-menteri K.H.A. Wahib Wahab (1962), K.H. Saifuddin Zuhri (1967), K.H.M. Dahlan, (1968), ketiga-tiganya menteri-menteri NU dan Prof. Mukti Ali (1973,1974, dan 1976, melakukan hal yang sama - sebelum Menteri Munawir Sjadzali sejak 1983. "Tapi putusan apa pun dari Departemen Agama di tahun-tahun lalu tak pernah diumumkan jauh-jauh hari sebelumnya," kilah Rodhi Sholeh. Selalu pada malam setelah tanggal. "Jika sudah disiarkan sebelumnya, praktis tidak akan lagi dilakukan rukyat," kata Kiai Rodhi pula. Apalagi memang dikatakan oleh Muchtar Zarkasyi, S.H., Direktur Pembinaan Peradilan Agama Islam, "Untuk apa rukyat lagi, kalau sudah jelas diketahui?" Muchtar sendiri berkeyakinan, mata kita ini bisa salah. "Sekarang ini pandangan mata sudah kalah dari pandangan ilmu yang lebih eksak". Rodhi, sebaliknya, menunjuk pada hasil para ahli hisab yang, betapapun kecil sekali selisihnya, berbeda-beda. Belum lagi kriteria yang berlainan, di antara ahli hisab sendiri, mengenai kapan sebuah tanggal bermula: apakah ijtima' (konjungsi bulan dan matahari) dihitung sebelum fajar, dengan konsekuensi bahwa hari sesudah fajar langsung dihitung tanggal satu, ataukah dihitung sebelum magrib, dengan konsekuensi tanggal satu baru besoknya lagi. Dan bila sebelum magrib, haruskah besarnya bulan di atas ufuk melewati derajat yang memungkinkannya dilihat mata lewat rukyat. Bagi Departemen Agama, ancer-ancer bahwa bulan, di saat magrib, harus berada di atas ufuk dengan ukuran yang bisa dilihat mata (menurut komisi internasional di Istanbul itU:5 ), siapa tahu diharapkan sebagai semacam ajang pertemuan antara pihak-pihak hisab dan rukyat. Sebab, dalam derajat itu, bulan sudah dapat dirukyat, walaupun rukyat mungkin gagal karena mendung, misalnya. Malangnya, oleh pihak rukyat, dalam keadaan terakhir itu yang dipegangi adalah kalimat Nabi: bila hari mendung, lengkapkan saja hitungan bulan sebelumnya menjadi 30 hari. Maju-mundur, masalahnya tetap di situ-situ. Syu'bah Asa Laporan Musthafa Helmy & Choirul Anam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini