Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Kita Perlu Cadangan Pangan Tiga Bulan

Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menguraikan penyebab krisis pangan, seperti minyak goreng, dan bagaimana tata kelola pasokan untuk ketahanan pangan.

2 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Badan Pangan Nasional butuh Rp 34,8 triliun untuk mengamankan pasokan sembilan jenis pangan.

  • Eksekusi pengadaan pangan akan dilakukan oleh Bulog dan BUMN pangan ID Food.

  • Pasokan beberapa pangan diproyeksikan surplus memasuki Ramadan dan menjelang lebaran.

PANGAN merupakan topik yang cukup sensitif bagi publik. Krisis pangan, seperti beras, kedelai, dan minyak goreng, selalu menjadi gunjingan dan ujungnya adalah masyarakat mempertanyakan kinerja pemerintah dalam penanganan bahan kebutuhan pokok. Apalagi harga bahan pangan melonjak dan beberapa di antaranya bahkan langka tepat saat memasuki Ramadan lantaran terkena imbas gangguan rantai pasokan global akibat perang Rusia-Ukraina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menyebut kondisi global yang tidak stabil ini sebagai salah satu perhatian Presiden Joko Widodo sehingga Indonesia perlu mengamankan stok pangannya. Dilantik pada 21 Februari 2022, Arief langsung bergerak cepat untuk mengamankan stok pangan. "Kasih uangnya, saya beliin stoknya," kata Arief kepada wartawan Tempo, Abdul Manan, Retno Sulistyowati, dan Caesar Akbar, pada Jumat, 25 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arief berkantor di gedung bekas Badan Ketahanan Pangan Nasional, pendahulu Badan Pangan Nasional, di kompleks Kementerian Pertanian, Jakarta. Dalam wawancara sekitar satu setengah jam, Direktur Utama ID Food, holding badan usaha milik negara di bidang pangan, ini menjelaskan kewenangan dan tugas lembaganya dibanding badan pendahulunya, masalah kelangkaan pangan, dan strategi untuk mencegah berulangnya kasus kelangkaan pangan.

Apa pesan yang disampaikan Presiden saat pelantikan?

Pangan ini salah satu yang menjadi perhatian beliau. Juga disampaikan bahwa Badan Pangan Dunia (FAO) menyebut kondisi dunia saat ini tidak stabil sehingga kita harus memperkuat pangan. Badan Pangan Nasional tidak bisa bekerja sendiri. Perlu dukungan kementerian, lembaga, dan asosiasi. Jenis pangan (yang kami urus) ada sembilan, yakni beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai.

Kalau Badan Pangan Nasional sebagai pembuat kebijakan, bagaimana eksekusinya?

Harus dibedakan antara regulator dan eksekutor. Dalam peraturan presiden disebutkan beberapa pendelegasian kewenangan dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian BUMN. Dari Kementerian Perdagangan soal kebijakan stabilisasi harga dan distribusi pangan serta penetapan kebutuhan ekspor-impor pangan. Artinya, neraca pangan, stabilisasi, dan distribusi ada di Badan Pangan Nasional. Sembilan komoditas (pangan) mesti ada stoknya. Kebijakan dan penetapan harga pembeliannya dari pemerintah. Dulu (kewenangan ini) berada di Kementerian Pertanian, sekarang di Badan Pangan.

Menteri BUMN menguasakan kepada Kepala Badan Pangan Nasional untuk memutuskan penugasan Badan Urusan Logistik dalam pelaksanaan kebijakan pangan nasional. Jadi nanti eksekutornya BUMN di bidang pangan, yakni Bulog dan ID Food, yang sama-sama di bawah Menteri BUMN. Tapi yang garis lurus langsung itu Bulog, kemudian ID Food menopang beberapa kegiatan yang mungkin belum bisa dikerjakan Bulog. Bulog kan baru (mengurusi) beras.

Apa perbedaan Badan Pangan Nasional dengan Badan Ketahanan Pangan?

Badan Ketahanan Pangan Nasional di bawah Menteri Pertanian. Pemimpin Badan Pangan Nasional dipilih dan dilantik oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Di Badan Ketahanan Pangan tidak ada pendelegasian kewenangan dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian BUMN.

Yang akan ditangani dari hulu ke hilir?

Lebih banyak hilir. Hulu itu produksi, ada di Kementerian Pertanian. Badan Pangan lebih ke pengaturan stok pangan. Saya hanya melihat produksi nasional berapa dan kebutuhannya berapa. Setelah ini mau pengadaan dari mana. Sehabis itu, rekomendasi teknis tetap di Kementerian Pertanian dan persetujuan impor tetap di Kementerian Perdagangan.

Fungsinya sebagai regulator dan koordinator?

Boleh dibilang semacam wasit karena selama ini kita kan selalu terlambat. Misalnya, Kementerian Pertanian memang bertugas membuat barang itu cukup ketersediaannya dan harus menjaga kepercayaan petani. Jangan pada waktu produksi (barang) impornya masuk. Jangan sampai harga yang tadinya Rp 10 ribu, begitu impor masuk, jadi Rp 7.000 dan (hasil) pertanian enggak terserap. Sebaliknya, Kementerian Perdagangan hanya berpikir, kalau ketersediaan kosong, dia impor. Enggak ada yang salah. Benar semua.

Nah, sekarang ada Badan Pangan Nasional. Kami akan sangat obyektif. Teori pasokan dan permintaan kan tidak bohong. Pada saat barang enggak ada, harga naik. Begitu enggak ada barang, ya harus ambil dari luar negeri. Nah, di sini kami coba seobyektif mungkin bahwa neraca komoditas ini menjadi hal yang penting dan harus diperbarui terus-menerus dengan sumber dan informasi yang baik dari teman-teman di Badan Pusat Statistik. Badan Pangan Nasional mengumpulkan informasi dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia di 34 provinsi. Mudahan-mudahan akurasinya juga baik.

Pengadaan pangan akan ada di Bulog atau ID Food saja?

Untuk padi atau beras, jagung, dan kedelai, kami memilih Bulog. Dulu penugasannya kan pajale (padi, jagung, dan kedelai). Jagung itu, kalau kekurangan, penugasan untuk impor sering telat. Saat harganya naik, baru diimpor. Saat impor, ada yang panen. Selalu begitu karena tidak punya sistem peringatan dini. Kalau kami punya cadangan pangan tiga bulan, ini sebenarnya enggak akan terjadi. Kita semua harus menghilangkan ego sektoral buat kepentingan yang lebih besar.

Cuma, apakah pemenuhan kebutuhan itu memang harus oleh negeri sendiri atau bisa dari negara lain? Sekarang kan lintas batas. Ada tanaman yang secara alami memang tidak ada di Indonesia. Gandum, misalnya. Apakah mau ditanam di Indonesia? Kan, tidak. Apakah di Singapura ada orang yang menanam (gandum) atau punya peternakan sapi? Tapi kok enggak kurang (persediaannya)? Ini kan soal tata kelola, stock management. Ini yang harus kami kelola. Kemudian perlu ada keberpihakan pada teknologi.

Mengapa minyak goreng sempat hilang di supermarket?

Karena tidak mau harganya Rp 14 ribu. Harus dibedakan antara kelangkaan dan ada orang yang enggak mau jual Rp 14 ribu. Menteri Perdagangan betul. Yang beliau sampaikan ada 540 juta liter minyak yang sudah dilepas. Tapi enggak kelihatan barangnya. Makanya beliau ke Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI menyampaikan supaya dibantu untuk melihat distribusinya. Begitu diumumkan Menteri Perekonomian sehabis rapat internal (tentang pencabutan harga eceran tertinggi), tiga-empat jam kemudian keluar tuh semua. Berarti ada barangnya, tapi disimpan karena harganya (dipatok) Rp 14 ribu.

Apakah bisa diidentifikasi penyebab masalah pangan selama ini?

Rumusnya begini. Kalau petani, peternak, dan nelayan disejahterakan, produksi otomatis meningkat. Saat produksi kedelai kita dulu pada 1990-an 1,5 juta ton per tahun, petaninya sejahtera. Kemudian pernah dibuka keran impor yang harganya jauh di bawah harga pokok produksi kedelai lokal, otomatis petaninya rugi. Kalau rugi, siapa yang mau menanam? Makanya nomor satu kesejahteraan petani dulu, bukan harga di konsumen. Pada saat kita menentukan di hilirnya duluan, nanti ia akan bergeser ke hulu. Di hulu, yang paling terjepit itu petani. Kalau pedagang, prinsipnya beli seribu nanti jualnya seribu seratus. Tapi, kalau petani, harga pupuk, obat, dan bibitnya naik enggak? Mengapa harganya enggak boleh naik? Kan, kasihan petaninya.

Tarik-menariknya kan antara pemerintah yang menginginkan petani untung dan konsumen yang ingin mendapatkan harga murah.

Bahasanya itu "petani sejahtera, pedagang untung, konsumen tersenyum". Itu yang susah. Itu kan bicara ideal. Tapi ini bisa diatur sedemikian rupa. Di hilir ini yang paling penting adalah saudara-saudara kita yang perlu dibantu itu sekitar 20 persen (ekonomi bawah). Yang lain ikut mekanisme pasar. Antrean minyak goreng kemarin terjadi bukan karena (kenaikan) harga sebenarnya, tapi kekhawatiran tidak bisa mendapatkan minyak goreng. Kalau kapasitas terpasang Rp 100 ribu pax sehari, kemudian, karena mendengar kabar kelangkaan, banyak yang membeli satu karton isi enam. Berarti sudah tiga kali lipat jumlah normal.

Di pasar modern mengapa minyak goreng kosong terus? Orang yang biasanya beli cuma dua pouch, belinya satu karton. Makanya, begitu (harga eceran tertinggi) dilepas, tenang-tenang saja sekarang. Untuk yang kelas menengah, di rumahnya masih ada satu karton. Tapi golongan bawah memang belinya satu pouch. Maka ini yang dijaga oleh kebijakan pemerintah: yang kemasan premium dan sederhana dilepas ikut harga pasar, tapi yang curah perlu diatur Rp 14 ribu.

Apa strategi untuk menyeimbangkan kepentingan petani dan konsumen?

Dari harga pokok produksi (HPP) dihitung. Kalau harga pupuk dan pestisida naik, panennya itu, misalnya, rata-rata 5 ton per hektare, HPP-nya berapa? Marginnya berapa? Bagi petani yang lahannya cuma segitu (kecil), mereka harus digabungkan dalam kelompok tani, kemudian insentifnya ada kredit usaha rakyat. Pupuknya, kalau pupuk subsidi langka, didorong pakai pupuk komersial. Produktivitasnya bisa lebih dari rata-rata sehingga (perlu) diaktifkan lagi penyuluh seperti pada zaman Presiden Soeharto. Itu namanya intensifikasi. Kalau tadinya cuma 4,5 ton per hektare, bisa menjadi 5,5 ton per hektare.

Apa dampaknya kalau menaikkan HPP?

Inflasi atau daya beli masyarakat. Maka yang paling penting adalah golongan 20 persen itu yang harus kita jaga dengan Program Keluarga Harapan, bantuan langsung tunai, dan lain-lain.

Bagaimana mengatasi godaan impor?

Impor itu melengkapi kekurangan produksi. Jangan dibolak-balik. Jangan impor, terus sehabis itu menekan produksi. Itu salah. Konsepnya tadi. Kami sudah tahu kebutuhannya. Kebutuhan daging sapi 700 ribu ton per tahun. Bulog impor daging kerbau 100 ribu ton dan Berdikari 20 ribu ton. Kebutuhan kedelai 2,9 juta ton setahun dan produksinya 200 ribu ton, berarti perlu 2,7 juta ton. Kalau enggak impor, enggak ada barang.

Apakah Badan Pangan Nasional bisa menjamin tidak akan ada kelangkaan?

Kasih uangnya, saya beliin stoknya. Kami sudah menghitung dan sudah disampaikan kepada Presiden, nanti juga ke Ibu Menteri Keuangan Sri Mulyani dan akan dipaparkan juga kepada Dewan Perwakilan Rakyat mengenai solusi soal ketersediaan ini. Stok sudah kami hitung tiga bulan itu berapa (kebutuhannya).

Asalkan ada anggaran, bisa dijamin?

Makanya mesti pakai yen: yen ono duite (kalau ada uangnya). Ini harus direncanakan dengan baik dan harus optimistis. Kami tahu berapa lama (komoditas) bisa disimpan dan ada teknologinya. Tapi stok juga harus keluar. Berarti pasarnya harus sudah ada. Nah, soal pasar ini saya sampaikan kepada beberapa menteri terkait untuk memberikan program-program pemerintah kepada BUMN. Misalnya bantuan sosial lewat BUMN saja. Nanti BUMN beli ke petani dan peternak. Bantuannya diusahakan jangan tunai, tapi natura.

Dengan stok itu kami bisa menjaga dua hal. Di hulu, produksi sudah pasti ada yang beli. Di hilir, bisa kami kasih program-program pemerintah tadi. Lainnya lepas ke pasar tidak apa-apa. Yang di bawah ini yang harus kami perhatikan. Jangan yang sudah kaya raya masih disubsidi. Misalnya orang punya rumah seharga Rp 200 miliar tapi disubsidi juga karena mau harga minyak goreng Rp 14 ribu.

Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi (tengah) dalam kunjungan kerja ke Pemalang, Jawa Tengah, 28 Maret 2022. Dok. Badan Pangan Nasional

Perlu anggaran berapa untuk mengamankan stok sembilan bahan pangan itu?

Hitungannya Rp 34,8 triliun (setahun). Itu pun bisa 2-5 persen (saja). Negara tidak perlu (menanggung) 100 persen. Nanti swasta ngapain? Beras dikelola lebih dari 180 ribu penggiling padi. Stok Bulog 5 persen kebutuhan nasional, 1-1,5 juta ton.

Itu anggaran untuk stok setahun?

Itu kalau kita full setahun. Kalau pangan enggak full. Tiga bulan cukup untuk awal. Begitu keluar, beli lagi. Uang ini bukan habis pakai. Uangnya buat stok. Kami perlu tiga bulan dulu, deh, Rp 8,6 triliun.

Berarti Badan Pangan siap menjadi sasaran komplain kalau ada kelangkaan?

Ya, kasih kewenangannya, kasih anggarannya, kasih kepercayaannya, enggak boleh lambat.

Bagaimana kesediaan pangan memasuki Ramadan dan menjelang Lebaran?

Ramadan ini yang diantisipasi adalah sapi, beras, bawang putih, dan itu aman. Bawang merah, cabai, gula konsumsi juga aman. Yang jangka pendek daging sapi karena mau Lebaran. Kedua kedelai.

Stok aman sampai tiga bulan?

Proyeksi beberapa produk itu kondisinya surplus. Yang daging sapi harus dikombinasikan dengan sapi hidup. Pernah dengar berita Sumbawa kekurangan daging sapi? Enggak pernah. Yang kurang mesti Jabodetabek saja. Kemarin kami ke Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Timur untuk mobilisasi sapi dari sentra-sentra ternak itu ke Jakarta, Bandung Raya, dan Banten karena ternyata konsumsi daging yang besar itu di sini. Kalau Lebaran begini seharusnya sudah selesai (sekarang). Saya sewaktu di swasta sudah selesai merencanakan persiapan peak season itu satu-dua bulan lalu.

Badan Pangan Nasional baru memulainya?

Ini telat sebenarnya. Tapi ke depan tidak boleh begini. Harus sudah ada perencanaan yang lebih baik. Tapi ini memang harus mengubah budaya juga.

Budaya apa yang harus diubah?

Kita ini paling senang mepet-mepet gitu, ya. Merasa ada stok banyak. Nanti tiba-tiba hilang stoknya. Jadi integritas itu bukan cuma ada barang terus diambil. Data harus akurat dan mau mengakui kita mengalami kelangkaan atau harganya tinggi. Saya tidak menolak harga tinggi karena di luar negeri juga tinggi.

Mana yang diprioritaskan: ketersediaan atau harga pangan?

Ketersediaan. Ini belajar dari kasus minyak goreng. Saat harganya Rp 14 ribu per pouch, barang tidak keluar. Ibu-ibu teriak. Sekarang sudah ada, dan ada yang harganya Rp 25 ribu per liter. Lebih baik mana?


Arief Prasetyo Adi

Tempat dan Tanggal Lahir: Palangka Raya, 27 November 1974

Pendidikan
• Sarjana Teknik Sipil Konstruksi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1998
• Magister Teknik Manajemen Konstruksi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2000

Pekerjaan
• Kepala Badan Pangan Nasional, 2022
• Presiden Direktur PT Rajawali Nusantara Indonesia atau ID Food, 2020
• Presiden Direktur PT Food Station Tjipinang Jaya, 2015
• Deputy Chief Executive Officer PT Bez Retailindo, Paramount Enterprise International, 2015

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus