Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penelitian YLKI, CIVAS, dan WAP menunjukkan adanya kekebalan ternak unggas terhadap antimikroba.
Kondisi itu dapat membentuk bakteri super yang kebal terhadap antibiotik.
Penelitian terbaru di Inggris dan Polandia menunjukkan kondisi serupa.
PENELITIAN Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies bekerja sama
dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia tahun lalu menemukan bakteri Escherichia coli dalam daging ayam potong telah kebal terhadap sejumlah antibiotik. Riset yang didanai World Animal Protector Indonesia ini mengambil sampel dari rumah potong hewan unggas di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, serta gerai di Bogor, Jakarta Selatan, dan Tangerang Selatan. Identifikasi bakteri dan tes kepekaan antibiotik dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.
Rully Prayoga, Campaign Manager World Animal Protection Indonesia, mengatakan kajian ini membuktikan pemberian antibiotik berlebihan pada ternak bisa memicu resistansi antimikroba. Hasil riset ini menegaskan kekhawatiran Badan Kesehatan Dunia (WHO) akan “badai” resistansi antimikroba di seluruh dunia. Menurut Rully, penggunaan antibiotik pada ayam potong disebabkan oleh tata laksana kesejahteraan hewan yang tak dilaksanakan dengan baik. "Kalau sekam kandang diganti tiap sepuluh hari, ayam menjadi lebih segar sehingga tak perlu antibiotik," katanya.
Dalam laporan berjudul “Studi Resistensi Antimikroba dalam Rantai Pangan Ayam Potong 2021” itu disebutkan metode studi ini adalah menguji kepekaan bakteri E.coli yang terkandung dalam sampel daging ayam terhadap lima jenis antibiotik, yaitu ciprofloxacin, colistin, meropenem, sulfamethoxazole, dan chloramphenicol. WHO mengklasifikasikan lima antibiotik ini sebagai pilihan terakhir dalam pengobatan manusia. Antibiotik tersebut diberikan untuk mengatasi infeksi telinga tengah, saluran pernapasan, lapisan perut, saluran kencing, saluran pencernaan, dan mata serta infeksi kulit parah.
Rully mengatakan riset itu bermula dari isu mengenai kesejahteraan hewan ternak, terutama ayam broiler. "Ayam broiler ini sangat industri, waktu panennya 27 hari dengan target berat rata-rata 1,4 kilogram. (Diduga tingkat) penggunaan obat-obatan juga menjadi tinggi," ucapnya. Apabila salah satu standar tidak terpenuhi, ayam menjadi mudah sakit. Riset tersebut dilakukan sepanjang November 2020-Mei 2021 dengan mengambil 120 sampel yang berasal dari rumah pemotongan hewan unggas, beberapa gerai di Bogor, dan supermarket. Selain itu, sampel diambil langsung dari tiga peretail.
Hasil tes kepekaan antibiotik di laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner menemukan hampir 60 persen bakteri E. coli yang terdapat dalam sampel resistan atau kebal terhadap antibiotik colistin. Menurut Rully, penggunaan colistin yang diduga melebihi ketentuan itu terjadi karena kadar amoniak yang tinggi di dalam kandang akibat peternak tidak rutin mengganti sekam. "Solusinya peternak menghajar dengan memberikan antibiotik," ujarnya.
Resistansi terhadap colistin paling banyak ditemukan dalam sampel karkas (daging ayam) yang dikumpulkan dari rumah pemotongan hewan unggas. Sebanyak 69 persen sampel kebal terhadap antibiotik tersebut. Selain itu, dalam sampel karkas yang dikumpulkan dari rumah pemotongan hewan unggas ditemukan resistansi terhadap antibiotik ciprofloxacin sampai 20 persen. Secara keseluruhan, Rully menambahkan, dari total 120 sampel yang diambil, hanya tiga yang tidak memiliki resistansi terhadap antibiotik.
Tidak hanya abai terhadap ketetapan dosis antibiotik, Rully melanjutkan, peternak juga memberikan antibiotik pada ayam yang tidak sakit. "Ayam yang sakit satu, tapi yang diberi antibiotik satu kandang," katanya. Alasannya adalah mencegah ayam yang lain ikut sakit. Selain itu, antibiotik kerap diberikan peternak sebagai doping pertumbuhan agar ayam yang tidak berselera makan dapat pulih.
Padahal, menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, antibiotik diklasifikasikan sebagai jenis obat yang dilarang digunakan sebagai imbuhan pakan hewan. Antibiotik hanya dapat dipakai untuk keperluan kesehatan atau pengobatan hewan dengan jangka waktu pemberian maksimal tujuh hari. Selain itu, antibiotik harus diberikan di bawah pengawasan dokter hewan.
Rully menjelaskan, penyalahgunaan antibiotik berupa penggunaan dalam dosis besar dapat menyebabkan resistansi antimikroba. Dalam kondisi itu, bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik. Bahayanya, bakteri ini bisa menjangkau manusia melalui jalur rantai makanan yang telah terkontaminasi atau berkontak langsung dengan hewan yang terkontaminasi bakteri super itu.
Technical Officer WHO Indonesia Mukta Sharma mengatakan, secara global, penggunaan antimikroba yang berlebihan terhadap manusia, hewan, dan tumbuhan mempercepat perkembangan dan penyebaran resistansi antimikroba di seluruh dunia. Studi WHO memperkirakan lebih dari 4,9 juta orang meninggal di 204 negara di seluruh dunia pada 2019, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena infeksi bakteri yang tidak dapat ditangani lagi dengan antibiotik karena adanya resistansi.
Menurut Sharma, konsekuensi resistansi antimikroba adalah pasien yang mengalami kondisi tersebut harus menghadapi sakit berkepanjangan dan durasi pengobatan yang lebih lama. Hal itu pun berpengaruh pada kesehatan mental pasien. "Mereka juga menanggung stigma sosial dan beban keuangan yang lebih tinggi. Kondisi ini bisa dihindari dengan beraksi bersama sekarang," tutur Sharma dalam acara pengarahan media bertajuk "Resistensi Antimikroba Si Pandemi Senyap" di Jakarta, Rabu, 12 Oktober lalu.
Badan Pangan Dunia (FAO) memperkirakan dalam satu dekade, jika tidak ditangani dengan cermat, resistansi antimikroba dapat memaksa 24 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem serta meningkatkan angka kelaparan dan kekurangan gizi. Penggunaan antimikroba di bidang pertanian disebut-sebut berkontribusi menyebarkan resistansi antimikroba. "Resistansi antimikroba bisa menyebar di antara inang dan lingkungan yang berbeda, dan mikroorganisme yang sudah resistan terhadap antimikroba dapat mencemari rantai pangan," kata Luuk Schoonman, Chief Technical Advisor FAO Indonesia.
Sebuah laporan riset yang diterbitkan di jurnal Nature pada April 2022 menunjukkan adanya multiresistansi antimikroba pada ayam potong di Inggris dan Polandia. Dalam penelitian, itu, sampel dikumpulkan sepanjang November 2019-Maret 2020. Sebanyak 16 dari 23 sampel kotoran yang diuji dengan E. coli menunjukkan multiresistansi terhadap antimicrobial peptide, doxycycline, ciprofloxacin, amoxicillin-clavulanic acid, dan gentamicin.
Untuk mencegah penyalahgunaan antibiotik, Kementerian Pertanian telah mengeluarkan aturan yang melarang pemakaian antibiotik pemacu pertumbuhan (AGP) dalam pakan untuk peternakan ayam potong. Pelarangan itu tertuang dalam Undang-Undang Peternakan, juga Undang-Undang Kesehatan. Kementerian Pertanian juga melarang penggunaan meropenem, chloramphenicol, dan colistin melalui keputusan nomor 9736 tahun 2020.
YAZIS (MAGANG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo