Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lahirnya Orkestra Franki

Komposer dan etnomusikolog yang baru pulang dari belajar dan mengajar di luar negeri ini mementaskan orkestra aneka instrumen tradisional. Satu permulaan dari perjalanan yang justru panjang.

17 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANGGUNG menghamparkan pemandangan yang mengesankan satu konglomerasi instrumen musik. Enam sasando di sisi kiri, yang dibariskan dalam dua jajar. Di belakangnya, di undakan yang lebih tinggi, diletakkan tiga perangkat guzheng, semacam sitar yang lazim dalam pertunjukan kesenian Cina. Tambur dan beduk melapis di belakangnya lagi. Di sudut kanan dua rebab raksasa tegak dengan lengan berhiaskan ukiran Bali di ujungnya yang terlihat bagai tiang bendera. Instrumen-instrumen lain—gong, taganing, kendang, kolintang, lodong, rebab raksasa yang lain lagi, rebana, dan lain-lain yang barangkali orang juga baru melihatnya—menyebar di seluruh permukaan panggung sedemikian rupa sehingga hampir tak menyisakan ruang kosong.

Para pemain instrumen-instrumen itu berseragam putih, masing-masing dengan atribut khas daerah asal mereka—topi ti’i langga, ulos, dan lain-lain. Seperti sebagian besar dari mereka, R. Franki S. Notosudirdjo atau yang dikenal sebagai Franki Raden duduk bersila, posisinya di sisi depan panggung. Rambut putihnya yang dikucir kontras dengan kostum hitam-hitam yang dikenakannya. Membelakangi penonton, dia membentangkan tangannya, memberikan aba-aba.

Tangan dikibaskan. Dan intro Concerto for Indonesian National Orchestra pun membahana di Balairung Sapta Pesona, yang terletak di gedung Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta. Semua instrumen dibunyikan bersamaan, penuh semangat, energico, dan agung, grandioso.

Ketika gegap-gempita musik mereda, dan berganti dengan atmosfer mistis, kelompok paduan suara Voice of Seraphim dari Gereja Katolik Stella Maris, Pluit, yang berbaris di sisi belakang panggung berulang-ulang melantunkan larik dari mantra suku Dayak Kenyah. ”Pinggin pinggan utan lan boring….”

Malam itu, Rabu pekan lalu, Franki akhirnya mewujudkan keinginannya menghimpun aneka instrumen musik tradisional Indonesia dalam satu ansambel besar, satu orkestra, dan mementaskannya. Dia sudah mengangankannya sejak 1975, waktu baru lulus dari Institut Kesenian Jakarta. Dia baru bisa merumuskan konsepnya sepulang dari belajar etnomusikologi dan mengajar di luar negeri selama 15 tahun. Indonesian National Orchestra dibentuk setelah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyambut gagasannya. ”Konser ini akan menyadarkan orang bahwa musik Indonesia itu memang kaya,” katanya pada waktu latihan sehari sebelum konser.

Pemandangan aneka instrumen saat pertunjukan belum dimulai saja sebenarnya sudah membuka mata penonton. Sebagian besar, pastinya. Sebab, siapa yang pernah menyaksikan aneka alat musik tradisional itu—dari Pulau Rote, Tapanuli, Bali, Jawa Barat, Betawi, dan lain-lain—berada di satu panggung yang sama. Misalnya pula, siapa yang pernah menyaksikan lodong, instrumen raksasa mirip jegog, gamelan bambu khas Bali.

Tapi Franki, dengan menghidupkan instrumen-instrumen itu melalui komposisi yang disusunnya, membawa penonton lebih jauh melintasi bermacam karakter bunyi dan nada, juga atmosfer dan suasana hati. Ini lebih dari sekadar melihat barang secara fisik. Ini muhibah mental, jika bukan batiniah.

Pada Concerto for Indonesian National Orchestra, Franki memberikan ruang bagi suasana mistis, riang, puitis, juga sedih. Suasana riang, misalnya, terasa ketika rebana, juga taganing, perangkat gendang yang lazim dalam tortor pada masyarakat Batak, mengambil peran membangun ritme mirip tanjidor, yang lalu ditingkahi oleh instrumen lain. Seperti ada sapuan warna matang yang tegas yang lalu ditimpa aksen-aksen cerah. Atau di bagian lain saat ceng ceng ikut meramaikan bar-bar yang menonjolkan sinkopasi. Ketika tiba di bagian puitis dan liris, guzheng mengambil alih dengan dominasi dawai yang dipetik lembut dan anggun, grazioso, barangkali mengesankan pemandangan pedesaan yang subur; sedangkan gong memberikan aksen di sana-sini dan pesinden membubuhkan liukan vokal yang bertenaga.

Franki, kini 57 tahun, menjelaskan, Indonesian National Orchestra merupakan sarana yang dia yakini bisa memperlihatkan apa yang dia sebut sebagai ”Bhinneka Tunggal Ika dalam praktek”. Ada 60 musisi yang terlibat, sebagian besar musisi tradisional. ”Mereka para maestro,” katanya. Semua ahli di bidang masing-masing, hidup dari sana, dan semua punya ego. ”Orkestra menyatukan mereka dan menciptakan harmoni,” katanya.

Menyatukan dan mengharmoniskan bukanlah pekerjaan gampang. Di panggung, menurut Franki, secara teknis kesulitannya adalah menemukan penataan suara yang pas supaya bunyi khas setiap instrumen bisa keluar natural. Dalam latihan, yang pada hari terakhir baru rampung sekitar pukul 12 malam, memang terlihat bagaimana urusan ini masih harus menyita sebagian perhatiannya. Dia dibantu oleh Danny Ardiono, penata suara dari Teater Salihara.

Namun tantangan terbesarnya, sesungguhnya, justru bukan di sisi teknis, melainkan mengubah pola pikir. Para maestro itu harus belajar menyesuaikan diri bekerja dalam orkestra. Sebagai konduktor, Franki harus pandai-pandai menggabungkan etos konduktor yang bisa seperti diktator dengan cara-cara rileks, termasuk gurauan, untuk membangun kerja sama. Sudah begitupun dia masih sempat harus kerepotan mencari pengganti pemain taganing, karena pemain sebelumnya sulit menyesuaikan diri dan memilih pulang ke kampung.

Franki memang harus mendatangkan sebagian pemain dari daerah asal mereka. Sebagian yang lain kebetulan ada di Jakarta. Dia tak punya banyak pilihan karena waktunya hanya tiga bulan; dia terutama mengandalkan musisi-musisi yang sudah dikenalnya. Untuk memudahkan proses, dia bekerja dulu terpisah-pisah dengan setiap musisi, memberikan workshop dan berlatih, baru mengumpulkan seluruhnya beberapa saat saja menjelang konser.

Seperti concerto pada umumnya, Franki menyiapkan Concerto for Indonesian National Orchestra sebagai semacam etalase bagi instrumen tertentu untuk tampil. Bedanya, Franki tidak memilih satu jenis instrumen saja—itu sebabnya Indonesian National Orchestra disebut dalam judul. ”Tidak semua, tapi hampir sebagian besar memperoleh kesempatan untuk mengambil peran solo,” katanya.

Barangkali akan ada orang yang teringat pada apa yang pernah dilakukan oleh Mike Oldfield melalui Tubular Bells. Dalam bagian pertama dari komposisi yang dia rilis pada 1975 itu, sepanjang kira-kira 25 menit, musisi multiinstrumentalis dari Inggris ini menggabungkan aneka instrumen, sebagian besar jarang ditampilkan di acara-acara musik, dalam satu orkestra untuk menghasilkan bermacam ritme, bunyi, nada, dan harmoni yang saling mengisi; dia memberi setiap instrumen kesempatan untuk bersinar.

Seperti Oldfield, Franki berhasil memadukan instrumen yang dia pilih dan menghasilkan variasi musikal yang kaya akan tekstur sekaligus unik. Yang barangkali terlewatkan adalah Franki tidak menyelipkan bagian untuk memperkenalkan setiap instrumen (sebab, bukankah tidak semua orang tahu?). Oldfield menempatkan seorang narator dalam karyanya, yang menyebutkan satu per satu instrumen yang sedang mengambil bagian solo.

Walau begitu, sebagai permulaan, Franki telah membuktikan bahwa keragaman, dengan potensi konflik di baliknya, bisa dikelola untuk menghasilkan kepaduan dan keselarasan. Dia bahkan menunjukkan, betapapun jauh dari sempurna, bahwa perbedaan tajam dalam watak dasar musik dan kebiasaan musisi juga bisa diatasi. Pada penutup konser, encore, dimainkanlah Romance D’Amor, komposisi klasik yang populer di kalangan pelajar gitar. Ada hambatan tangga nada di sini. Tapi para pemusik bisa melalui nomor ini, mencapai pitch yang mendekati aslinya, tanpa mengubah seteman pentatonis sebagian besar instrumennya.

”Semoga ini tetap berlanjut, dengan komposisi-komposisi lainnya,” kata Addie M.S., konduktor Twilight Orchestra, di sesi audiensi dengan Franki seusai konser.

Di hadapan Franki, bagaimanapun, kini memang terbentang jalan panjang yang harus ditempuh untuk memastikan bahwa apa yang telah dia mulai bisa disempurnakan—sebagaimana yang diinginkannya.

Purwanto Setiadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus