Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAPORAN investigasi majalah Tempo pada 8 Februari 2020 mengungkap dugaan kongkalikong pemberian izin impor bawang putih di Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Selain dugaan jual-beli izin impor, ada sogok-menyogok yang nilainya Rp 2.000 per kilogram bawang putih impor. Praktik suap impor bawang putih ini diduga ikut mengerek kenaikan harga bawang putih, yang kini berulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ombudsman RI pun mengusut maladministrasi pengurusan izin impor bawang putih sejak Agustus lalu setelah mendengar keluhan dari Perkumpulan Pelaku Usaha Bawang Putih dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo). Kali ini dugaan permintaan komisi Rp 3.000-4.500 per kilogram. “Kami berharap penegak hukum bisa masuk karena bau korupsinya kental sekali,” kata anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, kepada Abdul Manan, Retno Sulistyowati, dan Khairul Anam dari Tempo pada Kamis, 26 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam wawancara sekitar satu setengah jam, Yeka menjelaskan dugaan maladministrasi yang dilakukan Kementerian Perdagangan dalam soal izin impor bawang putih bawang putih. Ia menilai bahwa pencabutan sistem kuota impor dapat mengurangi terjadinya peluang suap-menyuap dan akan lebih menguntungkan konsumen karena bisa mendapatkan harga lebih murah.
Dalam wawancara sekitar satu setengah jam, Yeka menjelaskan dugaan maladministrasi yang dilakukan Kementerian Perdagangan dalam soal izin impor bawang putih. Ia menilai bahwa pencabutan sistem kuota impor dapat mengurangi terjadinya peluang suap-menyuap dan akan lebih menguntungkan konsumen karena bisa mendapatkan harga lebih murah.
Apa yang dikeluhkan importir bawang putih ke Ombudsman?
Intinya mereka mempermasalahkan, perusahaannya sudah dapat Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (dari Kementerian Pertanian), tapi surat persetujuan impornya (SPI) tidak kunjung keluar. Semua prosedur sudah diikuti, dokumen lengkap. Di situ muncul juga informasi bahwa mereka akan mendapatkan SPI, tapi harus bayar Rp 3.000-4.500 per kilogram. Mereka tanya, sebetulnya prosedurnya bagaimana soal bawang putih ini.
Apa jawaban Anda?
Sebenarnya clear and clean di Peraturan Menteri Perdagangan tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Kalau persyaratannya sudah lengkap, lima hari (SPI) itu harus segera terbit. Bahkan, kalau direktur jenderal tidak menandatangani, SPI otomatis terbit.
Kapan informasi ini muncul?
Juni-Juli lalu ramai berita soal harga bawang putih. Pusbarindo meminta saya jadi narasumber diskusi. Di acara itu saya bilang, “Kalau Bapak-bapak merasa ada masalah, lapor ke Ombudsman.”
Mereka datang melapor?
Enggak. Jujur saja, sudah banyak rumor izin impor dikendalikan seorang pengusaha yang dekat dengan aparat penegak hukum. Jadi saya senang mereka enggak melapor. Enggak terbebani. Tiba-tiba, pada akhir Agustus, muncul map kuning di meja saya. Kalau map kuning, itu artinya aduannya sudah memenuhi syarat formil-materiil dan sudah dibahas di rapat pleno Ombudsman. Lalu saya minta asisten pemeriksa menindaklanjuti. Apakah identitas pelapor mau disembunyikan? Apakah dia paham konsekuensinya? Karena kementerian bisa menelusuri siapa yang melapor dengan mudah. Perusahaannya bisa di-blacklist. Soalnya sudah banyak buktinya.
Apa yang dilakukan Ombudsman?
Sewaktu ditangani di awal September, saya cek berapa sih sisa SPI? Masih 100 ribu ton lagi dari 550 ribu ton. Waktu itu saya minta langsung buat surat pemeriksaan karena ini urgen. Kalau ditanganinya melalui prosedur biasa, bisa tiga-empat bulan baru selesai.
Laporan itu sama dengan keluhan Pusbarindo?
Sama. Cuma, yang melapor ini pemilik perusahaan.
Ada soal suap SPI itu?
Ada permintaan komisi. Cuma, saya tidak mau mendalami itu karena ranah pidana, delik korupsi. Ombudsman bukan lembaga penegak hukum.
Anda meminta konfirmasi ke Kementerian Perdagangan?
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan baru datang di panggilan kedua.
Apa alasan Kementerian Perdagangan tak mengeluarkan SPI?
Menurut Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Nomor 31 Tahun 2023 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kebijakan dan Pengaturan Impor Bawang Putih, harus mendapat persetujuan menteri. Itu penyalahgunaan wewenang.
Di mananya?
Peraturan Dirjen itu bukan peraturan yang diundangkan. Peraturan yang diundangkan itu setingkat peraturan menteri. Peraturan Dirjen ini melanggar Peraturan Menteri. Masak, aturan di bawahnya, yang berkekuatan hukum lemah, bisa mengalahkan peraturan Menteri Perdagangan.
Ombudsman akan memeriksa Menteri Perdagangan?
Ombudsman melihat sampai Dirjen karena peraturan menteri mengatakan penerbitan SPI didelegasikan kepada Dirjen. Artinya, kalau Dirjen meminta persetujuan menteri, Dirjen menyalahgunakan wewenang. Ombudsman memeriksa aspek prosedural. Yang memeriksa Menteri harus aparat penegak hukum.
Anda bertanya kepada Dirjen tentang komisi Rp 3.000-4.500 itu?
Enggak. Itu bukan ranah Ombudsman. Itu masalah pidana. Jadi informasi-informasi itu kami serahkan ke aparat penegak hukum.
Mereka tertarik?
Kelihatannya belum. Ombudsman berharap aparat penegak hukum bisa masuk karena bau korupsinya kental sekali.
Anda menilai Kementerian Perdagangan tidak kooperatif?
Ya. Cuma, waktu itu saya berpikir ke depan, bisa saja Ombudsman menggunakan kewenangan. Mereka yang tak kooperatif bisa dipidanakan. Cuma, prosesnya berapa lama? Pelapor ingin cepat mendapat SPI.
Hasil penelusuran diserahkan kepada siapa?
Kementerian Perdagangan disaksikan Komisi Pemberantasan Korupsi, Satuan Tugas Pangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Perekonomian, Badan Pangan Nasional, Bappenas, dan aparat penegak hukum.
Apa tindak lanjutnya?
Pertama, menerbitkan SPI dengan first in first served. Kedua, cabut Peraturan Dirjen. Ketiga, menyusun dan menetapkan keputusan Menteri Perdagangan mengenai penyelenggaraan sistem Inatrade (sistem pelayanan terpadu perdagangan). Kalau itu tidak dijalankan, nanti keluar rekomendasi Ombudsman. Kemungkinan besar rekomendasinya akan memberikan persyaratan mengenai importasi bawang putih dan hortikultura yang dilaksanakan pada 2024.
Kementerian Perdagangan patuh?
Ada monitoring pada 31 Oktober. Akan kami undang mereka untuk memberikan laporan terhadap tindakan korektif. Jika tidak dipenuhi, akan kami keluarkan rekomendasi.
Omong-omong, apa kerugian pengusaha jika SPI tidak terbit sehingga melapor ke Ombudsman?
Mereka berhenti berusaha. Kalau kita runut ke konsumen, harga rata-rata bawang putih tahun lalu sampai sekarang perbedaannya Rp 7.000-9.000. Harga itu bisa diakibatkan oleh harga dari Cina yang berubah. Tapi yang menarik adalah pada tahun lalu posisi distributor lebih kuat daripada importir. Kalau sebelumnya harga bawang putih Rp 17 ribu per kilogram, distributor akan cek ke importir lain, ada yang jual Rp 16 ribu, Rp 15 ribu, enggak? Rata-rata margin tahun lalu itu tipis. Hanya Rp 500. Sekarang margin importir Rp 7.000 karena distributor menjadi pembeli dalam posisi yang lemah lantaran barang tidak ditawarkan oleh orang yang banyak. Jadi dia yang butuh barang. Karena posisinya enggak ada barang dari distributor, si agen dalam posisi butuh barang juga, sehingga permintaan barang ini tinggi. Ini yang mendongkrak harga. Yang menanggung itu konsumen. Minimal Rp 9.000 per kilogram. Jadi kalau kita lihat kerugian masyarakat Rp 9.000 kali kuota impor 550 ribu ton tahun ini. Itulah yang digunakan untuk membayar komisi.
Yang rugi bukan hanya pengusaha?
Masyarakat mendapat harga yang jauh lebih mahal. Sekarang dolar sedang tinggi. Ini juga kerugian ekonomi masyarakat menjadi luar biasa.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika saat menjadi pembicara di acara Dies Natalis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran ke 64 di Bandung, Jawa Barat, 26 Oktober 2023/Tempo/Prima mulia
Kami pernah membuat investigasi tentang kongkalikong izin impor bawang putih ini pada 2020. Apa yang berubah dengan sekarang?
Modusnya sama. Bedanya, sekarang dikuasai pengusaha tertentu.
Kebijakan wajib tanam bawang putih oleh importir untuk mendapatkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura dari Kementerian Pertanian apakah masih jalan?
Kita bicara dulu konsepnya. Contoh konkret Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). BPDPKS itu dari dana levy (pungutan) yang dibayarkan dari setiap sekian ton ekspor. Dana itu digunakan untuk program sawit rakyat. Menurut saya, semua barang impor seharusnya dikenai levy. Tapi ini harus hati-hati karena apakah ini bisa dikatakan sebagai hambatan tarif atau nontarif.
Mengapa?
Kita ingat dulu kedelai kita ekspor. Tapi kemudian masuk kedelai impor. Akhirnya orang ingin kedelai impor karena lebih enak, lebih gampang diolah, bijinya besar. Akhirnya produksi kedelai lokal turun. Bawang putih juga sama. Dulu kita menggunakan bawang putih lokal. Gula juga. Kita dulu pakai gula lokal. Masuk gula kristal. Impor itu nyandu. Tidak ada kebijakan impor yang makin kecil. Itu harus diseimbangkan karena ketergantungan terhadap impor juga enggak bagus. Wajib tanam itulah salah satu upayanya. Tapi pedagang itu trading, disuruh mengubah pola pikir menjadi petani, enggak nyambung. Semestinya yang wajib tanam itu pemerintah. Dananya diambil (dari pungutan impor), pemerintah bikin sebuah lembaga. Lembaga itulah nanti yang melakukan wajib tanam.
Seperti apa kebijakan pemanfaatan dananya?
Misalnya, kita ingin mengembalikan lagi bawang putih lokal. Tapi, karena sudah ada bawang putih impor, harus lebih murah dong (bawang putih lokalnya). Berarti harus diproteksi. Ketersediaan benihnya harus dijamin, pupuknya gratis, sehingga petani ngeluarin duitnya sedikit. Dana levy itulah yang dipakai. Jangan pengusaha dipaksa menanam. Inilah yang harus dilakukan pemerintah untuk bawang putih dan yang lain juga.
Yeka Hendra Fatika
Tempat dan tanggal lahir:
- Garut, Jawa Barat, 13 Juni 1976
Pendidikan:
- S-1 Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat
Karier:
- Anggota Ombudsman RI, 2021-sekarang
- Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi, 2016-2020
- Anggota Tim Analisa Penyediaan dan Kebutuhan Ayam Ras dan Telur Konsumsi Kementerian Pertanian, 2019
- Pengajar di Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, 2005-2014
- Sekretaris Eksekutif Gugus Bisnis dan Kewirausahaan Departemen Agribisnis IPB, 2009-2014
- Peneliti Pusat Pengembangan Wilayah LPPM IPB, 2001-2005
Kebijakan kuota ini biang sogok-menyogok. Ombudsman melihatnya seperti apa?
Segala sistem itu, kalau niatnya tidak baik, pasti tidak baik. Kita pernah mengalami harga bawang putih sampai Rp 60-70 ribu per kilogram pada 2010-2014. Waktu itu belum ada kuota, masih lepas ke pasar. Pada saat tidak ada kuota, posisi tawar negara produsen tinggi. Mereka bisa mengendalikan harga. Sebetulnya itu juga bisa disiasati kalau memang kita serius dalam melakukan aktivitas impor. Alasan Kementerian Perdagangan menyebut harga Rp 60-70 ribu saat itu mungkin upaya melahirkan rezim baru kuota. Waktu itu tiba-tiba barang sulit, enggak ada stok, harga naik. Di konsumen juga langka. Jadi, kalau tidak ada kuota, bisa diatur. Panggil importirnya, mereka mau kapan impor dan komitmennya. Kalau tidak impor, cabut izinnya. Walaupun tidak diatur dengan kuota, mengatur jadwal impor penting untuk memastikan barang tersedia.
Apa yang ditakutkan kalau tak pakai sistem kuota?
Negara produsen bisa mendikte kita. Misalnya, Presiden Cina membuat keputusan membatasi suplai bawang putih ke Indonesia. Nah, harga naik dan dipakai buat alat diplomasi dan lain-lain. Kalau kita mau membebaskan pasar, Kementerian Perdagangan wajib melakukan pembinaan. Jangan menggantungkan ke Cina saja. Balik lagi ke sistem kuota. Saya sudah mengusulkan ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Pada intinya, first in first served. Kalau semua dokumen sudah sesuai, rekening koran, letter of credit oke, betul ada keterangan dari produsennya, survei gudangnya sudah cocok, buat apa lagi?
Ada yang menilai sistem kuota ini banyak merugikan. Cabut saja?
Ada konsekuensinya. Boleh dicabut, tapi di satu sisi pemerintah harus melakukan mitigasi. Misalnya buat kebijakan stok. Karena ketika dilepaskan ke pasar mungkin barang itu langka. Coba belajar dari gandum. Relatif tidak ada masalah dengan suplai. Juga enggak ada sistem kuota impor gandum.
Mengapa?
Karena gandum sudah relatif tersebar, tidak di negara tertentu saja. Ukraina, Rusia, Australia, Argentina, Brasil, Prancis.
Dari kacamata konsumen, mana yang lebih menguntungkan?
Tidak memakai kuota pasti menguntungkan.
Karena bisa mendapatkan harga lebih baik?
Di situ ada persaingan sempurna. Cuma, harus ada stok. Di situ tugas negara. Segala sesuatu yang tidak dikenai kuota itu pasti harga akan turun karena orang bersaing. Ada keuntungan sedikit, pelaku usaha baru masuk. Begitu rugi, keluar. Pasti implikasinya kepada konsumen.
Apakah peluang sogok-menyogok akan hilang?
Lebih kecil karena tidak diatur lagi, tidak diregulasi. Tidak ada keperluan lagi dengan pemerintah. Impor suka-suka dia saja. Persoalannya, apakah nanti mungkin dihambatnya di tempat lain?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Impor Itu Candu"