Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berpacu Merebut Kedaulatan

Irak telah memilih presiden dan perdana menteri baru. Apa saja prioritas yang harus mereka hadapi untuk memimpin negerinya—menyusul serah-terima kekuasaan pada 30 Juni nanti?

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di bekas takhta Saddam Hussein, upacara itu dilangsungkan. Kota Bagdad menjadi saksinya—dan seluruh kawasan Teluk turut menatap dengan berdebar tatkala, pada Selasa pekan silam, Duta Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Lakhdar Brahimi, membacakan nama-nama pemimpin baru Irak. Sudah hampir setahun negeri itu bagai yatim-piatu dengan "orang tua tiri" yang menerabas masuk dari belahan bumi yang jauh: Amerika Serikat (AS). Kita masih ingat bagaimana AS merontokkan Saddam Hussein dari singgasananya pada April 2003—dan mendudukinya setelah itu. Dan kini, setahun kemudian, Amerika memaksa Irak menerima Adnan Pachachi, seorang kakek berusia 80 tahun lebih, untuk naik takhta sebagai Presiden Irak.

Perdebatan keras terjadi di balik layar. Dan Irak—setidaknya hingga Selasa lalu—menang dalam tarung yang melelahkan itu. Mereka menolak Kakek Pachachi, sahabat lama Amerika. Maka bersandinglah di atas podium, Ghazi Mashal Ajil al-Yawer, 46 tahun, pengusaha muda penganut Islam Sunni yang dipinang negerinya untuk menjadi presiden. Mendampingi Al-Yawer, ada Iyad Allawi, yang menjadi perdana menteri sekaligus yang akan menjalankan roda negara itu sehari-hari. Guyonan sember segera beredar bahwa kuasa yang sejati bakal berada di tangan Duta Besar Amerika Serikat untuk Irak.

Entahlah. Kabinet ini (lihat tabel Anak Negeri, Pemandu Irak) baru saja lahir. Al-Yawer dan Iyad Allawi masih memerlukan waktu untuk menunjukkan bahwa keduanya adalah de facto menjadi penguasa atau "sekadar" de jure memimpin Irak. Lakhdar Brahimi, dalam kesempatan yang sama, mengumumkan pula sejumlah nama anggota kabinet baru tersebut. Sesekali hadirin saling berbisik, "Di mana dia?" saat beberapa nama yang dipanggil tak segera naik ke latar.

Tengah pelantikan itu berlangsung, ledakan keras bom berdentum-dentum di luar gedung. Sesaat kemudian, bom lain ikut meledak tak jauh dari bekas istana Saddam itu. Gelegar bom sejatinya bukan hal baru di Irak dalam setahun terakhir. Tapi ledakan pada hari itu seakan mengingatkan betapa beratnya pekerjaan yang mesti dipikul oleh kedua pemimpin baru Irak itu dan para pembantunya. Mereka akan bertugas dari 30 Juni hingga terpilih pemerintah dari hasil pemilu awal tahun depan.

Perdana Menteri Iyad Allawi tampaknya paham benar pada "pesan" yang menguar dalam suara ledakan: Irak yang masih tercabik-cabik dalam amarah dan pertentangan. Maka, kata Allawi, "Keamanan adalah prioritas nomor wahid kita." Dia langsung memimpin rapat selama tiga jam untuk membicarakan masalah keamanan ini.

Keamanan memang faktor yang amat susah dikendalikan pada saat ini. Lebih-lebih bila mereka tak berhasil mengantongi kepercayaan rakyat Irak. "Untuk apa repot-repot bikin pemerintahan baru. Toh Amerika juga yang berkuasa nantinya," ujar Muhamad Hussein, 34 tahun, seorang pemilik toko kelontong di Bagdad. Harus diakui, kerasnya suara—terutama dari kalangan akar rumput—yang mencemaskan kabinet baru ini bakal menjadi "boneka Washington" semata.

Padahal Dewan Pemerintahan Irak (yang mewakili rakyat Irak) amat terlibat dalam pemilihan perdana menteri dan presiden baru. Mereka menolak dengan keras pejabat-pejabat kiriman Amerika—via tangan pemimpin otoritas sementara koalisi Paul Bremer dan Duta Besar PBB, Lakhdar Brahimi. Ketegangan antara kedua pihak berlangsung hampir sebulan, mencapai puncaknya pada pekan dua pekan lalu.

Bremer dan Brahimi mengusung Adnan Pachachi, menteri luar negeri pada masa Saddam Hussein, untuk menjadi presiden—dan amat dekat dengan badan intelijen Amerika, CIA. Dewan Pemerintahan Irak bertahan pada Ghazy al-Yawer. Perundingan pun buntu. Brahimi membujuk Yawer agar merelakan kursi presiden ke Pachachi untuk menghormati Pachachi yang sepuh. Tak mempan, Bremer mencoba menyuapnya dengan segala tawaran posisi, termasuk menjadi duta besar di Washington. Yawer menampik semuanya. "Rakyat Irak menominasikan saya. Kalau Anda meyakini demokrasi, penuhi keinginan rakyat," ujarnya kepada Bremer.

Toh, drama ini tak memupuskan rasa pesimistis rakyat Irak. Dan ini wajar kalau kita melihat komposisi kabinet: 30 dari 32 anggota kabinet adalah pilihan Brahimi dan Bremer. "Pemerintah baru yang dipilih Selasa lalu oleh utusan khusus PBB tak memiliki legitimasi dan tidak dihadirkan melalui cara yang mewakili keinginan rakyat dan kekuatan politik Irak," ujar Ayatullah Ali a-Husseini al-Sistani. Tokoh Syiah ini diyakini didukung oleh 60 persen dari 25 juta rakyat Irak.

Maka tugas mahaberat pun bakal menghadang duet Allawi-Yawer. "Mereka harus berkonsentrasi pada isu keamanan, listrik, ekonomi, dan kehidupan rakyat," ujar Saad Jawad, profesor ilmu politik di Universitas Bagdad, kepada Reuters. Lebih dari urusan ekonomi dan keamanan ada hal yang amat esensial, yaitu mengembalikan kedaulatan Irak kepada yang berhak. Sampai sekarang, kedaulatan itu masih dipegang pemerintah sementara yang dipimpin Bremer.

Cetak biru masa depan Irak, harus diakui, masih jauh dari kelar. Pemilu harus dilakukan pada awal tahun depan—ketika segala infrastruktur masih kacau-balau. Problem lain adalah kejelasan tentang sejauh mana kewenangan pemerintah baru di bidang keamanan. "Untuk berdaulat, pemerintahan ini harus mengontrol keamanan," ujar Bruska Noori Shaway, Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Irak.

Pemerintah baru sadar pula akan hal tersebut. Karena itu mereka meminta wewenang tertentu untuk mengatasi masalah ini. Yang menjadi soal, Irak baru memiliki kurang dari 8.000 tentara. Padahal mengambil alih total wewenang bidang keamanan demi sebuah kedaulatan berarti harus menggantikan 138 ribu tentara Amerika. Apa boleh buat, tampaknya agenda ini lebih masuk akal dicatatkan sebagai satu proyek jangka panjang.

Perkara dana juga menjadi soal pelik yang belum jelas juntrungannya. Para pejabat Irak sedang berusaha keras menguasai hasil minyak serta wewenang dalam pengelolaan dana rekonstruksi ladang minyak. Kuasa itu masih dipegang oleh Amerika dan Inggris sampai sekarang. Departemen Perminyakan kini tengah sibuk membenahi ladang minyak yang disabotase sehingga produksi minyak turun dari 2,5 juta menjadi 1,95 juta barel per hari sejak pertengahan Mei lalu.

Jalan Irak memang masih panjang, tapi telah dimulai dengan berdikit-dikit.

Menteri Luar Negeri Hoshiyar Zebari meluncur ke New York, sehari setelah penunjukan dirinya. Dia bertugas membawa suara rakyat Irak ke dalam perdebatan rancangan resolusi Dewan Keamanan tentang masa depan Irak. "Amat ganjil, resolusi yang begitu penting didiskusikan di New York tanpa kehadiran wakil rakyat Irak," ujarnya.

Hoshiyar Zebari menapaki satu langkah kecil sembari memikul beban yang dititipkan Irak pada pemerintahan baru itu; memandu negeri itu untuk lepas dari pendudukan.

Purwani Diyah Prabandari (Boston Globe, WP, The Guardian, BBC)


Menanti Irak Kembali

  • 30 Juni Serah-terima kekuasaan dari otoritas sementara koalisi kepada pemerintah sementara Irak
  • Januari 2005 Pemilu untuk Dewan Nasional
  • Musim Gugur 2005 Referendum untuk konstitusi
  • Desember 2005 Pemilu untuk menetapkan pemerintah baru
  • Januari 2006 Pemerintah baru mulai bertugas

Sumber: BBC

Anak Negeri, Pemandu Irak

Selepas 30 Juni nanti, Irak diharapkan mampu mengelola tanah air sendiri, dengan dipimpin oleh sejumlah "putra daerah". Mereka diharapkan mampu memandu negeri itu tanpa kehadiran Amerika. Singkat cerita, dari Irak untuk Irak. Siapa saja mereka?

Presiden Ghazi Mashal Ajil al-Yawer (46 th)

  • Pemeluk Islam Sunni dan pemimpin suku Sumeria, salah satu suku terbesar di kawasan Teluk Persia
  • Alumni Petroleum and Minerals University, Arab Saudi, dan Georgetown University, Washington, DC
  • Pindah dari Irak ke Arab Saudi pada pertengahan 1980-an, tidak populer di kalangan oposisi di pengasingan
  • Giat dalam bisnis, pernah memimpin perusahaan telekomunikasi di Arab Saudi
  • Kembali ke Irak setelah jatuhnya Saddam Hussein
  • Mendapat dukungan dari Sunni, Syiah, dan Kurdi
  • Jabatan terakhir: Presiden Dewan Pemerintahan Irak

Wakil Presiden Ibrahim al-Jaafari

  • Pemimpin Partai Syiah, Partai Dakwah Rowsch Shaways
  • Ketua parlemen di kawasan otonomi Kurdi di Irbil dan anggota Partai Demokratik Kurdistan

Perdana Menteri Iyad Allawi (59 th)

  • Keturunan Arab dan pemeluk Islam Syiah
  • Punya latar belakang pendidikan sebagai neurolog
  • Pernah aktif di Partai Baath, meninggalkan Irak pada awal 1970-an
  • Pernah mengalami percobaan pembunuhan pada 1987 saat Saddam Hussein berkuasa
  • Aktif di The Iraqi National Accord, organisasi pelarian orang-orang militer dan Partai Baath pada masa Saddam Hussein (organisasi ini didukung oleh CIA untuk menggulingkan Saddam)

Menteri Luar Negeri Hoshyar Zebari

  • Mantan gerilyawan Kurdi

Deputi Perdana Menteri Urusan Keamanan Barham Saleh

  • Pemimpin Uni Patriotik Kurdi

Menteri Dalam Negeri Falah Hassan

  • Putra Jenderal Hassan al-Naqib—yang membelot dari Saddam Hussein pada akhir 1970-an, aktif sebagai oposisi di pengasingan

Menteri Keuangan Adil Abdel-Mahdi

  • Pejabat Dewan Tertinggi Revolusi Islam di Irak (SCIRI)

Menteri Kehakiman Malik Dohan al-Hassan

  • Tahanan politik pada masa Saddam Hussein, mantan menteri kebudayaan, dan Presiden Liga Pengacara Irak

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus