Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ramai-Ramai Perusahaan Nikel Maluku Utara Mencemari Sungai Sagea

Sungai Sagea tercemar akibat deforestasi oleh sejumlah perusahaan tambang nikel. Tak aman lagi diminum.

29 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERLEBAR sekitar dua meter, anak sungai di salah satu titik di wilayah konsesi PT Weda Bay Nickel berwarna kecokelatan. Dari ketinggian 900 meter di atas permukaan laut, air keruh dari Sungai Sagea di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, itu menderas menuju lembah. “Kalau hujan lebih cokelat lagi,” kata peneliti Forest Watch Indonesia, Aziz Fardhani, menunjukkan video kondisi di hulu Sungai Sagea itu kepada Tempo, Jumat, 27 Oktober lalu.

Aziz aktivis yang tergabung dalam Koalisi Save Sagea. Di tengah ramai-ramai kabar tentang pencemaran air di kawasan itu, ia menuju hulu Sungai Sagea di area konsesi PT Weda Bay Nickel, awal Oktober lalu. Butuh tiga hari perjalanan dari Desa Lelilef di bagian hilir menuju hulu. Selama waktu itu, Aziz berjalan kaki 15 kilometer dan mengendarai mobil sejauh 27 kilometer.

Seperti juga anak sungai di wilayah konsesi Weda Bay Nickel, Aziz menyaksikan hamparan air berwarna cokelat butek di sepanjang perjalanan. Padahal air Sungai Sagea sebelumnya terlihat berwarna kebiruan dari hulu hingga hilir. Penduduk setempat pun menggunakan air sungai untuk minum dan memasak.

Koalisi Save Sagea mencatat perubahan itu mulai terjadi awal tahun ini. Penyebabnya ditengarai adalah pembukaan hutan untuk tambang nikel. Aziz menunjukkan foto-foto pohon sebesar paha orang dewasa yang ditebang untuk membuka jalan menuju tambang nikel. Di berbagai penjuru, alat berat menggali tanah merah dengan kedalaman 1-5 meter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aktivis yang tergabung dalam gerakan Save Sagea membentangkan spanduk tuntutan protes saat berkunjung di Objek Wisata Goa Boki Maruru yang tercemar di Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, 31 Agustus 2023/Antara/Andri Saputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awal Oktober lalu, hasil foto udara menunjukkan dua alat berat sedang membabat pepohonan di lahan yang akan digunakan sebagai kamp penambang. Akibat pembukaan lahan itu, longsoran tanah tercebur ke Sungai Sagea dan menghilangkan kejernihan airnya. Pun ranting-ranting serta batang pohon ikut hanyut ke sungai sepanjang 30 kilometer itu.

Pada Agustus, September, dan terakhir 26 Oktober lalu, air sungai kembali butek. Air dari hulu tanpa henti mengalirkan lumpur melintasi berbagai anak sungai hingga berujung di kawasan Teluk Weda. Gara-gara pencemaran lingkungan itu, penduduk tak bisa lagi memanfaatkan air sungai untuk minum dan memasak.

Koordinator Koalisi Save Sagea, Adlun Fiqri, mengatakan perubahan air Sagea tak lepas dari deforestasi akibat penambangan nikel di Halmahera Tengah. Halmahera Tengah memang menjadi salah satu episentrum penambangan nikel di Maluku Utara. Adlun mencatat ada 13 perusahaan tambang di kabupaten tersebut.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memperkirakan cadangan nikel di Maluku Utara sebanyak 1,4 miliar ton atau 30 persen dari cadangan nasional. Nikel merupakan komponen bahan baterai mobil listrik. Belakangan, pemerintah menggembar-gemborkan ekosistem kendaraan listrik akan ditunjang oleh smelter atau pabrik pengolahan nikel bahan baku baterai.

Menurut Adlun, yang tinggal di Desa Sagea, kawasan itu menjadi incaran perusahaan tambang. Di hilir kini berdiri kawasan industri pengolahan nikel milik PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Pemerintah memberi izin pertama kali di hulu Sagea kepada Weda Bay Nickel lewat mekanisme kontrak karya pada 1998. Pada 2019, masa berlaku izin itu diperpanjang hingga 2048.

Pemberian izin tambang nikel mulai masif begitu rezim perizinan beralih dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah pada 2010. Beberapa perusahaan swasta mulai mendapatkan izin dari pemerintah Halmahera Tengah pada 2010. Hal itu tak hanya terjadi di Halmahera Tengah, tapi juga di seluruh Maluku Utara.

Sejak saat itu, pohon ulin, sengon, camar tegak, dan cemara yang menjadi penyangga daerah aliran sungai bagian tengah hingga ujung timur Teluk Weda terancam hilang. Hasil analisis citra satelit terhadap kawasan hutan di Halmahera Tengah yang dilakukan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan deforestasi daerah aliran Sungai Sagea pada 2021-2023 seluas 392 hektare.

Luas itu hampir lima kali luas kawasan Monumen Nasional. “Deforestasi ini berpengaruh terhadap kualitas air sungai,” ucap juru kampanye FWI, Agung Ady Setiyawan.

Menurut Agung, tiga daerah aliran sungai yang bermuara ke Teluk Weda kondisinya serupa dengan Sagea. Daerah aliran Sungai Gemaf mengalami deforestasi sebesar 461 hektare, Sungai Waleh seluas 636 hektare, dan yang terluas Sungai Kobe dengan 4.291 hektare. “Hulu Sungai Kobe paling parah deforestasinya,” ujar Agung.

Selain di hulu sungai, deforestasi terjadi di dalam wilayah konsesi penambangan. FWI mencatat luas penggundulan hutan untuk penambangan nikel di Halmahera Tengah mencapai 3.714 hektare. Deforestasi terbesar terjadi di dalam area konsesi Weda Bay Nickel seluas 2.613 hektare.

Dalam catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Weda Bay Nickel merupakan perusahaan patungan PT Aneka Tambang (Antam) Tbk dengan Strand Minerals Indonesia Pte Ltd yang berbasis di Singapura. Strand Minerals bagian dari Eramet Group, perusahaan tambang dan metalurgi asal Prancis. Di Maluku Utara, Weda Bay pemilik wilayah konsesi terbesar: 45 ribu hektare.

Menanggapi kabar soal air Sungai Sagea yang keruh akibat deforestasi, Sekretaris Perusahaan Antam Syarif Faisal Alkadrie mengatakan Antam merupakan pemegang saham minoritas PT Weda Bay Nickel sebesar 10 persen. Mengenai operasi anak perusahaan, manajemen Antam mengimbau Weda Bay menjalankan kaidah good mining practices dan mematuhi good corporate governance.

Jawaban senada datang dari Direktur Eramet Indonesia Bruno Faour. Ia mengklaim perusahaannya berkomitmen menerapkan pertambangan yang bertanggung jawab. Eramet telah mencapai kesepakatan dengan mitranya untuk menerapkan standar initiative for responsible mining assurance atau IRMA. “Itu standar paling ketat di pertambangan,” tutur Bruno.

Faktanya, air Sungai Sagea berubah warna dari semula jernih menjadi keruh kecokelatan. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Halmahera Tengah, Munadi Kilkoda, mengatakan penambangan membuat kawasan hutan hilang. “Hutan itu sangat vital sebagai daerah tangkapan air dan mitigasi bencana banjir,” katanya.

•••

DI bawah penerangan tiga lampu sorot, dua alat berat menggaruk bukit guna mengeruk tanah merah yang mengandung nikel di dalam area konsesi PT Halmahera Sukses Mineral. Truk-truk bermuatan 20 ton hilir mudik mengangkut bijih nikel dari lokasi penambangan menuju Teluk Weda yang sejauh 27 kilometer.

Hari hampir berganti pada akhir September lalu. Namun aktivitas penambangan di dalam kawasan hutan tersebut belum ada tanda-tanda akan berakhir. Di tengah heningnya kawasan hutan di Halmahera Tengah, malam itu, suara mesin alat berat tak berhenti meraung-raung.

Aktivitas penambangan di dalam wilayah konsesi PT Halmahera Sukses Mineral ini mengabaikan surat rekomendasi nomor 600.4.5.3/1120/LH.3/IX/2023 Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara pada 4 September 2023. Isinya, meminta penghentian operasi lima perusahaan tambang, termasuk PT Halmahera Sukses, karena keruhnya air Sungai Sagea belakangan ini.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara Fachruddin Tukuboya meminta penambangan yang dilakukan oleh PT Weda Bay Nickel, Tekindo Energi, Karunia Sagea Mineral, dan First Pacific Mining juga dihentikan sementara. “Untuk mencegah meluasnya dampak negatif terhadap Sungai Sagea,” ucap Fachruddin dalam suratnya.

Yeti dari bagian umum PT Halmahera Sukses Mineral membantah jika perusahaannya disebut mencemari Sungai Sagea. Menurut dia, aktivitas penambangan perusahaannya berjarak 17 kilometer dari area sungai itu. Pun air di lokasi penambangan mengalir ke Sungai Kobe. “Lokasi kami jauh dari Sungai Sagea dan masih terhalang gunung,” ujar Yeti pada Selasa, 24 Oktober lalu.

Senada dengan Yeti, Presiden Direktur PT Tekindo Energi Syamsul Rizal Hasdy menyangkal tudingan bahwa aktivitas penambangan perusahaannya menyebabkan keruhnya air Sungai Sagea. “Kami beroperasi di wilayah Lelilef, bukan di Sagea. Kami juga selalu mereklamasi dan melakukan reboisasi di setiap lahan yang telah ditambang,” ucapnya.

Anehnya, delapan hari setelah Fachruddin mengeluarkan surat, ia menggelar jumpa pers secara daring dan menyatakan Sungai Sagea baik-baik saja. Ia merujuk pada hasil uji laboratorium oleh PT Analitika Kalibrasi Laboratorium (Ankal) terhadap sampel air Sagea pada 14 September lalu. Fachruddin pun menyatakan masih menyelidiki penyebab air menjadi keruh.

Tentu saja pernyataan itu membuat Koalisi Save Sagea berang. Koordinator Koalisi, Adlun Fiqri, mengatakan hasil pengujian yang disampaikan Fachruddin mirip dengan pemaparan PT Weda Bay Nickel saat rapat pembentukan tim terpadu penanganan pencemaran Sungai Sagea pada akhir Agustus lalu. Adlun hadir dalam rapat tersebut.

Dalam situs Ankal tak tercantum nama Dinas Lingkungan Hidup atau Pemerintah Provinsi Maluku Utara sebagai klien. Yang tercatat justru nama PT Weda Bay Nickel, Antam, dan PT IWIP. Seorang pegawai Ankal juga mengatakan belum pernah menerima pekerjaan dari Pemerintah Provinsi Maluku Utara.

Fachruddin membantah informasi tersebut. Ia menunjukkan surat permintaan pengujian sampel kualitas air Sungai Sagea yang dia teken pada 11 Agustus lalu. “Ada aturan bahwa laboratorium tak pernah memberikan informasi kepada siapa pun kecuali kepada yang meminta,” tutur Fachruddin.

Sungai Sagea yang tercemar aktivitas tambang, 31 Agustus 2023/Antara/ Andri Saputra

Meski demikian, hasil uji lab air Sungai Sagea oleh pemerintah Maluku Utara berbeda dengan hasil penelitian Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER). Peneliti AEER mengambil sampe air, salah satunya di gua Boki Maruru pada Juni lalu. Hasilnya, nilai padatan terlarut total (TDS) sebanyak 1.486 miligram per liter.

Nilai itu melebihi baku mutu yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu di angka 1.000 miligram per liter. Adapun hasil pengujian yang dipaparkan Fachruddin menunjukkan angka TDS hanya sebesar 37 miligram per liter.

Peneliti AEER, Arfah Durahman, mengatakan angka TDS tinggi menandakan tingginya kandungan mineral garam di dalam air. Apabila dikonsumsi, dia menjelaskan, air itu bisa mengganggu keseimbangan mineral di dalam tubuh. "Salinitas tinggi bisa menurunkan populasi biota sungai," ucap Arfah.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Halmahera Tengah Rivani Abdul Rajak mengatakan terus memantau kondisi Sungai Sagea. Sama seperti Fachruddin, Rivani mengatakan kualitas sungai masih sesuai dengan baku mutu. “Kami akui warna air sungai keruh. Tapi kami belum menemukan biota mati,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Budhi Nurgianto dari Halmahera Tengah berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hilang Biru Sungai Sagea"

Erwan Hermawan

Erwan Hermawan

Menjadi jurnalis di Tempo sejak 2013. Kini bertugas di Desk investigasi majalah Tempo dan meliput isu korupsi lingkungan, pangan, hingga tambang. Fellow beberapa program liputan, termasuk Rainforest Journalism Fund dari Pulitzer Center. Lulusan IPB University.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus