Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah Ngata, Seorang Tina
Sarung lusuh membebat tubuhnya yang kurus. Daster yang warnanya tidak lagi jelas membungkus perempuan muda yang selalu mengikat ekor kuda rambutnya ini. Rukmini, 33 tahun, baru pulang memetik buah cokelat. Keringat membanjiri dahi dan sekujur tubuhnya, amat kontras dengan udara dingin pagi itu. Tiap hari, warga Ngata (Desa) Toro di kawasan enclave Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, ini memeriksa batang-batang cokelatnya sebelum beraktivitas layaknya ibu-ibu pedesaan lain.
Rukmini Paata Toeke?nama lengkapnya?adalah perempuan desa biasa yang kebetulan menjadi tina ngata, ibu kampung. Inilah satu dari tiga serangkai unsur pemerintahan Ngata Toro, hutan adat di desa seluas 18.360 hektare yang dikelilingi taman nasional dengan Naftali B. Porentjo sebagai Maradika (Kepala) Ngata Toro.
Kampung yang kini berpenduduk 2.030 jiwa ini nyaris dibedol 14 tahun lalu. Seiring lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, di kawasan konservasi tidak diperkenankan kehadiran permukiman manusia. Tapi warga tetap bertahan. "Tak ada yang perlu dirisaukan. Kami punya cara sendiri melestarikan alam," ujar Naftali. Ya, kearifan lokal yang telah dimulai sejak abad ke-16, ketika Menantju berkuasa sebagai maradika.
Ngata Toro membagi hutan dalam lima kategori pemanfaatan, Wanangkiki, Wana, Pangale, Oma, dan Balingkea. Dengan cara itu, tak sembarangan hutan bisa dibabat. Jika aturan adat dilanggar, melalui Tiga Serangkai?maradika, tina ngata, dan totua ngata?sanksi alias givu diputuskan. Bentuknya bervariasi tergantung kesalahan, dari menyerahkan benda-benda, ternak, hingga uang. "Karena sanksi adat yang berat, masyarakat Ngata Toro tidak berani melanggar," kata Rukmini. Hebatnya, givu tidak hanya berlaku bagi masyarakat adat. Siapa pun yang dengan sengaja membuka lahan baru, menebang hutan tanpa izin, mengambil kekayaan hutan seperti rotan, damar, obat-obatan, atau berburu di kawasan hutan setempat, akan kena givu.
Untuk itu, Ngata Toro memiliki tondo ngata, polisi hutan. Tugasnya berkeliling di seputar hutan, mencegah berbagai kemungkinan perusakan oleh orang yang tak bertanggung jawab. Sedikit saja terdengar bunyi pohon ditebang atau dengung gergaji mesin mengaum, tondo ngata akan datang, mengejar pelaku, membawa ke Ngata Toro dan melakukan persidangan adat.
Dengan semua aturan ketat itu, wilayah sekeliling Ngata Toro tetap rimbun. Lalu, pada tahun 2000, Kepala Balai Taman Nasional, Banjar Julianto Laban, mengesahkan kedudukan Ngata Toro sebagai bagian tak terpisahkan dari pengelolaan taman nasional.
Kearifan pengelolaan ini yang membuat Ngata Toro jadi kandidat peraih penghargaan Equator Initiative 2004 yang diadakan badan dunia untuk program pembangunan, United Nation Development Program (UNDP). Bersama 26 finalis dari negara lain, Februari lalu Naftali dan Rukmini mewakili Ngata Toro hadir di ajang Biodiversity Forum. Inilah forum yang digelar bersamaan dengan Seventh Meeting of the Conference of the Parties (COP 7), Convention on Biological Diversity (CBD), Kuala Lumpur, Malaysia. Ngata Toro tak jadi pemenang, tapi UNDP memberikan hadiah uang US$ 30 ribu, sama persis dengan yang diperoleh pemenang.
Peran Rukmini tak hanya dalam penegakan hukum adat dan pengambilan keputusan ngata. Tina ngata punya fungsi sebagai pendingin bila terjadi konflik di ngata. Saat ini di tiap dusun sudah terbentuk Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro (OPANT). Tugasnya melakukan diskusi rutin mingguan, mendengar keluhan para ibu. Bila ada masalah, akan dibawa tina ngata ke lembaga adat untuk dicarikan jalan keluar.
Sepulang dari Kuala Lumpur, aktivitas Rukmini tak mereda. Kembali ibu satu anak ini keluar-masuk hutan, menginventarisasi berbagai jenis tanaman yang punya fungsi pengobatan. Ia punya cita-cita memberi nama obat-obatan tradisional dengan nama para dukun yang pertama kali menggunakannya.
Darlis Muhammad (Lore Lindu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo