Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah memprediksi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim mencapai Rp 544 triliun, selama 2020-2024.
Ada empat sektor paling terdampak.
Anggaran belanja untuk perubahan iklim tidak memadai.
RIKI Mudzakir, 40 tahun, paling takut bila angin kencang datang. Tanaman andalannya, yakni padi kualitas premium jenis Pandan Wangi, di sawahnya sangat rentan terhadap angin ribut. Kalau padinya diterjang angin, pendapatan setahun bakal melayang. Soalnya, tanaman pangan yang biasa disebut pare gede ini hanya dipanen setahun sekali karena usia tanamnya bisa lebih dari enam bulan.
“Padi yang (bulirnya) sudah besar, bila diterpa angin kencang, batangnya akan rebah dan bulir-bulirnya banyak yang jatuh,” tutur petani asal Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, ini, Jumat, 18 Maret lalu. Jambudipa adalah satu dari sejumlah sentra utama beras Pandan Wangi—varietas endemis yang merupakan komoditas andalan Kabupaten Cianjur. Padi jenis ini tumbuh dengan kualitas baik di beberapa kecamatan saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada Tempo yang menemui dia di sawahnya pada Jumat siang, 18 Maret lalu, Riki mengatakan Pandan Wangi tahan terhadap hujan dengan intensitas besar, tidak seperti tanaman padi pada umumnya. “Kalau kena hujan besar malah lebih bagus karena Pandan Wangi membutuhkan pasokan air yang banyak,” ujarnya. Tapi, karena posturnya yang tinggi, bisa mencapai 90-100 sentimeter, padi Pandan Wangi rentan terlibas angin kencang.
Perubahan pola dan intensitas hujan, angin kencang, serta suhu ekstrem merupakan gejala perubahan iklim yang mulai sering terjadi di Indonesia. Fenomena alam ini sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, bahkan bisa mematikan. “Sektor pertanian tanaman pangan adalah korban perubahan iklim,” ucap Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian Kementerian Pertanian Husnain kepada Tempo, Sabtu, 19 Maret lalu.
Dampak perubahan iklim yang kerap terjadi di Tanah Air akhir-akhir ini, menurut Husnain, adalah perubahan pola hujan. Misalnya, curah hujan yang tiba-tiba besar tidak seperti biasanya. Atau pergeseran periode musim hujan dan kemarau yang sangat merugikan sawah tadah hujan. Akibatnya, petani sudah telanjur menanam ternyata tidak ada hujan alias kering. Walhasil, sawah rusak dan petani gagal panen.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun lalu mengkaji potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim. Hasilnya tertuang dalam dokumen Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim 2020-2045. Sektor pertanian termasuk yang berpotensi merugi paling besar, mencapai Rp 78 triliun, pada periode 2020-2024.
Bappenas memprediksi total kerugian ekonomi karena perubahan iklim selama lima tahun tersebut (2020-2024) bisa mencapai Rp 544 triliun, jika tidak ada intervensi kebijakan. Empat sektor yang paling terkena dampak, selain pertanian, adalah pesisir dan laut dengan potensi kerugian Rp 408 triliun, sektor perairan Rp 28 triliun, dan sektor kesehatan Rp 31 triliun. Penyebabnya terutama kecelakaan kapal, genangan pantai, berkurangnya cadangan air, produksi beras yang terus turun, dan peningkatan angka kasus demam berdarah.
Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Yusuf mengatakan perubahan iklim mempengaruhi ekosistem laut dan aktivitas masyarakat pesisir. Wilayah pesisir terancam mengalami abrasi serta tergenang banjir rob dan gelombang pasang akibat naiknya permukaan laut.
Gelombang laut yang tinggi mengganggu pelayaran, terutama kapal nelayan kecil, dan dapat mengakibatkan kecelakaan. Selain itu, produksi perikanan tangkap menyusut karena berkurangnya daya jelajah kapal nelayan kecil yang berukuran kurang dari 10 gross tonnage.
“Risiko-risiko tersebut dikalkulasi sebagai potensi kerugian sektor kelautan dan pesisir,” kata Yusuf, Senin, 21 Maret lalu. Berdasarkan hitungan Bappenas, total potensi kerugian ekonomi untuk sektor kelautan diperkirakan sebesar Rp 400,8 triliun dan sektor pesisir Rp 6,7 triliun.
Wilayah pesisir di Indonesia yang terbentang sepanjang 108 ribu kilometer memiliki tingkat kerentanan berbeda-beda. Area pesisir yang kerentanannya sangat tinggi memiliki panjang total sekitar 1.800 kilometer. Dokumen Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim 2020-2045 menyebut sebagian pantai Provinsi Sulawesi Selatan, sepanjang 573 kilometer, sebagai wilayah yang memiliki Indeks Kerentanan Pesisir (Coastal Vulnerability Index/CVI) 5 atau tergolong sangat rentan.
Untuk memitigasi daerah rawan bencana dan perubahan iklim, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengidentifikasi dan memetakan lokasi di pesisir yang rentan terhadap bencana gelombang pasang, abrasi, banjir rob, ataupun bencana yang terkait dengan faktor hidrometeorologis lain. Pemerintah menggunakan data tersebut untuk menentukan skala prioritas lokasi-lokasi yang membutuhkan intervensi. Selain itu, dipertimbangkan pula kajian potensi kerugian ekonomi 2020-2024, Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan 2018, dan data risiko bencana (Indeks Risiko Bencana Indonesia) 2021.
Nelayan membersihkan perahu saat tidak melaut karena gelombang tinggi di Pantai Popoh Tulungagung, Jawa Timur, 6 Maret 2022. ANTARA/Prasetia Fauzani
Menurut laporan Bappenas, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Maluku, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Papua Barat merupakan daerah paling rawan untuk subsektor kelautan. Tanpa intervensi, dalam lima tahun ke depan sektor kelautan di provinsi-provinsi tersebut akan menderita kerugian paling besar. Adapun subsektor pesisir daerah rawan yang berpotensi mengalami kerugian ekonomi tinggi adalah Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Sulawesi Tengah.
Pemerintah mengalokasikan dana perubahan iklim sebesar Rp 307,94 triliun pada 2018-2020, atau rata-rata sekitar 4,3 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun. Walaupun demikian, porsi setiap tahun terus menurun. Pada 2018 anggaran kementerian/lembaga untuk perubahan iklim mencapai Rp 132,4 triliun, berkurang menjadi Rp 97,66 triliun pada 2019, lalu turun lagi menjadi Rp 77,81 triliun pada 2020.
Tahun lalu, anggaran untuk perubahan iklim naik sedikit menjadi sekitar Rp 86,7 triliun. Tapi ikhtiar untuk memitigasi perubahan iklim ini masih tanggung, jauh dari memadai. Berdasarkan laporan Biennial Update 2018 oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan perubahan iklim (UNCC), Indonesia membutuhkan US$ 247,2 miliar (sekitar Rp 3.461 triliun) hingga 2030. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membenarkan hal tersebut. “Artinya setiap tahun paling tidak resources-nya Rp 266,2 triliun,” ujar Sri dalam diskusi Climate Change Challenge Universitas Indonesia pada 11 Juni 2021.
Dana sebesar Rp 266,2 triliun itu, Sri menambahkan, melampaui anggaran kesehatan pada 2021 sebesar Rp 170 triliun. “Karena itu, upaya mengatasi dampak perubahan iklim harus dilakukan secara gotong-royong oleh pemerintah, swasta, filantropis, dan masyarakat,” tuturnya.
Kementerian Kesehatan sendiri baru mengalokasikan belanja perubahan iklim mulai 2020 lalu, berbeda dengan kementerian lain yang telah melakukannya sejak 2018. Total anggaran yang disiapkan sebesar Rp 52,46 miliar. Sebagian besar dana tersebut ditujukan untuk layanan intensifikasi eliminasi malaria (Rp 32,34 miliar). Sisanya digunakan untuk pembinaan kabupaten/kota sehat, layanan pengendalian penyakit arbovirosis, serta intensifikasi percepatan eliminasi malaria di Papua dan Papua Barat.
RETNO SULISTYOWATI, DEDEN ABDUL AZIZ (CIANJUR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo