Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Tersebab Kata Potensi Karbon

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menegur dua LSM di dua taman nasional karena dugaan perdagangan karbon. Siapa mereka?

31 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Patroli hutan di kawasan Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara, Maret 2017./Dok TN Batang Gadis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kementerian Lingkungan Hidup menegur dua lembaga swadaya masyarakat internasional yang berada di Taman Nasional Sebangau dan Batang Gadis.

  • Dipicu oleh kata potensi karbon dalam publikasi di siaran pers dan situsnya.

  • Kementerian dinilai sedang sensitif soal karbon karena terkait dengan pemenuhan komitmen Perjanjian Paris.

KABAR yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Kamis, 8 Juli lalu, itu menjadi pergunjingan ramai di kalangan aktivis lingkungan. Dalam siaran pers yang mengutip pernyataan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno itu dikatakan bahwa Kementerian menghentikan program perdagangan karbon dua lembaga swadaya masyarakat internasional di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, dan Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Alasan penghentian adalah program itu tak sesuai dengan prosedur dan melanggar aturan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Langkah ini, mengutip Wiratno, mengikuti arahan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bahwa prioritas utama Indonesia adalah mengerahkan seluruh sumber daya untuk memenuhi target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC) Indonesia. Kegiatan ilegal seperti itu juga akan berakibat fatal karena berpotensi menimbulkan penghitungan ganda terhadap target NDC Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Target NDC Indonesia untuk pengurangan emisi gas rumah kaca sesuai dengan Perjanjian Paris 2010-2020 adalah 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional. Dalam pembaruan NDC 2020-2030 yang dikirimkan pemerintah kepada komite Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCC) pada 21 Juli lalu, Indonesia tak mengubah target tersebut. Pemerintah juga mengirimkan strategi jangka panjang sampai 2050.

Kabar dari Manggala Wanabakti—kantor Kementerian Lingkungan Hidup di Jakarta—yang tak menyebutkan secara jelas nama lembaga yang memiliki program karbon di dua taman nasional tersebut menjadikan banyak aktivis lingkungan bertanya-tanya. Berdasarkan informasi yang didapatkan Tempo, dua lembaga yang diklarifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena persoalan perdagangan karbon ini adalah Conservation International di Batang Gadis dan Borneo Nature Foundation (BNF) Indonesia di Sebangau.

Wiratno, yang dimintai konfirmasi melalui telepon dan pesan pendek pada Jumat, 30 Juli lalu, tak menjawab saat ditanyai apakah dua lembaga tersebut yang melakukan perdagangan karbon atau memiliki indikasi ke arah itu. Penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Wahjudi Wardojo, juga menampik saat ditanyai apakah LSM tersebut yang dimaksud. “Idenya bagus. Seharusnya jelas disampaikan bahwa program ini adalah mendukung Indonesia dalam rangka pencapaian NDC,” katanya, Kamis, 29 Juli lalu.

Kepala BNF Indonesia Juliarta Bramansa Ottay mengaku terkejut mendengar informasi tentang penghentian program perdagangan karbon antara taman nasional dan lembaga swadaya masyarakat internasional itu. Ia mengaku mendapat banyak pertanyaan dari kolega perihal kegiatan lembaganya di taman nasional yang luasnya lebih dari 500 ribu hektare itu. “BNF kan lembaga lokal,” ujarnya. Namun ia membenarkan kabar bahwa lembaganya dimintai klarifikasi oleh Kementerian karena persoalan potensi karbon.

Cikal-bakal BNF Indonesia, kata Juliarta, merujuk pada kerja sama tahun 1999. Saat itu, ada kegiatan penelitian oleh peneliti Inggris yang bekerja sama dengan Universitas Palangka Raya melalui program Orangutan Tropical Metland Project. Area penelitian kampus itu kemudian masuk kawasan taman nasional pada 2004 saat Menteri Kelautan menetapkan Taman Nasional Sebangau pada 10 Oktober 2004. Yayasan BNF Indonesia akhirnya didirikan pada 2016.

Menurut Juliarta, ada juga lembaga BNF internasional yang isinya banyak dosen Inggris. Kedua organisasi ini sebetulnya terpisah meski memakai situs web yang sama. “Kami menyebutnya sister organization,” ucap Juliarta. BNF Indonesia kemudian membuat perjanjian kerja sama dengan Taman Nasional Sebangau pada 2019.

Selain memiliki program di Taman Nasional Sebangau, BNF Indonesia mempunyai program dengan institusi lain. Fokusnya adalah penelitian terhadap orang utan dan gambut, pengolahan lahan di bekas kanal pengeluaran kayu, serta penanaman kembali. BNF Indonesia juga menggagas program masyarakat peduli api. Selain itu, ada banyak kegiatan penelitian, konservasi, dan pengolahan kawasan. Juga ada program edukasi rumah baca dan ekowisata.

Pada awal tahun ini, kata Juliarta, Kementerian pernah mengingatkan BNF Indonesia melalui telepon soal unggahan informasi tentang Sebangau dan pemasangan logo KLHK di situs web mereka. Namun surat teguran resmi baru diterima via e-mail pada 25 Juni lalu. Pemicu surat itu adalah tayangnya infografis di situs lembaga yang berkantor pusat di Palangka Raya tersebut. Dalam infografis itu disebutkan BNF Indonesia bekerja menyelamatkan 6.000 orang utan dan informasi tentang potensi karbon sebesar 2 gigaton setara karbon dioksida (CO2).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menilai informasi dalam infografis BNF Indonesia itu klaim yang berlebihan. Dari informasi yang diterima Juliarta, ada kekhawatiran jika potensi karbon itu diklaim oleh pihak ketiga, orang lain, atau pendukung BNF. Menurut Juliarta, infografis itu dipasang di situsnya sebagai upaya pemasaran agar orang tahu apa yang dikerjakan BNF. “Kami salah (menggunakan) kata-kata,” tuturnya.

Dalam surat dari Direktorat Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem itu, BNF Indonesia diingatkan bahwa kegiatan yang dilakukan di Taman Nasional Sebangau harus dikonsultasikan dulu, termasuk pemasangan logo Kementerian. Untuk memuat informasi di media sosial juga harus berdasarkan data dan informasi di lapangan. “Pesan lain: jangan overclaim,” kata Juliarta. BNF menjawab surat itu pada 29 Juni lalu dan menyatakan persetujuan mengikuti arahan. “Ini konsekuensi dari perjanjian kerja sama,” tuturnya.

Kegiatan membersihkan alur Sungai Sebangau, oleh Balai Taman Nasional Sebangau dan masyarakat Kereng Bangkirai dibantu WWF-Id Kalteng, di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, Agustus 2017./ksdae.menlhk.go.id

Setelah menjawab surat itu, Juliarta merasa masalahnya sudah selesai. Tapi tiba-tiba muncul siaran pers pada 8 Juli yang menyebutkan penghentian program karbon dengan LSM internasional. Dari siaran pers itu, Juliarta melihat bahwa salah satu yang menjadi perhatian besar Kementerian adalah soal NDC. “Memang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang sangat sensitif soal NDC,” katanya.

Kepala Balai Taman Nasional Sebangau Andi M. Khadafi memilih tak berkomentar banyak tentang apa saja aktivitas BNF Indonesia di kawasan taman nasional, termasuk klarifikasi yang disampaikan BNF kepada pihaknya. “Kami hanya membenarkan bahwa memang (BNF) sudah melakukan klarifikasi,” ucap Andi saat dihubungi pada Rabu, 28 Juli lalu.

Potensi karbon pula yang membuat Conservation International (CI), yang bekerja di Taman Nasional Batang Gadis, mendapat klarifikasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada akhir Juni lalu. CI adalah organisasi nonprofit yang berdiri pada 1987 dan berkantor pusat di Virginia, Amerika Serikat. Menurut situsnya, CI selama ini memiliki program membantu pemerintah daerah mengembangkan kajian lingkungan yang berguna sebagai dasar pembangunan berkelanjutan. Mereka juga mendukung pemerintah lokal menjaga kawasan hutan yang bermanfaat bagi perekonomian masyarakat dan rumah untuk satwa liar.

Selain itu, ada kerja sama dengan kesatuan pengelolaan hutan dan beberapa kegiatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Namun yang menjadi pertanyaan Kementerian adalah soal kerja sama dengan perusahaan kosmetik merek Dove yang di dalamnya menyebut kata “potensi karbon”. Dalam siaran persnya pada 3 Juni lalu, Dove mengumumkan Proyek Restorasi Hutan Dove. Proyek ini untuk meningkatkan mata pencarian lebih dari 16 ribu orang di Sumatera Utara.

Proyek ini juga dirancang buat memulihkan hutan, melindungi habitat spesies yang terancam punah, dan mempromosikan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Dalam siaran pers itu, Dove menyebutkan selama lima tahun ke depan akan melindungi dan merestorasi 20 ribu hektare hutan—setara dengan 3 juta pohon—di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal, Sumatera Utara. Inisiatif ini diproyeksikan akan menangkap lebih dari 300 ribu ton CO2 dari udara dan menghindari pelepasan lebih dari 200 ribu ton emisi CO2.

Kepala CI di Indonesia, Meizani Irmadhiany, tak menjawab banyak saat ditanyai program lembaganya di Taman Nasional Batang Gadis, termasuk kerja sama dengan Dove. “Kami sedang berdiskusi dengan pemerintah tentang usulan program pemulihan ekosistem. Kami menghormati proses pemerintah dan kami tidak dapat berkomentar lebih jauh saat ini,” ujarnya dalam jawaban tertulis pada Rabu, 28 Juli lalu.

Sikap senada disampaikan oleh Dove, salah satu anak usaha Unilever. “Mitra kami, Conservation International, sedang berdiskusi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Indonesia tentang usulan proyek regenerasi ekosistem di Sumatera Utara. Tujuan kami adalah membantu melindungi dan memulihkan alam. Kami menghormati proses yang dijalankan pemerintah Indonesia dan tetap berharap mendapatkan persetujuan untuk memulai kegiatan,” kata juru bicara Dove Global di Inggris dalam keterangan tertulis pada Jumat, 30 Juli lalu.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, obyek klarifikasi dari Kementerian adalah soal estimasi karbon dalam program kerja sama itu. Dalam penjelasan kepada Kementerian, CI menyampaikan bahwa tidak ada inisiatif soal karbon. Intinya, program kerja sama dengan Dove itu untuk restorasi. Namun diakui bahwa program penanaman pohon itu bisa mengurangi karbon.

Wahjudi Wardojo mengatakan kesalahan yang sering terjadi di LSM, baik lokal maupun global, adalah klaim yang berlebihan di area yurisdiksi pemerintah pusat dengan unit pelaksana teknisnya ataupun pemerintah daerah. Untuk program pengurangan emisi karbon, menurut Wahjudi, pemerintah memiliki sejumlah skema. Salah satunya Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Plus) Konservasi (REDD+). Setidaknya ada tiga kerja sama: bilateral dengan Norwegia, Green Climate Fund, dan Program Forest Carbon Partnership Facilities-Carbon Fund Bank Dunia.

Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yuyun Harmono menilai sikap sensitif Kementerian Lingkungan Hidup soal program karbon itu karena ada kebutuhan tinggi untuk memenuhi target NDC Indonesia dalam Perjanjian Paris. “Jika karbon sudah dibeli, itu bisa terjadi perhitungan ganda kalau juga dipakai Indonesia,” ujarnya. Dalam pembaruan yang diajukan kepada Komite Perubahan Iklim, kata dia, Indonesia tak mengubah target alias sama dengan periode sebelumnya.

Soal NDC baru ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dalam acara virtual pada 19 Juli lalu menyampaikan bahwa peemrintah berkomitmen menaikkan ambisi adaptasi perubahan iklim dengan memasukkan aksi-aksi yang lebih nyata dan adaptasi di sektor kelautan. Selain itu, lebih terintegrasi dengan isu-isu penting lain, seperti keanekaragaman hayati dan disertifikasi.

Pembaruan NDC, menurut Siti Nurbaya seperti dirilis situs Kementerian Lingkungan, juga menambah subyek baru dan penguatan komitmen dengan memasukkan laut, lahan basah seperti mangrove dan lahan gambut, serta kawasan permukiman. Indonesia juga memperkuat komitmen target pengurangan emisi 41 persen dengan memanfaatkan berbagai peluang kerja sama internasional.

Walhi, menurut Yuyun, menilai perdagangan karbon bukan hal yang perlu jadi fokus untuk pengurangan emisi. Sebab, itu tak mengurangi emisi, tapi hanya menciptakan netral karbon, yaitu ada yang melepas dan ada yang menangkapnya. Seharusnya ada kebijakan lain yang bisa dilakukan, misalnya menerapkan pajak karbon. Jika ingin memenuhi target NDC, menurut dia, “Indonesia seharusnya berfokus pada bagaimana cara menghentikan pemakaian energi fosil.”

Pandangan senada disampaikan pengajar Universitas Mulawarman, Samarinda, Haris Retno. Ia menyebut Kalimantan Timur sebagai potret kecil Indonesia. Awalnya kayu dieksploitasi, lalu minyak, gas, dan batu bara. Ketika batu bara habis, bentang karst yang akan dikorbankan untuk pabrik semen. “Kebijakan pembangunan berbasis lahan dan memprioritaskan industri ekstraktif, itu yang harus diubah,” ujarnya pada Jumat, 30 Juli lalu. “Selain kebijakan ekonomi, yang harus diubah adalah politik energinya.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus