Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Dampak Besar Pencemaran Sungai Sagea Akibat Tambang Nikel

Pencemaran Sungai Sagea akibat aktivitas tambang nikel membuat penduduk sekitar menderita. Kawasan pariwisata pun mati suri.

29 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAHMATIA buru-buru mengeluarkan uang Rp 10 ribu dari kantong bajunya pada Selasa, 24 Oktober lalu. Warga yang tinggal di sekitar Sungai Sagea, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara, itu langsung menyerahkannya kepada penjual air kemasan galon di atas mobil bak terbuka yang mendatangi kampungnya. “Harus dibeli cepat. Kalau terlambat, tidak kebagian,” katanya kepada Tempo.

Rumah Rahmatia di Desa Sagea berjarak hanya 50 meter dari Sungai Sagea. Semenjak Sungai Sagea keruh pada awal tahun ini, keluarganya tak bisa lagi mengkonsumsi air kali. Dalam sebulan, perempuan 44 tahun itu harus mengeluarkan duit Rp 150 ribu untuk membeli 10-15 galon air isi ulang. Tatkala air sungai masih bening, keluarga Rahmatia hampir tak pernah membeli air galon.

Rahmatia dan warga lain di sekitar Sungai Sagea masih mencuci pakaian di sana. Namun itu pun tak setiap saat, tergantung kondisi air. Sebab, kadang-kadang air membawa lumpur meski hujan tak turun. Bukannya bersih, pakaian malah berwarna kecokelatan.



Sungai Sagea tak terpisahkan dari kehidupan penduduk yang tinggal di sekitarnya. Camat Weda Utara, Takdir Tjan, mengatakan sungai itu telah puluhan tahun menjadi sumber utama air bersih. Interaksi sosial warga pun terjalin ketika mereka mencuci pakaian di sana. Sungai itu juga mengaliri lahan pertanian penduduk. Lebih dari seribu warga Sagea bergantung pada aliran sungai.

Menurut Takdir, dalam sehari kebutuhan air bersih di Desa Sagea lebih dari 100 liter per keluarga. Sebelum air sungai berubah keruh, air bersih dipasok dari sungai dan sumur. Pemerintah daerah juga membuat bak penampungan dan pipa penyalur air. Namun kini warga setempat beralih ke sumber air lain. “Saya sudah mengimbau penduduk agar tak mengkonsumsi air sungai,” ujar Takdir.

Syamsudin, pemuda Desa Sagea, memperkirakan sekitar 130 keluarga di desanya beralih menggunakan air galon isi ulang untuk kebutuhan minum semenjak air sungai menjadi keruh. Dalam sehari, 50 air galon isi ulang terjual di desanya. Air galon itu didatangkan dari wilayah Weda, sekitar dua jam perjalanan dari Desa Sagea.

Koordinator Koalisi Save Sagea, Adlun Fiqri, mengatakan perubahan perilaku penduduk terjadi setelah masifnya penambangan di hulu dan pembangunan kawasan industri nikel di hilir sungai. Sejumlah perusahaan ditengarai melakukan deforestasi untuk menambang nikel. “Kalau musim hujan datang, jangankan untuk minum, air sungai pun tak layak untuk mencuci pakaian,” tutur Adlun, yang merupakan warga Sagea.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Warga beraktivitas di sekitar rumah mereka di pinggir Sungai Sagea yang tercemar di Desa Sagea, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, 15 Agustus 2023/Antara/Adlun Fikri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perkataan Adlun benar adanya. Awal Oktober lalu, Tempo menyusuri jalan dari Desa Lelilef menuju Sagea. Dalam perjalanan sejauh 20 kilometer terlihat bukit-bukit berhutan habis dikupas alat berat untuk tambang nikel. Beberapa bangunan berdiri kokoh di area PT Indonesia Weda Bay Industrial Park yang mengelola kawasan industri smelter pengolah nikel yang ditambang di hulu sungai.

Dalam catatan Koalisi Save Sagea, ada banyak perusahaan nikel di sekitar sungai. Perusahaan nikel lain di area Sagea adalah PT First Pacific Mining, PT Gamping Mining Indonesia, PT Kurnia Sagea Mineral, dan PT Weda Bay Nickel. Weda Bay memiliki area konsesi terluas, yakni 45 ribu hektare.

Meski perubahan perilaku penduduk di sekitar Sungai Sagea akibat pencemaran lingkungan telah berbulan-bulan lamanya terjadi, pemerintah daerah tak kunjung mengatasinya. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara Fachruddin Tokoboya mengaku belum mendapatkan informasi ihwal penduduk yang beralih mengkonsumsi air isi ulang karena air Sungai Sagea keruh. “Saya cek dulu,” tuturnya.

Fachruddin menyatakan masih mendalami penyebab air Sungai Sagea keruh. Pada 4 September lalu, di tengah tekanan pegiat lingkungan, ia mengeluarkan surat rekomendasi untuk lima perusahaan agar menghentikan penambangan guna menjaga kualitas air Sungai Sagea. Kelima perusahaan itu adalah PT Weda Bay Nickel, PT Halmahera Sukses Mineral, PT Tekindo Energi, PT Karunia Sagea Mineral, dan PT First Pacific Mining.

Delapan hari kemudian, ia memaparkan hasil uji laboratorium terhadap air Sungai Sagea dalam konferensi pers daring. Dalam paparannya, Fachruddin menyatakan air Sungai Sagea masih masuk kategori aman. “Uji sampel air menunjukkan kualitas air Sungai Sagea masih baik,” ucapnya ketika itu.


•••

KERUHNYA air Sungai Sagea juga berdampak pada pariwisata di Gua Boki Maruru. Gua batu ini bagian dari ekosistem Sungai Sagea. Di kawasan gua itu, air sungai berwarna hijau toska, padahal sebelumnya sangat jernih. Tebing-tebing curam yang mengitari kawasan itu dipenuhi lumut dan tanaman rambat. Cahaya yang jatuh dari langit di sela-sela tebing membuat sejumlah area di kawasan itu seperti panggung teater alam.

Dengan keindahan yang menyelimutinya, Boki Maruru menjadi salah satu urat nadi perekonomian penduduk sekitar. Setiap bulan, sekitar 2.000 orang berkunjung untuk menikmati pemandangan, berenang, atau menyusuri gua. Jumlah wisatawan lebih banyak saat musim libur tiba.

Menurut Koordinator Koalisi Save Sagea, Adlun Fiqri, pemuda Desa Sagea dan Kiya yang mengelola kawasan wisata itu bisa mendapatkan Rp 30-40 juta saban bulan. Tatkala masa libur tiba, duit Rp 100 juta bisa masuk ke kas desa. Belasan pedagang yang menjajakan makanan dan minuman pun mengandalkan kunjungan turis untuk mendapat penghasilan.

Kini air bening berubah menjadi butek. Dasar sungai yang semula terlihat kini sama sekali tak tampak. Tiada lagi suara bahagia para turis yang berenang atau menyusuri gua. “Warung-warung pedagang juga tutup karena pengunjung nihil,” tutur Adlun. Dengan kerusakan yang terjadi, entah kapan Gua Boki Maruru bisa kembali memukau wisatawan.

Pencemaran lingkungan di Sungai Sagea juga berdampak pada warga pesisir. Saleh Kader, nelayan asal Desa Waleh, mengatakan, sejak perusahaan nikel beroperasi, air Teluk Weda juga berubah keruh. Pada musim hujan, dia menambahkan, air menjadi keruh hingga 300 meter dari bibir pantai ke arah laut.

Sebelum ada penambangan nikel, Saleh bisa mendapatkan ikan tak jauh dari bibir pantai. Sekarang ia mesti membawa perahunya jauh ke tengah laut dan membayar lebih mahal untuk bahan bakar. Itu pun hasilnya tak seberapa. “Sehari paling hanya bisa dapat Rp 150-250 ribu. Itu pun kalau kondisi laut jernih,” ucap Saleh pada Kamis, 26 Oktober lalu.

Pencemaran di Sungai Sagea jelas membuat manusia yang hidup di sekitarnya menderita. “Saya sakit hati kalau lihat Sungai Sagea jadi kotor. Puluhan tahun kami menggunakan sungai, baru kali ini sering keruh dan berlumpur,” ujar Hafifa, 47 tahun, warga Desa Sagea.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Budhy Nurgianto dari Halmahera Tengah berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mati Suri Teater Alam"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus