Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PT Dirgantara Indonesia berkolaborasi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional mengembangkan varian pesawat N219 amfibi.
Untuk mengejar pasar, PT Dirgantara Indonesia menggunakan floater atau pengapung buatan Aerocet dan Momentum Aeronautics dari Amerika Serikat.
Peneliti BRIN mengembangkan pengapung Merah Putih yang purwarupanya akan dibangun tahun ini.
MODEL pesawat N219 amfibi yang diperkecil 6,3 kali dari dimensi aslinya dipasang terbalik di dalam terowongan angin Balai Besar Teknologi Aerodinamika, Aeroelastika dan Aeroakustika di Kawasan Sains dan Teknologi BJ Habibie, Kota Tangerang Selatan, Banten. Pengujian di fasilitas milik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu bertujuan memastikan kestabilan pesawat N219 jika dipasangi floater alias pengapung sebagai pengganti roda pendaratan. “Ini floater Merah Putih model LPDP-09 yang didesain BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dulu,” kata Sayuti Syamsuar, peneliti utama bidang aerodinamika dan kestabilan pesawat pada Pusat Riset Teknologi Transportasi BRIN, Kamis, 26 Oktober lalu.
Sayuti, ketua tim pengembangan rancang-bangun dan optimasi struktur floater N219A, mengatakan pengapung LPDP-09 sepanjang 9,8 meter itu adalah yang terbaik dari sembilan model konfigurasi pengapung yang dirancang tim menggunakan metode komputasi fluida (CFD). Dari model terpilih itu, tim melakukan optimasi hingga mendapatkan empat model dengan panjang 9,4 meter. “Beda keempat model itu ada pada desain muka dan ekornya,” tutur Sayuti. “Dua model terbaik yang akan diuji, yakni yang permukaan bagian depannya memiliki chine (garis memanjang) dan ekornya berbentuk segi empat dan silindris,” ujar doktor bidang teknik kelautan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, itu.
Dari model terbaik ini, tim akan merancang-bangun pengapung yang bisa meningkatkan performa atau nilai ekonomi pesawat N219A. Kolega Sayuti di tim pengembang pengapung, Andi Muhdiar Kadir, mengatakan penggantian roda pendaratan dengan pengapung akan meningkatkan bobot dan gaya hambat pesawat. “Akibatnya, daya angkut pesawat menurun,” kata Andi, Kamis, 26 Oktober lalu. “Kami mengoptimalkan model untuk mendapatkan pengapung yang punya gaya hambat kecil dan bobot optimum sehingga payload tidak jauh menurun,” tutur peneliti utama bidang struktur pada Pusat Riset Teknologi Kekuatan Struktur BRIN tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Model pesawat N219 Amfibi menjalani pengujian aerodinamika di terowongan angin Badan Riset dan Inovasi Nasional di kawasan Sains dan Teknologi BJ Habibie di Kota Tangerang Selatan, Banten, 26 Oktober 2023/Tempo/Dody Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk bobot pengapung, Andi menjelaskan, tim memilih menggunakan material komposit. Ia membandingkannya dengan pengapung dari aluminium yang sekarang banyak dipakai yang bobotnya mencapai 500 kilogram untuk satu pengapung. Menurut Andi, jika memakai aluminium, jumlah penumpang yang bisa diangkut N219A akan berkurang dari 19 menjadi 12 orang. “Kalau kandidat pengapung yang kami kembangkan ini panjangnya 9,4 meter dengan target berat satu pengapung di bawah 400 kilogram,” ujar doktor bidang metalurgi dan material dari Universitas Indonesia itu. “Dengan reduksi 200 kilogram dari penggunaan komposit, itu bisa menambah dua-tiga penumpang.”
Menurut Fadilah Hasim, Kepala Pusat Riset Teknologi Penerbangan BRIN, jumlah penumpang N219A idealnya tidak berkurang dari yang ditetapkan. Itu sebabnya dalam pengembangan pesawat amfibi ini BRIN melakukan dua riset simultan, yaitu riset peningkatan performa dari basic aircraft menjadi basic amphibian aircraft serta riset pengembangan pengapung. “Peningkatan performa itu dengan meningkatkan maximum take-off weight dari 6.700 menjadi 7.030 kilogram dan design payload dari 1.550 menjadi 1.900 kilogram. Kalaupun payload dikurangi pengapung, masih tetap sebagai pesawat dengan 19 kursi,” kata Fadilah, Kamis, 26 Oktober lalu.
Fadilah menegaskan, meski BRIN ingin merancang-bangun sendiri pengapung untuk N219A, PT Dirgantara Indonesia (PT DI), yang akan memproduksi N219A, tidak menunggu hasil riset BRIN. PT DI, Fadilah menambahkan, menempuh jalan itu untuk mengejar pasar sehingga bekerja sama dengan pembuat pengapung yang sudah terbukti. Budi Sampurno, Program Manager N219A PT DI, membenarkan informasi bahwa perusahaannya bekerja sama dengan Aerocet Inc dan Momentum Aeronautics dari Amerika Serikat untuk membangun pengapung bagi purwarupa N219A. “Saat ini sedang dalam tahap detail design,” ucap Budi saat dihubungi Tempo, Selasa, 24 Oktober lalu.
Menurut Budi, Aerocet, yang bermarkas di Priest River, Idaho, akan merancang dan membuat pengapung baru khusus untuk N219A. “Pengapung yang dibuat Aerocet harus sesuai dengan persyaratan N219A. Adapun semua produk Aerocet yang ada saat ini di bawah persyaratan yang dibutuhkan N219A,” tutur Budi. Berbeda dengan pengapung yang dirancang-bangun oleh BRIN yang hanya digunakan untuk lepas landas dan mendarat di perairan, pengapung Aerocet dan Momentum ini memiliki roda pendaratan. “Karena pengapung itu ada landing gear, pesawat ini namanya amfibi. Ia bisa mendarat di darat ataupun air,” ujar Budi.
Aerocet, Budi menjelaskan, adalah salah satu perusahaan di dunia yang mengembangkan pengapung berbahan komposit yang telah mengantongi sertifikat Badan Keselamatan Penerbangan Amerika Serikat (FAA). Adapun Momentum, perusahaan perancang dan sertifikasi serta modifikasi pesawat terbang yang bermarkas di Saint Paul, Minnesota, akan terlibat dalam desain teknik dan desain integrasi pengapung ke pesawat N219A. “Di dunia belum banyak perusahaan pesawat amfibi yang sudah mengimplementasikan komposit,” katanya.
Budi menerangkan, PT DI ikut mendukung riset pengembangan floater bermaterial komposit bersama BRIN dan Institut Teknologi Bandung. Kelak, jika riset selesai, pengapung itu akan diproduksi PT Lundin Industry Invest di Banyuwangi, Jawa Timur. PT Lundin adalah produsen kapal dalam negeri yang produknya memakai bahan komposit. Menurut Budi, biaya dan investasi dari PT DI untuk membantu riset itu berupa tenaga kerja, fasilitas produksi, hingga sejumlah pengujian di laboratorium. “Nanti semua investasi itu harus kita hitung ke nilai jual pesawatnya,” ucap Budi.
Fadilah Hasim membenarkan informasi bahwa kontribusi setiap pihak yang bekerja sama dalam pengembangan N219A ini tidak berbentuk uang, melainkan in-kind. “Sekarang tidak ada lagi uang yang menyeberang ke lembaga lain. Kalau dulu kontrak kerja sama itu seolah-olah kita membiayai orang,” ujarnya. “Sekarang, misalnya, kami membelikan bahan, lalu industri menyumbang manufakturnya yang terdiri atas tenaga kerja dan mesin. Nanti itu akan divaluasi berapa sumbangannya. Untuk kekayaan intelektual, dibagi saja secara proporsional."
Andi Muhdiar Kadir/Tempo/Dody Hidayat
Sayuti Syamsuar menambahkan, dana untuk riset rancang-bangun pengapung berasal dari skema Riset dan Inovasi Indonesia Maju yang diberikan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan. “Sudah diplot untuk tiga tahun, per tahun Rp 1,029 miliar,” kata Sayuti. Dia mengatakan pendanaan itu bersifat fleksibel dan ada potensi pendanaan dari kerja sama dengan entitas industri seperti PT DI dan PT Lundin. Kelancaran pendanaan, Sayuti melanjutkan, sangat penting karena tim menargetkan percepatan dalam pembuatan purwarupa pengapung pada tahun ini.
Dalam riset pengembangan N219A, Budi Sampurno menjelaskan, PT DI juga mendapatkan pembiayaan Program Riset Nasional (PSN) dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). “Jadi Rp 360 miliar itu adalah komitmen dari Bappenas,” ucapnya. “Bappenas akan membuat pilot project pengadaan dan pengoperasian N219 dan N219A di Provinsi Kepulauan Riau.” Budi menambahkan, berdasarkan studi kelayakan oleh PT DI, dalam 12 tahun ke depan Indonesia membutuhkan 74 pesawat amfibi untuk kebutuhan sektor pariwisata, kesehatan masyarakat, perminyakan dan gas, pencarian dan pertolongan, hingga militer. “Karena itulah N219A dikukuhkan menjadi PSN.”
Budi mengatakan pembangunan purwarupa untuk pesawat basic amphibian (sebelum pemasangan pengapung) ditargetkan selesai pada April 2024. Uji terbang dijadwalkan rampung pada pertengahan Juni 2024. Setelah data terbang diperoleh dan hasil uji dipastikan sesuai dengan target performa pesawat, barulah pesawat amfibi dasar tersebut dipasangi pengapung. Selanjutnya dilakukan lagi uji terbang untuk mendapatkan sertifikat. “Targetnya pada Juli 2024 sudah bisa terbang perdana,” ujar Budi.
Sayuti Syamsuar/Dok Tempo
Hasil komunikasi Budi dengan Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan, yang bertanggung jawab dalam pemberian sertifikat pesawat, menyebutkan kemungkinan sertifikasi N219A lebih cepat dibanding N219. Pesawat N219 mendapatkan type certificate pada 20 Desember 2020 setelah sukses terbang perdana pada 16 Agustus 2017. “Karena bentuk aerodinamikanya masih sama, mungkin enggak sebanyak uji terbang N219 dulu. Perkiraan kami tidak lebih dari 100 jam terbang sehingga dalam tiga-empat bulan seharusnya bisa diselesaikan,” katanya.
Budi menjelaskan, dari 100 jam uji terbang tersebut, sebagian besar dilakukan untuk menguji stabilitas pesawat dalam mengudara dengan penambahan pengapung. Sisanya baru uji coba mendarat di air. “Dari 100 jam itu paling banyak 60-70 jam terbang justru dari darat. Kemudian sisanya yang 30-40 jam dari air,” tuturnya. Budi mengatakan, kendati N219A masih dalam tahap pengembangan, ada sejumlah pihak yang sudah tertarik. “Saat ini belum ada yang memesan, tapi sudah banyak yang tertarik membeli."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ahmad Fikri dari Bandung berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Memasang Pengapung di Kaki N219"