Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Plus) Konservasi (REDD+) ditandatangani Indonesia-Norwegia pada 2010.
Indonesia sudah memenuhi kewajibannya mengurangi emisi, tapi pembayaran dana REDD+ belum dilakukan hingga akhir 2020.
Norwegia berjanji memenuhi komitmennya dan pembahasan soal ini masih terus berlangsung.
INDONESIA memiliki sejumlah skema pengurangan emisi gas rumah kaca melalui program bernama Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Plus) Konservasi (REDD+). Salah satunya melalui kerja sama dengan Norwegia, yang penandatanganan surat niatnya berlangsung pada 26 Mei 2010. Dua kerja sama lain adalah dengan Green Climate Fund dan Program Forest Carbon Partnership Facilities-Carbon Fund Bank Dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Duta Besar Indonesia untuk Norwegia, Todung Mulya Lubis, mengatakan Indonesia menggelar sejumlah program dan kegiatan untuk mengimplementasikan kerja sama ini. Di antaranya, moratorium pemberian izin untuk penggunaan hutan alam primer dan lahan gambut serta pemulihan hutan, gambut, dan mangrove. “Kewajibannya adalah melakukan pengurangan emisi akibat deforestasi, kemudian melakukan perbaikan terhadap tanah yang rusak,” kata Todung saat dihubungi, Senin, 26 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Todung mengatakan Indonesia sudah melakukan kewajibannya dan sudah diverifikasi oleh pemerintah Norwegia. Hasil verifikasi itu menunjukkan bahwa Indonesia berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca pada 2016-2017 setara dengan 11,2 juta ton karbon dioksida (CO2). “Atas dasar itu, kita berhak mendapatkan pembayaran US$ 56 juta,” ujarnya. Namun, sampai akhir 2020, pembayaran atas kinerja pengurangan emisi itu tak kunjung dilakukan.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong tidak menjawab saat dimintai konfirmasi soal ini melalui WhatsApp dan tak merespons panggilan telepon pada Jumat, 30 Juli lalu. Todung mengatakan dulu sempat ada permintaan untuk membentuk badan khusus yang akan menampung dana REDD+ tersebut. Badan itu sudah dibentuk, yaitu Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup di bawah Kementerian Keuangan. “Namun pencairan (dana) belum dilakukan,” ujarnya.
Menurut Todung, ada persoalan birokrasi dan syarat tak perlu yang ia anggap berpengaruh terhadap pembayaran ini. Faktor lain mungkin bergantinya pejabat pemerintah di Norwegia. Saat perjanjian kerja sama ditandatangani, pemerintahan dipimpin oleh Partai Buruh. Kini pemerintahan di bawah Partai Konservatif. “Mungkin spirit kerja samanya tak dipahami 100 persen,” tutur Todung.
Duta Besar Norwegia untuk Indonesia, Vegard Kaale, menyatakan nota kesepahaman ini memiliki tiga fase: persiapan, transformasi, dan verifikasi atas kontribusi pengurangan emisi. Tahap ketiga dicapai pada 2019. Hasil verifikasi secara independen tertanggal 26 Maret 2020 menunjukkan bahwa Indonesia berhak mendapatkan pembayaran berbasis hasil (RBP) pertama sebesar 530 juta krona Norwegia atau NOK (setara dengan US$ 56 juta).
Kaale menyebut pandemi sebagai salah satu kendala dalam penyelesaian masalah ini. “Covid-19 membuat kondisi kerja menjadi lebih menantang bagi kita semua, tetapi kita dapat bertemu secara virtual dan berharap dapat segera menyelesaikan ketentuan terakhir sebelum pencairan dapat dilakukan,” katanya dalam penjelasan secara tertulis kepada Tempo, Jumat, 30 Juli lalu.
Ia menegaskan kembali sikap Norwegia. “Pemerintah Norwegia sangat berkomitmen mewujudkan komitmennya untuk mentransfer kontribusi pengurangan emisi 2016/2017. Kami membuat kemajuan yang baik dalam dialog kami dengan pemerintah Indonesia mengenai syarat dan ketentuan rinci untuk pembayaran berbasis hasil (RBP) berdasarkan letter of intent tahun 2010,” ucap Kaale.
Wahjudi Wardojo, penasihat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, mengatakan Indonesia tetap saja mengacu pada letter of intent. “Itu sudah merupakan hasil negosiasi panjang juga,” katanya, Kamis, 29 Juli lalu. Duta Besar Todung Mulya Lubis menambahkan, pembahasan saat ini masih berlangsung pada kelompok konsultasi bersama. Ia mengharapkan segera dicapai kesepakatan dan juru runding merampungkan pembahasannya. “Seharusnya sudah dibayar tahun lalu. Ini sudah Juli,” tuturnya.
Kaale Vegard juga menyampaikan komitmen Norwegia yang lebih dari RBP pertama bagi Indonesia. Ia menyitir soal Inisiatif Iklim dan Hutan Internasional Norwegia (NICFI) yang diluncurkan pada 2008. Dalam skema ini, ada dana hingga 3 miliar NOK (sekitar US$ 340 juta) per tahun sampai 2030 untuk membantu menyelamatkan hutan tropis dunia sembari meningkatkan mata pencarian mereka yang tinggal di sana. “Kemitraan Indonesia-Norwegia merupakan komponen penting dalam upaya ini,” ujarnya.
ABDUL MANAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo