Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah pusat dan daerah berambisi membangun bandar antariksa di Biak.
Warga pemilik tanah ulayat menentang pembangunan karena tidak pernah menyerahkan tanah adat pada 1980.
Lahan bandar antariksa berada di dalam kawasan hutan lindung.
Artikel ini merupakan liputan kolaborasi Tempo dengan Jubi, Suara.com, dan Project Multatuli.
ALEX Abrauw, 31 tahun, masih memendam kekesalan terhadap Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko yang mengunjungi calon lokasi bandar antariksa di Desa Saukobye, Distrik Biak Utara, Biak Numfor, Papua, pada Kamis, 21 Oktober 2021. Dia bersama beberapa pemuda klan Abrauw lain berdemonstrasi menolak rombongan dari Jakarta itu. "Mereka datang diam-diam tanpa memberi tahu kami, pemilik tanah ulayat," kata Alex Abrauw menceritakan alasan kekesalannya, Rabu, 2 Maret lalu.
Klan Abrauw menolak pembangunan bandar antariksa itu karena lokasinya berada di hutan adat klan Abrauw-Rumander. Mananwir keret atau kepala klan Abrauw, Marthen Abrauw, 65 tahun, mengatakan pendahulu mereka tak pernah menyetujui pelepasan tanah adat kepada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), yang kini melebur dalam BRIN. "Tanah dan hutan adat merupakan identitas sekaligus sumber hidup masyarakat Abrauw," ucap Marthen, ayah Alex, saat ditemui di rumahnya di Saukobye, sekitar 38 kilometer dari Kota Biak.
Geger persoalan tanah ini bermula pada 1980, saat Saukobye masih bernama Andei di bawah rukun kampung Warbon. Ketika itu Distrik Biak Utara menjadi wilayah operasi militer yang bertujuan menumpas Organisasi Papua Merdeka (OPM). Di masa itu pula, kata Marthen, masyarakat rukun kampung Warbon dipaksa menandatangani surat pelepasan hak atas tanah kepada Lapan. Mereka yang menolak akan dicap anti-pembangunan dan dianggap sebagai bagian dari OPM.
Menurut Pendeta Gerson Abrauw, 60 tahun, saat itu masyarakat tidak diberi penjelasan tentang apa yang akan dibangun di atas tanah tersebut. Petugas hanya memanggil satu per satu warga ke kantor distrik untuk diminta menandatangani daftar yang disediakan. Nilai ganti rugi yang bakal diberikan saat itu sebesar Rp 150 ribu per hektare. Tambahannya: iming-iming lapangan kerja bagi pemuda, penyediaan air bersih, akses transportasi, juga pemberian televisi dan radio.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko (ketiga dari kanan) meninjau calon lokasi Bandar Antariksa di Desa Saukobye, Biak Utara, Papua Oktober 2021/brin.go.id
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat klan Abrauw berkukuh tidak ikut menandatanganinya. Belakangan baru diketahui lahan seluas 100 hektare yang dipinang Lapan adalah hutan adat mereka. Namun pelepasannya justru ditandatangani oleh klan lain. “Meski kecewa, saat itu masyarakat Abrauw tidak dapat berbuat apa-apa,” ujar Gerson, adik Marthen, yang adalah anak Darius Abrauw, tetua klan Abrauw pada saat pengambilalihan tanah adat secara paksa tersebut.
Kantor Pertanahan Nasional Biak Numfor mengeluarkan sertifikat atas lahan itu untuk Lapan pada 20 Agustus 2002. Dalam salinan sertifikat yang Tempo dapatkan, ada lampiran surat pernyataan pelepasan hak atas tanah adat tertanggal 22 September 1980. Dalam surat itu, hanya empat orang yang tercatat sebagai pemilik hak tanah adat: Petrus Rumander, Ayub Rumander, Simson Kapitaraw, dan Herman Kapitaraw.
Menurut Gerson, masyarakat menolak pembangunan bandar antariksa karena ruang hidup mereka akan terancam. Masyarakat juga khawatir kehadiran bandar antariksa akan menggusur mereka dari tanah yang menjadi identitas sekaligus sumber hidup mereka. "Kami tidak mungkin pindah ke tanah adat milik klan lain," tutur Gerson, yang juga Ketua Klasis Biak Utara Gereja Kristen Injil di Tanah Papua.
Penolakan klan Abrauw terhadap rencana kehadiran bandar antariksa didukung oleh Dewan Adat Biak. Pada April 2019, para tokoh dari sembilan masyarakat adat yang tergabung dalam dewan tersebut menyelenggarakan sidang pleno khusus membahas nasib tanah klan Abrauw yang akan digunakan untuk membangun bandar antariksa. Dewan adat juga membentuk tim advokasi untuk mengambil langkah hukum.
Manfun Kawasa atau Kepala Dewan Adat Biak Apolos Sroyer mengatakan masyarakat adat di Papua terdiri atas klan-klan yang memiliki batas tanah jelas antara satu klan dan yang lain. Setiap klan, kata Apolos, akan menjaga kawasan hutan masing-masing dari generasi ke generasi. “Apabila satu klan pindah ke wilayah adat klan lain tanpa persetujuan, akan timbul konflik sosial dan masalah yang berkepanjangan,” ucap Apolos, Selasa, 1 Maret lalu.
•••
DALAM Rapat Koordinasi Pembangunan Kesejahteraan Wilayah Adat Saireri yang diselenggarakan Kantor Staf Presiden dan Asosiasi Bupati Wilayah Adat Saireri, ihwal rencana pembangunan bandar antariksa di Biak disinggung setidaknya tiga kali. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, yang hadir dalam rapat di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, itu, adalah yang pertama menyinggungnya. "Secara geografis, Biak memiliki keunggulan untuk dibangun bandar antariksa," ucapnya, Selasa, 29 Maret lalu.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Laksana Tri Handoko mengatakan pembangunan bandar antariksa sejauh ini masih dalam perencanaan dan lokasi yang pasti belum ditetapkan. "Kami saat ini masih bernegosiasi dengan beberapa mitra potensial," kata Laksana melalui WhatsApp, Selasa, 29 Maret lalu. Menurut Laksana, pembangunan akan dimulai setelah ada penetapan lokasi oleh Presiden Joko Widodo.
Bupati Biak Numfor Herry Ario Naap mengatakan, berdasarkan diskusi terakhir dengan BRIN, SpaceX milik Elon Musk masih digadang-gadang sebagai investor potensial. Menurut Herry, pada 2023 rencananya sudah terbangun jalan dasar menuju lokasi calon bandar antariksa. Herry yakin pendirian fasilitas tersebut dapat mempercepat pembangunan infrastruktur dan membantu peningkatan sumber daya manusia di Biak.
Herry mengklaim mengirimkan anak-anak asli Biak ke perguruan tinggi untuk mempelajari astronomi melalui kerja sama program persiapan studi dengan Surya Institute yang dipimpin Yohanes Surya. "Ketika kembali ke Biak, mereka akan bekerja secara profesional di bandar antariksa tersebut, bukan hanya menjadi cleaning service," tuturnya, Rabu, 29 Maret lalu.
Perihal masyarakat yang menolak bandar antariksa itu, Herry mengatakan mereka bukan penduduk asli Biak. "Mereka tidak tinggal di Biak, tidak lahir di Biak, tidak besar di Biak, tapi complain terus," ujarnya. Herry menjamin pembangunan bandar antariksa sangat layak dilakukan meskipun hingga saat ini belum ada kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup atas rencana tersebut.
•••
DI tanah yang disengketakan itu terpasang patok berbahan semen bertulisan “Lapan”. Jarak antara patok pertama dan rumah penduduk terdekat hanya sekitar 1,4 kilometer. Berjalan kaki menelusuri lahan itu selama lima jam, Tempo hanya bisa menemukan patok kedua. Adapun patok ketiga dan keempat telah berada di laut karena terkena abrasi.
Lokasi calon bandar antariksa ini berada di lahan berbukit dengan tekstur tanah berkarang. Saat menyusuri hutan yang tutupan vegetasinya terbilang rapat itu, Tempo mencatat setidaknya ada kuskus tutul Biak (Spilocuscus wilsoni), burung gosong, nuri, dan ayam hutan di sepanjang perjalanan dari hutan menuju pantai. Satwa-satwa ini adalah spesies endemis yang masuk daftar merah lembaga konservasi IUCN dengan status kritis dan rentan.
Menurut peta ruang Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Papua, wilayah adat klan Abrauw merupakan kawasan hutan lindung. Kepala Sub-Bidang Perencanaan Kawasan Mirwan Gani menyebutkan lokasi bandar antariksa ini tidak masuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Papua 2013-2033. Dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 23 Tahun 2013 itu, Biak Numfor justru ditetapkan sebagai kawasan strategis dari aspek fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.
Implikasinya, daerah ini menjadi area tempat perlindungan keanekaragaman hayati dan kawasan lindung untuk ekosistem flora dan fauna yang hampir punah. "Kami akui bandar antariksa ini tidak masuk RTRW karena baru muncul beberapa tahun terakhir. Sedangkan Perda RTRW Provinsi Papua ataupun Kabupaten Biak sudah ditetapkan pada 2012," ujarnya, Senin, 7 Maret lalu.
Sementara itu, kegelisahan warga Abrauw bertambah karena adanya wacana perluasan lahan bandar antariksa menjadi 3 kilometer persegi. Kepala Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN Robertus Heru Tri Harjanto mengatakan bandar antariksa Biak hanya memungkinkan dibangun dalam skala kecil dengan keamanan jangkauan 400-500 hektare. "Ini seperti bandar antariksa Uchinoura di Jepang yang digunakan untuk meluncurkan roket seberat 100 ton," ucapnya.
Meski begitu, dalam “Kajian Pembangunan Bandar Antariksa” yang diterbitkan Pusat Kajian Kebijakan Penerbangan dan Antariksa Lapan disebutkan luas lahan saat ini belum cukup untuk pembangunan kawasan bandar antariksa yang lengkap. Diperkirakan dibutuhkan lahan tujuh kali lipat dari yang tersedia saat ini. Jarak lokasi pembangunan bandar antariksa di Biak pun masih dekat dengan permukiman penduduk. Idealnya, jaraknya 5 kilometer.
Perihal konflik lahan ini, Kepala Bagian Pemberitaan dan Hubungan Antar-Lembaga Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Agraria dan Tata Ruang Indra Gunawan mengatakan masyarakat adat bisa mengajukan tuntutan melalui pengadilan untuk memperjuangkan hak atas tanah ulayat mereka. "Melalui PTUN (pengadilan tata usaha negara) jika prosedur yang dilakukan kantor pertanahan tidak tepat. Bisa juga melalui keperdataan apabila merasa memiliki hak atas tanah tersebut," katanya.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menyatakan akan melihat kembali status masyarakat adat Abrauw di lokasi calon bandar antariksa dalam sistem masyarakat adat Papua. "Kami akan berdialog dengan masyarakat adat, dimediasi oleh pemerintah daerah dan pemuka adat sesuai dengan struktur adat mereka," ujarnya.
DINI PRAMITA, BUDHY NURGIANTO (KOTA BIAK)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo