Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mimpi tiga dimensi

As dan jepang sedang mengembangkan teknologi kom- puter.program vr (virtual reality) menjanjikan du- nia semu yang serba mungkin,termasuk pelajaran ma- tematika & petualangan seks.harganya rp1,4 milyar.

3 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenyataan yang Khayal atau Khayalan yang Nyata Anda bisa menghadirkan Madonna atau siapa saja yang Anda inginkan di rumah Anda, dan itu sepenuhnya milik Anda. Inilah teknologi komputer yang kini sedang dikembangkan di Jepang dan Amerika, yang bila berhasil untuk sementara bisa dibeli dengan harga sekitar US$ 700.000 atau Rp 1,4 milyar. Mimpi Tiga Dimensi Amerika dan Jepang mempopulerkan program "VR" tiga dimensi. "V" menjanjikan dunia semu yang serba mungkin, termasuk pelajaran matematika dan petualangan seks. TAK lama lagi, sebuah kaca mata dan sarung tangan "ajaib" akan siap mendobrak mimpi menjadi kenyataan. Baik impian yang setinggi langit, umpamanya pergi ke luar angkasa, maupun mimpi di darat, misalnya memeluk rocker Madonna. Tengoklah apa yang dilakukan Keith Butler di Seaffle, AS. Eksekutif bagian mesin Boeing ini tengah mencoba "terbang" dari sebuah laboratorium komputer yang gelap. Butler mengenakan headset -- sebuah kaca mata gelap ukuran besar yang diikat di kepala, lengkap dengan headphone stereo -- dan sarung tangan dengan jajaran kabel di atasnya. Tiba-tiba Butler sudah berada di sebuah landasan pesawat udara. Dengan hanya mengacungkan jari telunjuk saja ke arah depan, sebuah pesawat terbang muncul di mukanya. Ketika Butler memutar tangannya, yang dirasakannya adalah seperti mengelilingi pesawat itu. Butler berhenti sejenak untuk membuka sebuah lubang di tubuh pesawat, memeriksa peralatan penyelamat penumpang. Lalu dengan gerakan tangan lagi, Butler sudah berada di dalam cockpit. Ia menyentuh tombol di panel untuk menghidupkan mesin. Sesaat kemudian Butler pun mengudara, dan menikmati pemandangan hijau dan cokelat di bawahnya. Beberapa menit kemudian, pesawat mendarat di landasan pacu. Tapi tunggu. Kalau Keith membuka kaca matanya, ia ternyata masih berada dalam ruang laboratorium komputer tadi. Tak ada pesawat, tak ada landasan pacu. Pesawat yang dinaikinya hanya hadir dalam dua layar kecil yang ada di ujung headset. Di belakang semua itu komputerlah dalangnya. Keith baru saja melakukan perjalanan di dunia baru yang digerakkan komputer dan dikenal sebagai virtual reality (VR), "kenyataan semu". Perusahaan Matsushita di Jepang yang kemudian menjadi pelopor menggunakan teknologi ini untuk tujuan komersial. Sejak April lalu, Matsushita Electric membuka showroom "dapur semu" di Tokyo, sebagai daya tarik penjualan peralatan dapur. Calon pembeli tinggal mengutarakan gambaran dapur yang diinginkannya. Lalu, pemrogram memasukkan data-data itu dalam komputer dalam tempo satu jam. Setelah itu pembeli dipersilakan mengenakan peralatan yang sama seperti di AS, yaitu kaca mata dan sarung tangan. Maka, di mata calon pembeli tampak sebuah dapur impian, lengkap dengan oven, rak-rak piring, lemari, kulkas, pokoknya peranti dapur lengkap. Dan karena pembeli adalah raja, ia dipersilakan memeriksa sudut-sudut ruangan dapur ini, dengan gambar sebuah tangan sebagai cursor. Kalau pembeli menggerakkan tangan, cursor ikut bergerak sesuai dengan arah gerakan tangan pembeli yang sebenarnya. Tangan itu bisa bergerak ke depan, ke belakang, ke samping. Membuka, menutup pintu lemari, atau kalau mau membuka keran. Memindahkan posisi oven, meja makan, dan kulkas. Bahkan, kita bisa mengambil piring dan melemparkannya ke dinding, pyaar. Fasilitas virtual reality itu sebenarnya hanya memberikan rangsangan palsu terhadap indera penglihatan dan peraba. Program VR menyediakan pelbagai bentuk gambar yang terangkai kompak. Jadi, yang disuguhkan kepada mata, lewat dua buah layar pada headset, sebenarnya tak lebih dari sebuah film seperti yang ada dalam layar TV. Tapi VR menyajikannya dalam tiga dimensi. Ini yang membuat pemakai VR merasa masuk dalam dunia yang diimpikannya. Yang lebih hebat, teknologi ini punya respons terhadap gerakan kepala pemakainya. Jika kepala bergerak ke kiri, ke kanan, menunduk, atau tengadah, secepat itu pula gambar akan berubah. Kalau gerakan itu kecil saja, perubahannya hanya menyangkut sudut penglihatan. Namun, kalau posisi kepala bergeser jauh, obyek penglihatan akan berubah. Pada headset itu terdapat sensor magnetik, yang memonitor pergerakan orientasi kepala. Kalau kepala bergerak, sensor ini cepat-cepat mengirim laporan lewat kabel yang terbuat dari serat kaca. Reaksi yang timbul ya perubahan gambar itu. Secara rata-rata, sistem VR ini bisa memberikan 30 macam gambar dalam tempo satu detik. Sosok yang muncul pun meyakinkan kualitasnya, dilihat dari mutu gambarnya. Setiap layar pada headset buatan AS kabarnya sanggup menyajikan resolusi gambar sampai 340.000 pixel (elemen gambar). Mulusnya kulit Marilyn Monroe, kalau ada yang membuat program ini, tak akan berkurang gara-gara gangguan teknis. Headset buatan Jepang kini masih ketinggalan. Resolusinya baru mencapai 100.800 elemen gambar, dan baru bisa menyajikan lima gambar per detik. Fungsi sarung tangan pada perangkat VR tak kalah penting. Pada beberapa program, seperti milik Lab Boeing di Seattle, AS, jari tangan bisa memberikan komando gerakan. Kalau jari digerakkan ke depan, sepertinya kita bergerak maju. Program yang lain memakai kaki sebagai penunjuk gerak di alam semu itu. Namun, secara umum, sarung tangan bisa dipakai sebagai alat untuk memegang benda semu di alam bohong-bohongan ini. Lihatlah, sarung tangan VR buatan Matsushita itu. Di situ kabel-kabel serat kaca berjubel, menghubungkan sarung tangan ke komputer. Di antara kabel-kabel itu terdapat sensor yang tugasnya melaporkan arah dan bentuk gerakan telapak serta jemari tangan. Sarung tangan Matsushita itu dihubungkan pula dengan satu kompresor udara. Rangsangan terhadap kulit tangan dilayani oleh sistem pneumatic. Bila sarung tangan itu hendak dipakai untuk memegang piring di dapur semu Matsushita itu misalnya, kompresor memompa udara ke jari-jari tangan. Alhasil, tangan seperti memegang benda keras. Jika tangan hendak dipakai memegang karet busa misalnya, udara yang dipompa tak terlalu keras sehingga terkesan seperti menyentuh barang empuk. Gara-gara VR bisa memberikan pembedaan mana yang keras dan mana yang empuk, kini banyak yang berminat mengembangkannya untuk program petualangan asmara, di antaranya Angel Studios dari Amerika. Perusahaan ini merencanakan membuat program seks ini untuk membantu mereka yang tidak sanggup mendapatkan mitra seks. Lagi pula, "Di tengah kejaran AIDS, tak ada yang lebih aman dari seks elektronik dengan VR ini," begitu suara Angel Studios. Untuk menghibur diri, pemakai VR bisa menemui penyanyi Madonna yang panas itu, bintang film Demi Moore, atau bahkan almarhumah artis Marilyn Monroe. Program komputer bisa membuat artis-artis itu tampil sebagai dara umur belasan tahun. Di alam VR itu, orang bebas memperlakukan pujaan yang dipilihnya. Menatap dari sudut yang paling diinginkan. Bosan menatap, kita bisa membelai-belai rambutnya, atau mengelus pundaknya. Dijamin mereka tak akan marah. Bahkan, mungkin bisa lebih dari itu, tergantung kecanggihan programnya. Yang jelas, ahli VR sudah mulai rasan-rasan untuk memberikan sensasi seks lewat teknologi komputer mutakhir ini. Tapi VR bukan melulu permainan orang dewasa. Anak-anak bakal termasuk sasaran "korban" permainan alam semu ini. Selama ini, anak-anak hanya disuguhi atraksi film action semacam Superman lewat layar TV atau layar lebar di gedung bioskop. Atau paling maju, mereka bermain game di layar komputer pribadi (PC). Permainan VR bisa membuat mereka lebih merasa terlibat, dan menikmati sensasi-sensasi baru. Mereka tak hanya bisa menonton Superman beraksi menumpas gerombolan jahat yang dipimpin Luthor. Dengn fasilitas VR, anak-anak bisa masuk ke film Superman itu. Mereka bisa terbang berdampingan dengan Superman, bahkan membantunya memukul Luthor. Teknologi VR dinujumkan pula bakal bisa menolong pecandu obat bius. Mereka bisa "mimpi" tanpa menenggak obat bius. Halusinasi, yang diperoleh lewat morfin, ganja, atau sejenisnya, bisa diganti dengan halusinasi yang ditayangkan kedua layar pada headset. Tapi pemakainya pun bisa kecanduan. Repot memang. Untungnya, paling tidak, "Halusinasi elektronik itu tak menimbulkan kerusakan fisik," kata seorang pengamat VR Amerika seperti dikutip The New York Times bulan lalu. Tingkat kecanduan berhalusinasi dengan VR itu, kata pengamat tadi, sama seperti orang kecanduan menonton bola di televisi. Cepat atau lambat, teknologi alam semu dari VR itu bakal memasuki kehidupan nyata secara luas. Dalam jumlah dan jenis program yang terbatas, perlengkapan VR ini telah dijual di Amerika. Harganya masih mencekik untuk saat ini. Satu unit headset dihargai US$ 10.000-49.000. Dan sebuah sarung tangan lengkap dengan instrumen pembantunya, yang biasa disebut data gloves, ditawarkan US$ 8.000. Tapi itu belum lengkap. Harus ada komputer grafis sebagai sarana pendukung. Komplet satu set harganya paling murah US$ 250.000, hampir Rp 500 juta. Ini jenis yang belum canggih. Satu set sistem VR Matsushita yang digelar di Tokyo, yang hanya menyajikan dapur semu, itu konon harganya sampai US$ 700.000. Bagaimanapun juga, sistem VR sulit ditolak kehadirannya. Makin hari, akan lebih murah dan makin murah terus, sebagaimana kehadiran televisi, video, atau PC. Kini perusahaan VPL di California, AS, mengembangkan data gloves untuk pemakai PC biasa. Sedangkan, Sony dan perusahaan elektronik Jepang lainnya melirik kemungkinan layar televisi sebagai pesawat penerima program VR ini dengan peralatan yang lebih murah. Di balik sukses teknologi VR itu ada sumbangan besar dari ahli-ahli elektronika di angkatan udara Amerika. Mereka yang memulai merancang VR untuk keperluan simulasi di pusat-pusat latihan pilot tempur "US Air Force". Thomas Furness adalah pelopor ilmu pseudo untuk tujuan militer. Dua puluh tahun Furness menghabiskan waktu untuk berkencan dengan teknologi ini. Mula-mula, dalam pekerjaannya sebagai petugas penguji penerbangan di angkatan udara dan kini sebagai kepala laboratorium Human Interface Technology di Universitas Washington, di Seattle. Ketika masih di AU, sekitar tahun '66, Furness mulai bekerja dengan sistem peragaan visual. Ia tertarik dan melakukan penelitian yang berhubungan dengan realitas semu ini sebatas dana yang tersedia. Program VR ini, kata Furness, tidak seperti melihat televisi atau PC. "Dengan peralatan itu Anda hanya dapat menonton," kata Furness. Tapi dengan VR kita masuk dalam ruangan itu dan dapat mengutak-atik segalanya. Tahun 1981, Furness dan timnya, yang bekerja di pangkalan AU "Wright-Patterson " di Dayton, memperkenalkan "Super Cockpit", untuk melatih pilot menerbangkan jet tempur F-16 dan pesawat berkecepatan tinggi lainnya, dengan simulator visual. Caranya, calon pilot itu melihat ke gambar "Virtual Reality" di komputer yang diproyeksikan ke dalam helm simulator yang dikenakan. Untuk mengelilingi dunia ini, pilot tak perlu mengingat-ingat fungsi dan posisi tombol-tombol dalam cockpit. Ia dapat mengontrol pesawat semu itu terutama dengan gerakan mata dan kalimat perintah sederhana. Untuk mendorong proyektil, misalnya, ia tinggal menunjuk target dan menekan tombol dalam kontrol buatan. Kelompok Furness dapat menyelesaikan masalah antara orang dan mesin yang menjadi dasar VR itu, umpamanya jantung berdebar, keringatan, dan adrenalin melonjak. Yang tidak dapat dilakukan Furness adalah mengecilkan biaya operasi "Super Cockpit" ini. Ongkos membuat satu helm simulator saja hampir lima juta dolar, dan untuk mengoperasikannya dibutuhkan delapan komputer. Peneliti dari NASA, Michael Mc Greevy, yang ditugasi mengembangkan VR di Pusat Riset Ames untuk kepentingan eksplorasi planet, pernah meminta Furness menjual helm "Super Cockpit" pada NASA. Furness memberi harga satu juta dolar. Harga itu dianggap selangit. Mc Greevy dan timnya mencari-cari perangkat dari televisi ukuran saku dan peralatan ringan lainnya, untuk menyusun apa yang disebutnya simulator personal, seharga 2.000 dolar saja. Ketika industri video game melonjak, perancang permainan dari Atari bergabung dengan NASA dan membantu mengembangkan sistem yang lebih baik. Mereka dapat menciptakan peralatan untuk laboratorium VR dengan harga US$ 20 ribu sampai US$ 250 ribu. Di antaranya data glove seharga US$ 8.000 buatan perusahaan VPL. VPL, sebuah perusahaan kecil di Redwood City, California, berada di garis depan dalam mengembangkan program VR untuk berbagai tujuan. Kini VPL menjadi pemasok utama segala perlengkapan yang dibutuhkan untuk menciptakan petualangan dengan VR itu. Jaron Lanier, 31 tahun, adalah pemrogram yang menciptakan istilah virtual reality dan salah satu pendiri VPL tahun 1985. Ia meninggalkan bangku SMA untuk mengambil pelajaran komposisi musik. Tapi ia nyasar menjadi perancang video game yang membuatnya kaya. Penampilannya yang eksentrik membuatnya lebih kelihatan seperti penyanyi reggae daripada ahli komputer. Kini kemungkinan pemakaian teknologi VR terbentang luas, untuk pelbagai keperluan. Bahkan, periset kawakan dari IBM, Daniel T. Ling, mengatakan, "Pemakaiannya boleh dikatakan tidak terbatas." Namun, beberapa ahli VR menyebut beberapa lahan yang sangat mudah diterobos VR, di antaranya bidang kedokteran. Masuknya VR di bidang kedokteran diperkirakan bakal menggusur mayat-mayat tanpa identitas, dari ruang praktikum mahasiswa kedokteran. Untuk sekadar belajar anatomi dan ilmu jaringan, mereka tak lagi perlu mengaduk-aduk jasad mati yang berbau formalin itu. VR dapat memberi gambaran lengkap tentang bentuk dan susunan organ-organ tubuh serta sistem jaringannya. Pelajaran ilmu bedah pun dapat ditayangkan lewat layar VR. Mahasiswa, atau calon dokter ahli, dapat menyaksikan teknik-teknik bedah mutakhir tanpa harus hadir ke ruang operasi. Cara ini jauh lebih efektif dibanding metode pelajaran lewat video yang kini sering diberikan. Sebab, dengan VR mereka seperti hadir dalam ruang bedah. Program untuk penanganan penyakit kanker kini sudah usai dirancang oleh Henry Fuch, ahli komputer dari Universitas North Caroline. Mula-mula, dilakukan diagnosa konvensional dengan sinar-X, resonansi magnet, atau ultrasound. Hasilnya masuk program VR. Lalu, dengan program VR itulah para dokter dapat melakukan bedah atau penyinaran dengan radiasi secara semu, sebagai uji coba, sebelum tindakan medis sesungguhnya dilakukan. Dalam dunia desain, Keith Butler, periset Boeing, membuat program VR bukan untuk simulasi belaka. Lewat VR itu dia dapat merancang interior di dalam sebuah Boeing. Untuk kepuasan pelanggannya, Keith akan mengajak calon pembeli itu menyaksikan rancangan interior itu. Kalau pembeli merasa puas, barulah interior yang sebenarnya dibuat. Kerja sama Apple-Macintosh telah membuat program VR untuk arsitektur. Dengan program ini, para arsitek dapat merancang sebuah bangunan, dari dalam dan luar. Hasil desain itu yang disodorkan kepada calon pemilik gedung. Dengan program VR itu, calon pemilik gedung dapat memeriksa rancangan bangunan itu, dari luar, dan meninjau ruang-ruang dalamnya, hampir tanpa sadar bahwa bangunan itu sama sekali belum dibuat. Penggunaan VR dalam pendidikan misalnya oleh William Bricken dari Universitas Washington, di Seattle. Ia kini sedang membuat program VR untuk aljabar dan kalkulus. Dia tak ingin membiarkan siswa-siswa kebingungan membayangkan garis atau bidang menempati sebuah ruang. Lewat simulasi siswa itu dapat melihat bidang atau garis yang dapat dibangun dari sebuah persamaan matematik. Para siswa sering kelimpungan membayangkan teori kuantum yang menyangkut elektron. Sebab, elektron ini sering disebut sebagai materi, di sisi lain dia berperilaku sebagai gelombang. Program VR menawarkan gambaran perilaku elektron dalam tiga dimensi. Di dunia industri pemakaian VR sifatnya semacam geladi bersih, menjelang pekerjaan yang sebenarnya dilakukan. Lewat fasilitas VR para pekerja Boeing diminta melihat jaringan kabel atau pipa-pipa hidraulis pada tubuh pesawat, sebelum menggarap dinding bagian dalam. Dengan demikian, kasus-kasus salah bor dapat dihindari. Tentu saja tak semua program VR yang diciptakan membawa pengaruh baik. Soalnya, akan ada saja orang iseng yang akan membuat program menyimpang, umpamanya fantasi membunuh orang dengan gergaji mesin. Atau petualangan seks dan halusinasi yang disebutkan tadi. Furness mengkhawatirkannya, karena VR ini, "dapat digunakan untuk mengekspresikan perilaku menyimpang." Lebih jauh lagi, kendati VR dapat menjadi media hebat dalam banyak hal, jangan-jangan di masa datang orang malas menggali ilmu dari dunia nyata. PTH, BSU

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus