Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sungai Sagea di Halmahera Tengah, Maluku Utara, tercemar akibat tambang nikel di hulunya.
Tambang bijih nikel mendatangkan mudarat lingkungan yang lebih besar dari manfaat ekonominya.
Harga komoditas nikel di pasar dunia terus anjlok 39,29 persen pada tahun ini.
ADA yang tak beres di balik gembar-gembor pemerintah untuk menggenjot jumlah kendaraan listrik di perkotaan. Eksploitasi bijih nikel untuk bahan baterai kendaraan yang diklaim ramah lingkungan itu justru merusak lingkungan di banyak tempat. Salah satunya di Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan ini air Sungai Sagea di Kecamatan Weda Utara selalu keruh dan berlumpur, termasuk di luar musim hujan. Jangankan untuk minum, buat mencuci baju pun airnya tak layak. Akibatnya, ratusan keluarga di sekitar aliran sungai itu kini harus beralih membeli air isi ulang. Obyek wisata gua batu Boki Maruru yang termasyhur karena kejernihan air dan keindahan panoramanya pun terpaksa tutup. Padahal, sebelum airnya butek, kawasan wisata yang dikelola desa itu biasanya dikunjungi 2.000 orang per bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Air keruh karena bukit-bukit berhutan di hulu Sungai Sagea terus dikupas dengan traktor dan buldoser untuk mendapatkan bijih nikel. Dalam catatan Koalisi Save Sagea, ada lima perusahaan nikel yang menambang di sekitar sungai. Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Utara telah merekomendasikan penghentian penambangan, tapi kelima perusahaan itu bergeming.
Sungai Sagea hanya salah satu contoh korban buruknya tata kelola tambang nikel. Penambangan bijih nikel yang masif terjadi begitu perizinan beralih dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah pada 2010. Hilangnya hutan, rusaknya daerah aliran sungai, pencemaran sungai, dan munculnya bencana alam hidrometeorologi di banyak tempat menjadi konsekuensi yang tidak bisa dielakkan. Analisis tutupan lahan oleh Yayasan Auriga Nusantara mengungkap, dalam 22 tahun terakhir, seluas 24.811 hektare hutan telah dibuka untuk tambang nikel di Indonesia, termasuk di Maluku Utara.
Penambangan nikel yang jorjoran mendatangkan mudarat lingkungan yang lebih besar ketimbang manfaat ekonominya. Penghiliran sumber daya mineral itu tidak memberi lapangan pekerjaan bagi rakyat. Harga komoditas nikel yang digadang-gadang menjadi primadona Indonesia jeblok di pasar global. Sepanjang 2023, harga nikel telah anjlok 39,29 persen. Pada penutupan perdagangan, Rabu, 25 Oktober lalu, harga nikel di London Metal Exchange berada di level US$ 18.243,50 per ton.
Perkembangan teknologi baterai kendaraan listrik pun sedang mengarah pada material non-nikel. Produsen mobil listrik banyak yang beralih memakai baterai berbasis lithium ferro-phosphate (LFP) yang tidak lagi memerlukan nikel. Baterai LFP dipilih karena lebih ekonomis. Tesla dan Volkswagen, misalnya, sudah memasang baterai LFP pada model mobil listrik termurah mereka, yang volume penjualannya besar.
Inovasi dan kemajuan teknologi itu seharusnya membangunkan pemerintah dari mimpi menjadi produsen baterai listrik terbesar di dunia, semata-mata karena Indonesia memiliki cadangan nikel berlimpah. Eksploitasi bijih nikel tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan hanya menguntungkan segelintir orang dalam jangka pendek dan menggerus ekonomi dalam jangka panjang. Pemanfaatan sumber daya alam, termasuk nikel, seharusnya membawa keuntungan berkelanjutan dan berpihak pada generasi yang akan datang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Stop Tambang Nikel Perusak Sungai"