Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANGKAI tiga ekor gajah Sumatera itu begitu menyengat. Teronggok bak gundukan tanah di area terbuka di pinggir jalan setapak, daging dan kulitnya melapuk. Hidung harus tertutup rapat saat mendekati bangkai yang tergeletak di kilometer 89 jalan koridor PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) sektor Basrah dekat Desa Situgal, Kabupaten Pelalawan, Riau, itu.
"Gajah-gajah ini mati diracun," kata Muhammad Hatta, ketua tim patroli swakarsa bentukan Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo dan Tropical Forest Conservation Action-Sumatra, pada awal Desember lalu. Pria 50 tahun inilah yang pertama menemukan gajah nahas itu tiga pekan sebelumnya.
Ketiga gajah tersebut masing-masing adalah betina dewasa, betina remaja, dan jantan anakan. Mereka terkapar berdekatan dan lokasinya hanya berjarak 1,4 kilometer dari luar batas Taman Nasional Tesso Nilo.
Koordinator Manajemen Konservasi World Wildlife Fund (WWF) Riau Wishnu Sukmantoro mengatakan hasil otopsi menunjukkan gajah-gajah tersebut benar mati diracun. Ia menduga balas dendam adalah motif di balik aksi sadistis itu. "Sepekan sebelumnya ada seorang perambah tewas di dekat situ akibat serangan gajah liar," ujarnya.
Dugaan ini bisa jadi benar. Hanya, sang pelaku masih misterius. Menurut Wishnu, menjerat pembunuh gajah bukan perkara gampang. Sebab, tak pernah ada bukti cukup untuk memperkarakan mereka. Sampai sekarang belum ada satu pun pelaku pembunuhan gajah liar itu yang diseret ke bui.
Padahal WWF mencatat lebih dari 90 ekor gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) mati selama kurun 2004-2012 di Riau. Sebagian besar mati diracun dan ditemukan di sekitar taman nasional, kawasan perlindungan yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi gajah.
Secercah harapan untuk menyeret pelaku muncul pada 31 Mei 2012. Seekor gajah jantan berusia 5-6 tahun ditemukan mati di dalam kawasan taman nasional di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan. Hasil analisis sampel organ hati dan limfa menunjukkan gajah itu diduga mengkonsumsi makanan mengandung racun potasium sulfat, yang biasa dijumpai pada pestisida.
Kasus pun diusut serius. Gelar perkara bersama aparat Kepolisian Daerah Riau dilakukan. Hasilnya, petunjuk mengarah ke satu calon tersangka. Kepala Tata Usaha Balai Taman Nasional Tesso Nilo, Edison Nahampun, mengatakan calon tersangka berasal dari kelompok perambah hutan. Ia adalah pemilik lahan tempat gajah ditemukan terkapar.
Petugas balai berhasil menemukan jejak sang pembunuh lewat serpihan kertas buku catatan yang berada di dalam perut gajah. Kertas yang digunakan untuk membungkus racun itu bertulisan nama seorang anak yang belakangan diketahui adalah anak calon tersangka tersebut. "Akhirnya kali ini ada pembunuh gajah yang bisa ditangkap," katanya antusias.
Koordinator Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo, Yuliantony, menilai tingginya laju perambahan hutan memicu konflik antara penduduk dan gajah liar. Satwa yang terancam punah ini kerap berseliweran di kebun sawit dan permukiman yang dulu berupa hutan. Gajah pun dianggap sebagai hama. "Ini yang menyebabkan konflik gajah dan manusia makin tinggi," ujarnya.
Konflik perebutan lahan bukan satu-satunya pemicu aksi pembunuhan. Menurut Wishnu, perburuan gading sama berbahayanya bagi gajah. Hal ini terlihat dari data kematian gajah tahun lalu yang mencapai 15 ekor, 12 di antaranya jantan dan diambil gadingnya. Ini adalah angka tertinggi sejak taman nasional itu berdiri pada 2004.
Motif perburuan juga terlihat dari teknik peracunan yang sistematis. Racun ditebar pada lokasi-lokasi tertentu yang biasa dilewati gajah jantan. Sedangkan pelaku biasanya menaruh jebakan racun secara acak. Metode ini menyasar gajah yang dianggap mengganggu, termasuk betina dan anakan.
Kondisi pelik ini mendorong dibentuknya tim patroli gajah (elephant flying squad). Ada tiga tim patroli gajah di sekitar Tesso Nilo. PT RAPP membentuk tim patroli berkekuatan enam ekor gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga di utara taman nasional, WWF mendirikan tim patroli berisi tujuh ekor gajah di desa yang sama, dan Yayasan Tesso Nilo mengasuh tiga ekor gajah untuk menjaga Desa Gondai juga di utara laut taman nasional. "Tim patroli untuk mitigasi konflik satwa," ucap Wishnu.
Satu tim patroli biasanya terdiri atas empat ekor gajah. Selain berpatroli, mereka melakukan pengusiran dan penggiringan. Patroli dilakukan setiap Selasa dan Kamis. Rombongan kecil gajah jinak itu berjalan sejauh 10-20 kilometer di sekitar markas. Setiap hari tim menempuh rute berbeda.
Indikasi keberadaan gajah liar dapat diketahui dengan menemukan kotoran segar. Informasi juga bisa berasal dari laporan penduduk. Adapun pengusiran gajah liar dari area permukiman atau perkebunan dilakukan tanpa gajah. Pawang biasanya menggunakan meriam karbit. Penggiringan menjadi opsi terakhir jika gajah liar sulit diusir. Gajah patroli diarahkan untuk mengusir betina tua, yang biasanya menjadi pemimpin kelompok. "Kalau pemimpinnya diusir, anggotanya pasti pergi," katanya.
Alih fungsi hutan juga menjadi persoalan klasik di Tesso Nilo. Yuliantony mengatakan taman nasional yang terletak di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu ini dulu area konsesi hak pengusahaan hutan. Aktivitas perambahan sejak 1980-an sangat tinggi. Hutan ditebang untuk diambil kayunya dan dijadikan kebun sawit. Akibatnya, habitat gajah menyempit.
Kepala Seksi II Balai Taman Nasional Tesso Nilo, Delfi Andra, menyatakan separuh dari 83 ribu hektare blok hutan kawasan taman nasional ditebas para perambah dan dijadikan kebun sawit. Pengubahan status kawasan menjadi taman nasional tak ampuh mengerem deforestasi. Akibatnya, populasi gajah menurun dari 150 ekor pada 2010 menjadi sekitar 130 ekor tahun lalu.
Menurut Koordinator Forum Masyarakat Tesso Nilo, Atan Sari, perambah memperoleh lahan lewat pendekatan adat. Mereka—sebagian besar dari Sumatera Utara—tergiur membeli lahan murah tanpa mengetahui lahan itu terletak di kawasan taman nasional. Surat hibah dibeli dari batin atau ninik mamak—kelompok ulayat yang menguasai hak kepemilikan atas lahan—dan para spekulan tanah. Surat hibah memberi perambah hak untuk memiliki dan mengelola lahan. "Padahal tanah ulayat hanya boleh diberikan kepada anak kemenakan," ucapnya.
Praktek jual-beli surat hibah ini berlangsung sejak 2005. Luas lahan yang dibeli dari puluhan hingga ratusan hektare. Dengan uang Rp 3 juta, sudah memperoleh hak atas satu pancung (dua hektare) lahan. Di Desa Gondai, Kecamatan Langgam, misalnya, sudah ada 2.000 hektare lahan yang dijual dengan cara ini. Sebagian lahan itu masuk kawasan taman nasional. Balai taman nasional, yang hanya diperkuat 12 polisi hutan, tak berdaya membendung serbuan perambah.
Delfi mengatakan populasi gajah di Tesso Nilo hanya bisa diselamatkan dengan mengusir para perambah dari kawasan taman nasional. Namun cara ini tidak mudah. Pemerintah Kabupaten Pelalawan pernah mencobanya, tapi gagal merelokasi mereka lantaran tak mampu menyediakan area permukiman di luar kawasan taman nasional.
Jumlah perambah saat ini diperkirakan mencapai 3.000 keluarga. "Mereka sudah beranak-pinak, berladang, punya pondok dan rumah," ujar Delfi. Kalau sudah begini, konflik antara penduduk dan gajah sulit dielakkan, dan gajah pun mati meninggalkan aroma tak sedap di pinggir jalan setapak.
Mahardika Satria Hadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo