Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Mengintip Burung Surga Menari

Cenderawasih merah hanya terdapat di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Keberadaannya dilindungi lembaga konservasi internasional, dan masuk daftar burung yang terancam punah. Habitatnya bergantung pada kelestarian hutan tempat tinggalnya. Burung surga itu hanya bisa dilihat pengunjung dari dek pengamatan di Pulau Wasinggrai selama satu jam saja, saat sinar matahari masih muda.

17 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI masih gelap saat Tempo dibangunkan dan digelandang ke dermaga. ”Kalau tidak sedini ini, tidak bisa melihat burung,” kata Utari Obon, anggota panitia Festival Bahari Raja Ampat, dua pekan lalu.

Sekitar pukul empat pagi, serombongan jurnalis dari Jakarta sudah berkumpul di dermaga kecil ibu kota Kabupaten Raja Ampat, Waisai. Tak lama kemudian perahu motor datang menjemput. Tanpa lampu, perahu membelah laut menuju Wasinggrai, salah satu pulau di gugusan Pulau Waigeo, Raja Ampat.

Empat puluh menit meniti air, matahari mulai muncul, saat perahu menjelang sampai di pulau ”surga” burung. Suara kicauan unggas terbang terdengar bersahut-sahutan. Kami bergegas ke Bukit Manjai, menempuh jalan setapak menanjak di antara pepohonan. Kawasan ini merupakan bagian lain yang menarik dari alam Raja Ampat, yang terkenal dengan surga terumbu karang.

Sekitar 25 menit menapaki tanjakan, jalan terasa semakin curam meninggi. Sudut keterjalannya mungkin mencapai 70 derajat. Pegangan kayu di sisi kiri jalan diikat sambung-menyambung menolong pendaki. Untunglah ”olahraga” pagi ini hanya berlangsung 10 menit sebelum sampai ke sebuah panggung berlantai kayu. Tempat pijakan itu beratap rumbia yang bolong di bagian atasnya untuk mengintip sasaran: cenderawasih merah menari.

Tak lama kami ”mengintip”, muncullah sang bintang yang dinantikan. Di pucuk pohon lolan setinggi 20 meter hinggap lima ekor cenderawasih berekor merah menjurai. Warnanya megah menyambut sinar surya yang masih muda. Mereka menari, meniti dahan-dahan di pucuk pohon itu. Sayang, pertunjukan itu hanya berlangsung sejam, lalu mereka terbang entah ke mana. Menurut pemandu kami, burung surga—demikian julukan cenderawasih merah itu—memang hanya berkenan muncul antara pukul 6 dan 7 pagi.

Cenderawasih merah atau Paradisaea rubra adalah sejenis burung pengicau berukuran sedang, dengan panjang sekitar 33 sentimeter, dan berasal dari marga Paradisaea. Burung tersebut berwarna kuning dan cokelat serta berparuh kuning. Burung jantan dewasa berukuran sekitar 72 sentimeter, dengan bulu-bulu hiasan merah darah dan ujung berwarna putih pada bagian sisi perutnya. Bulu bagian muka berwarna hijau zamrud gelap dan pada ekornya terdapat dua untai ”tali” panjang berbentuk pilin ganda berwarna hitam. Burung betina berukuran lebih kecil daripada yang jantan, dengan muka cokelat tua dan tidak punya bulu-bulu hiasan.

Cenderawasih merah memang dipercaya warga setempat sebagai burung dari surga. Mereka selalu menari dan terbang seperti tak pernah menapak. Seniman tradisional Papua, Robby Sawaki, menyebut cenderawasih merah sebagai bidadari tak berkaki. Nah, ”surga” tempat tinggal cenderawasih merah ini hanya di hutan lebat dataran rendah gugusan Pulau Waigeo dan Batanta, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.

Burung ini dikenal sebagai tukang kawin. Pejantan, si playboy, memikat pasangan dengan ritual ”tarian” memamerkan bulu-bulu hiasan yang merah megah itu. Setelah kawin (kopulasi), burung jantan meninggalkan betina dan mulai mencari pasangan lain. Burung betina menetaskan dan mengasuh anak burung sendiri.

Hidup cenderawasih merah sangat bergantung pada hutan. Mereka makan buah dan aneka serangga. Karena itu, kelestarian habitat hutan tempat mereka tinggal harus dijaga, karena populasi dan daerah burung ini ditemukan sangat terbatas. Menurut Bird Conservation Officer Burung Indonesia Dwi Mulyawati, pada 1980-an populasinya sempat terganggu oleh kebakaran hutan, pengambil kayu bakar, dan penangkapan. ”Namun kini tak lagi, karena burung ini sudah masuk dalam jenis yang dilindungi,” ujarnya.

Tak salah jika International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN)—lembaga internasional yang mengurusi konservasi alam dan sumber hayati—memasukkan cenderawasih merah dalam daftar binatang berisiko terancam punah (IUCN Red List of Threatened Species). Daftar itu memuat nama-nama binatang dan tumbuhan yang dilindungi berikut status konservasi mereka. Dikeluarkan pertama kali pada 1948, daftar tersebut merupakan pedoman yang paling berpengaruh di dunia mengenai status keanekaragaman hayati.

Cenderawasih merah juga didaftarkan dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar sebagai spesies yang dilarang diperdagangkan. Konvensi internasional 1963 yang disepakati banyak negara—Indonesia meratifikasi pada 1978—ini bertujuan melindungi kelestarian tumbuhan dan satwa liar yang terancam punah tersebut. Konvensi itu juga menetapkan berbagai tingkatan proteksi untuk lebih dari 33 ribu spesies. Tidak ada satu pun spesies terancam dalam perlindungan CITES yang punah sejak peraturan tersebut diberlakukan pada 1975.

Nah, untuk cenderawasih, ada 43 spesies, 35 di antaranya ditemukan di Papua, termasuk Papua Nugini. Sisanya sudah sulit ditemukan. Uniknya, spesies cenderawasih merah hanya bisa ditemukan di Raja Ampat. Masuknya cenderawasih dalam daftar terancam punah, karena dulu warga setempat sering memburu, membunuh, dan memperjualbelikannya. Dalam upacara adat, cenderawasih sering kali dipersembahkan kepada tamu sebagai tanda penghargaan.

Kini ritual itu tak lagi terjadi. Bupati Raja Ampat Marcus Wanma, dalam sambutan ulang tahun ketujuh kabupaten itu Senin pekan lalu, berjanji akan menjaga seluruh kekayaan alam Raja Ampat. ”Kelebihan kami adalah menjaga konservasi alam agar tetap lestari,” katanya. Tentu saja dengan harapan semakin banyak wisatawan yang menghabiskan waktu menikmati alam Raja Ampat, yang dapat mengisi pundi-pundi pendapatan setempat.

Ahmad Taufik (Raja Ampat, Papua Barat)


Cenderawasih yang dilindungi

Cenderawasih biru (Paradisaea rudolphi), berukuran sedang, panjang sekitar 30 sentimeter. Burung ini berwarna hitam dan biru, berparuh putih kebiruan, dengan kaki abu-abu, iris mata cokelat tua, serta di sekitar mata terdapat dua buah setengah lingkaran putih dan sayap biru terang. Daerah sebarannya di hutan pegunungan Papua Nugini bagian timur dan tenggara, pada ketinggian 1.400-1.800 meter di atas permukaan laut.

Cenderawasih kuning besar (Paradisaea apoda), berukuran besar, panjang sekitar 43 sentimeter, berwarna cokelat marun, dan bermahkota kuning. Tenggorokan berwarna hijau zamrud dan bantalan dadanya cokelat kehitaman. Yang jantan dihiasi bulu-bulu panggul yang besar warna kuning dan punya sepasang ekor ”kawat” yang panjang. Yang betina berbulu cokelat marun tak bergaris. Burung ini tersebar di hutan dataran rendah serta bukit di barat daya Papua dan Pulau Aru.

Cenderawasih goldi (Paradisaea decora), berukuran besar, panjang 33 sentimeter. Warnanya cokelat zaitun. Burung jantan punya dada berbulu kuning dan hijau tua, iris kuning, serta paruh, mulut, serta kaki abu-abu. Badan dihiasi bulu hias pinggang merah tua dan dua bulu panjang mirip kawat. Betinanya tak berbulu hias dan berbulu cokelat zaitun serta bagian bawah cokelat jingga. Burung ini terdapat di Papua Nugini dan kepulauan Papua sebelah timur.

Cenderawasih kaisar (Paradisaea guilielmi), berukuran sedang, panjang sekitar 33 sentimeter, berwarna kuning dan cokelat, berparuh abu-abu kebiruan, dengan kaki cokelat keunguan dan iris mata cokelat kemerahan. Pejantan dewasa memiliki muka, atas kepala bagian depan, dan tenggorokan berwarna hijau mengkilap. Kepala bagian belakang, punggung, dan sayap kuning, serta tubuh bawahnya cokelat. Pada bagian sisi dada terdapat bulu-bulu hiasan putih dan di ekor terdapat dua buah ”tali” panjang hitam. Yang betina berukuran lebih kecil, tanpa bulu hias, dengan kepala warna cokelat tua, punggung kuning kecokelatan, dan tubuh bagian bawah cokelat. Daerah sebaran: hutan pegunungan bagian bawah dan perbukitan Jasirah Huon di Papua Nugini, umumnya dari ketinggian 670-1.350 meter di atas permukaan laut.

Cenderawasih kerah (Lophorina superba), yang jantan berwarna hitam dengan mahkota hijau pelangi, mempunyai bulu penutup dadanya biru-hijau, dan berbulu pundak yang bisa menegak berwarna hitam beludru. Yang betina berwarna cokelat-kemerahan dan bulu bagian bawah bergaris-garis cokelat. Burung ini tersebar di seluruh hutan hujan Papua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus