Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bank Dunia menghentikan pembiayaan proyek penebangan hutan tropis karena kerusakan hutan dinilai memprihatinkan. Indonesia termasuk salah satu negara yang diberi perhatian khusus. GEMPURAN dan protes bertubi-tubi dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) itu akhirnya membuat Bank Dunia takluk. Dua pekan lalu, organisasi internasional yang dikenal kaku ini mengubah beleid kehutanannya yang sudah digariskan 13 tahun lalu. "Lahirnya kebijakan baru ini terutama karena tekanan LSM, di samping kami semakin sadar tentang masalah lingkungan," kata Leandro V. Coronel, juru bicara senior Bank Dunia, dan kantornya di Washington. Dalam kebijakan baru ini, Bank Dunia berjanji tidak akan membiayai proyek penebangan hutan tropis dengan alasan apa pun. Selain itu, setiap proyek prasarana -- seperti pembangunan jalan, bendungan, dan pertambangan -- yang tetap menginginkan bantuan dari Bank Dunia haruslah memiliki analisa dampak lingkungan. Soalnya, proyek seperti itu dianggap dapat juga merusakkan hutan primer. Bank Dunia, yang merupakan sumber kredit negara dunia ketiga sejak berdiri pada 1944, telah membiayai 80 proyek dalam bidang kehutanan dengan total pinjaman US$ 2,3 milyar. "Sikap Bank Dunia ini suatu kemajuan sekali," ujar Hira Jhamtani dari LSM Jaringan Rakyat untuk Pelestarian Hutan Indonesia (Skephi). Bersama wakil 60 LSM dan pelbagai negara, Hira diundang untuk memberi masukan dalam kebijakan kehutanan baru ini. Mei tahun lalu, menurut Hira, meski undangan ini bukan datang atas inisiatif Bank Dunia sendiri, atas desakan beberapa LSM kelas internasional (Green Peace, World Wild Fund for Nature, dan Bank Information Centre), itu sudah menunjukkan niat baik organisasi itu untuk mengubah citranya sebagai perusak lingkungan. Diskusi empat hari di Washington itu merupakan rangkaian tekanan LSM agar Bank Dunia mau mengubah garis kebijakannya. Menurut pakar hukum Environment Defense Fund Lori Udall, usaha itu sudah dimulai sejak 1986. Caranya: melakukan unjuk rasa dalam pertemuan tahunan Bank Dunia, dan mengadakan berbagai kajian ilmiah untuk mengritik kebijakan organisasi itu. Kebijakan baru ini, menurut Direktur Departemen Pertanian dan Pengembangan Pedesaan Bank Dunia Michel Petit, diambil karena tingginya tingkat perusakan hutan. Diperkirakan sekitar 17-20 juta hektare hutan dirusak tiap tahunnya, dan sebagian besar adalah hutan tropis. Padahal, seluruh umat dunia berkepentingan dengan adanya hutan tropis, karena hutan ini memberi andil besar dalam naik turunnya iklim bumi dan keanekaragaman hayati. Karena kerusakan terbesar ada di hutan tropis, Bank Dunia akan memberi perhatian khusus pada 20 negara yang memiliki 85% kekayaan hutan tropis dunia, yang kini kondisinya memprihatinkan. Menurut Petit, jumlah lahan hutan di 20 negara yang ada di Amerika Selatan, Afrika, dan Asia Pasifik itu lebih dari 1 milyar hektare, tapi tingkat kerusakan tiap tahun mencapai 14,5 juta hektare. Tingkat kerusakan hutan Indonesia, berdasar dokumen itu, ada di urutan kedua setelah Brasil. Negara di Amerika Latin itu tiap tahun membabat delapan juta hektare hutan dari 375 juta yang dimiliki. Sedangkan jumlah lahan hutan Indonesia hampir mencapai 114 juta hektare, dengan tingkat kerusakan tiap tahun 0,9 juta hektare. Menurut penelitian Skephi dalam buku Menjual Warisan Kita, faktor utama penurunan luas hutan adalah kegiatan penebangan oleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Dari luas hutan Indonesia (menurut Departemen Kehutanan, luasnya 144 juta hektare), 64 juta hektare sudah terkapling-kapling untuk HPH. Namun, kebijakan Bank Dunia baru ini tampaknya tidak akan mempengaruhi kegiatan HPH. "Kita tidak pernah memakai dana bantuan Bank Dunia untuk eksploatasi hutan," ujar Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap. Bantuan Bank Dunia untuk sektor kehutanan kini jumlahnya US$ 54 juta, yang terbagi dalam dua tahap. Dana itu, antara lain, digunakan untuk inventarisasi hutan nasional, membangun taman nasional, dan membuat master plan Hutan Tanaman Industri. Satu-satunya bantuan Bank Dunia kepada proyek di Indonesia, yang dikritik habis-habisan selama lebih dari empat tahun, adalah pembangunan waduk Kedung Ombo. Waduk di Jawa Tengah itu memaksa sekitar 27 ribu penduduk menyingkir. Sekitar 6.000 hektare lahan penduduk dan pertanian, termasuk lahan Perhutani, tenggelam dalam proyek dengan bantuan US$ 156 juta dari Bank Dunia itu. Proyek itu kini sudah selesai. Yang terus menjadi sorotan LSM -- karena masih berlanjut adalah proyek transmigrasi. Sasaran transmigran baru untuk tahun anggaran 1991/1992 adalah sebesar 70 ribu KK. "Bayangkan, berapa besarnya hutan yang dibuka bila setiap KK mendapat lahan dua hektare," ujar Hira. Selain untuk lahan pekarangan dan usaha, pembukaan hutan juga dilakukan untuk pelbagai sarana dalam proyek transmigran itu seperti jalan, jembatan, dermaga, dan drainase. Namun, Menteri Transmigrasi Soegiarto menolak anggapan bahwa transmigrasi banyak merusak hutan. "Survei Bank Dunia tahun lalu menyatakan, proyek transmigrasi hanya menempati 1,4 persen hutan produksi terbatas," katanya kepada Rini PWI dari TEMPO. Untuk program tersebut, yang terjabar dalam 69 proyek, Departemen Transmigrasi mengandalkan dana dari APBN dan bantuan luar negeri. Sekitar Rp 52,7 milyar dana datang dari luar, di antaranya dari Bank Dunia ini. Meski gempuran mereka berhasil, banyak LSM yang tetap waswas. "Dalam pelaksanaan operasinya, Bank Dunia terkadang berbeda dengan kebijakannya," kata Lori Udall. Diah Purnomowati dan Bambang Harymurti (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo