Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila Israel tetap ngotot, dan pihak Arab tak lagi punya peluang untuk melangkah mundur, apa lagi akal Amerika? Dan, bila kemacetan berkepanjangan, apa yang akan terjadi? APA jawaban Israel setelah Presiden Suriah Hafez Assad bersedia berunding dengan Israel, dua pekan lalu? Setelah Presiden Bush mengimbau agar Israel membantu melicinkan jalan ke perundingan damai Arab-Israel pekan ini? Percaya atau tidak, negeri Yahudi itu malah mempercepat pembangunan 4.000 perumahan di wilayah pendudukan. Padahal, penghentian pembangunan untuk imigran Yahudi, terutama dari Soviet itulah yang oleh pihak Arab (Mesir, Arab Saudi, Suriah, Yordania) diminta dihentikan. Sebagai imbalannya, sebagai awal isyarat damai, negara-negara Arab akan menghentikan boikot ekonominya terhadap Israel, yang sudah berjalan sekitar 40 tahun. Bagi pihak Arab, diteruskannya pembangunan perumahan itu hanyalah membuktikan bahwa Israel ingin tetap menguasai Tepi Barat dan Jalur Gaza. Bagi Perdana Menteri Yitzhak Shamir, antara perumahan buat imigran Yahudi dan perundingan internasional Timur Tengah mencari jalan damai konflik Arab-Israel, tak ada kaitannya. Padahal, Hafez Assad mestinya sudah melakukan satu langkah mundur yang sangat revolusioner. Tokoh ini selama ini oleh kelompok ultrakanan di Israel dicap sebagai pemimpin teroris yang tak layak duduk di meja perundingan. Ia didakwa melindungi Ahmad Jibril, pemimpin pejuang Palestina yang oleh Israel dianggap teroris menakutkan. Tuduhan itu dijawab Assad, yang masih berumur 18 tahun kala negara Israel berdiri, dengan tak kurang kerasnya: tak ada kata kompromi dengan Yahudi, kapan pun. Tapi tiba-tiba ia menyatakan menerima formula damai James Baker, bersedia berunding langsung dengan Israel. Secara tidak langsung ia mengakui adanya negara Yahudi yang berdaulat di wilayah yang dulu didiami orang Palestina. Setelah Presiden Anwar sadat berunding dengan Israel di Camp David, 1979, Hafez Assadlah pemimpin kedua dunia Arab yang bersedia duduk semeja dengan pemimpin Yahudi. Menurut penulis Jackson Diel dalam tulisannya di surat kabar Washington Post Jumat pekan lalu, perubahan sikap Assad terjadi setelah November tahun lalu ia bertemu dengan Bush di Jenewa. Ketika itu Bush menanyakan mungkinkah Assad mengekstradisikan Ahmad Jibril yang dituduh mengebom pesawat Pan Am di Lockerbie, Skotlandia, pada 1988. Di luar dugaan Bush, Assad tertawa. Kata dia, itu justru akan menyulitkan Bush. Ia akan membawa seorang pengacara andal dan bila menang perkara dan dibebaskan, tentu Jibril "akan meminta kartu hijau pada Tuan Bush." Mungkin sikap santai pemimpin Suriah berusia 61 tahun ini membuat Presiden Bush pun jadi enak berunding. Tentu jangan dilupakan, dukungan Suriah pada Amerika dalam melawan Saddam Hussein dalam Perang Teluk. Kabarnya, dari Jenewa inilah Assad yakin bahwa Amerika sudah berubah, dan menginginkan satu "penyelesaian damai di Timur Tengah secara komprehensif." Padahal, dulu, 1983, Assad menolak iku serta dalam upaya Amerika mendamaikan Libanon dan Israel. Tapi Assad, yang merebut kekuasaan pada 1970 lewat kudeta tak berdarah, memang tokoh Timur Tengah yang unik. Ketika perang Iran-Irak, dan negara-negara Arab memihak Irak, Suriah mendukung Iran. Menghadapi tokoh pemeluk Alawit, satu sekte Syiah di Suriah yang minoritas, yang sejak kecil merasakan diskriminasi ini bukannya tak mungkin Shamir bakal terpojok. Itu bila perundingan memang mungkin terlaksana. Masyarakat Israel sendiri, menurut pengumpulan pendapat surat kabar Yediot Ahronoth, hampir 80% sangat berharap pemerintah Tel Aviv menerima proposal damai Amerika. Bahkan, para pengikut Partai Buruh, partai oposisi yang sudah lama menganggap bahwa Tepi Barat dan Jalur Gaza memang pantas diberikan pada orang Palestina, bersedia mendukung Shamir sebagai perdana menteri lagi dalam pemilu berikut asal ia membawa Israel ke meja perundingan dengan Arab. Tapi, di Israel muncul pula tafsiran lain terhadap melunaknya sikap Assad. Surat kabar Jerusalem Post, yang kini berada di bawah pengaruh Partai Likud, partai yang berkuasa, menulis bahwa kesediaan Presiden Suriah itu berunding disebabkan karena sikap "keras kepala dan nekat"-nya Yitzhak Shamir. Harus diberikan penghargaan pada Shamir, yang telah membuat Assad menerima perundingan tulis koran ini. Itukah yang kemudian Shamir kembali melempar syarat yang menutup jalan ke perundingan? Ia menuntut diberi hak veto menentukan siapa-siapa yang mewakili pihak Palestina dalam perundingan. Padahal, salah satu dari tiga wakil Palestina adalah Faisal Husseini dari Yerusalem Timur. Wakil ini di mata Shamir tidak sah. Sebab, wilayah yang diperoleh Israel dalam perang enam hari pada 1967 itu adalah bagian dari Yerusalem keseluruhan, kata Shamir. Dengan kata lain, Yerusalem Timur bukanlah wilayah yang layak dibawa ke perundingan. Shamir tentu tahu bahwa Husseini dan kawan-kawannya pagi-pagi sudah menyatakan, tanpa wakil dari Yerusalem Timur, tak seorang pun wakil Palestina bersedia berunding. Sebab, wilayah itu jadi pusat kegiatan politik dan budaya Palestina, dan diharapkan bisa jadi ibu kota Negara Palestina merdeka yang diharapkan. Bila Jerusalem Post benar, kengototan Shamirlah yang membuat Arab (Suriah terutama) mundur selangkah, sikap keras kepala perdana menteri Israel itu kini diharapkan menghasilkan keuntungan baru. Bukan hanya Yerusalem Timur, tapi juga Jalur Gaza dan Tepi Barat, nanti akan disebutkannya sebagai wilayah yang tak layak diperundingkan. Tegakah pihak Arab menerima itu meski karena ulah Arafat dalam Perang Teluk yang lalu Palestina memihak Irak? Sungguh sulit mempertahankan akal sehat bila Assad, Mubarak, dan Raja Hussein, setidaknya, tak memilih perang bila mereka dipojokkan oleh Shamir dengan cara ini. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo