Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Pabrik penyedot air tanah

Banyak pabrik di bandung membuat sumur artesis liar, menyedot air di atas batas yang diizinkan dan menyunat restribusi. akibatnya, persediaan air tanah terancam dan penduduk dalam bahaya.

3 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ROMBONGAN berseragam Korpri itu telah membuat pemilik pabrik di Bandung kelabakan. Mereka datang mendadak. Beberapa pemilik pabrik berusaha menghalangi, tapi para tamu itu tak peduli dan masuk begitu saja. Siapa dan mau apa mereka? Mereka adalah aparat dari Dinas Pertambangan Jawa Barat Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan Kantor Wilayah Perindustrian Jawa Barat, dan berbagai instansi pemerintah setempat. Mereka tergabung dalam Tim Penertiban Pengambilan Air Tanah yang dipimpin oleh Kosasih, Kepala Dinas Pertambangan Jawa Barat. Kedatangan yang tiba-tiba -- karena itu disebut sidak -- tidak berkaitan dengan aksi buruh. Memang, tidak ada aksi mogok di pabrik. Nama tim sudah menunjukkan bahwa tujuan mereka adalah menertibkan pemakaian air tanah oleh pabrik-pabrik. Sejumlah pabrik tampak gentar, cobacoba menghalangi tim itu. PT Tirtha Ria yang beroperasi di Kota Administratif (Kotif) Cimahi, misalnya. Tim tadi terpaksa tarik urat dengan Yacobus, sang general manager. Yacobus menuding mereka melanggar etika, karena tanpa memberi tahu lebih dulu. Alasan itu tak diterima oleh tim. Mereka masuk saja dan memeriksa titik-titik yang dicari. Dan tim tadi menemukan enam artesis. Setelah diperiksa suratsuratnya, ternyata cuma empat yang memiliki surat izin pengambilan air (SIPA). Dua lainnya dianggap liar, sebab tidak dilengkapi surat izin pengambilan air dalam skala besar. Masih ada dosa lainnya. Tim itu memergoki Tirtha sedang mengebor tiga sumur artesis di belakang pabrik, terselip di antara semak belukar. Langsung saja upaya itu dihentikan. Mesin pembor dibongkar. Pihak pabrik pun dituduh melanggar aturan. PT Gede Indah -- juga di Cimahi -- tak luput dari dosa serupa. Di antara enam sumur artesis miliknya, dua di antaranya tanpa izin. Bahkan, pengoperasian empat yang resmi pun melanggar ketentuan. Penyedotan air mestinya dibatasi 100 liter/menit dan hanya boleh berproduksi selama 15 jam/hari. Ternyata, mesin pompa Tirtha Ria menyedot 240 liter/menit selama 15 jam/hari. Itu bisa diketahui setelah tim itu melihat letak pemasangan water meter. Seharusnya, alat pengukur debit air itu dipasang di pipa sedot yang berdekatan dengan tanah. Tapi, Gede Indah menaruhnya di menara bak penampungan. Akibatnya, debit air yang disedot lebih banyak dari angka pada water meter. Tim tersebut juga memperoleh buktibukti lain sekitar per buatan terlarang Gede. "Tiap bulan ia membayar retribusi secara pukul rata," ujar seorang anggota tim itu. Artinya, jumlah retribusi air kepada Pemerintah seringkali tidak sesuai dengan debit air yang diambilnya. Kata anggota tim itu, pihak pabrik ada main dengan pemungut retribusi. Sebanyak enam pabrik lainnya di Cimahi, menurut hasil penyidakan, melakukan kesalahan yang hampir sama: membuat sumur liar, melampau batas maksimum produksi, dan menyunat retribusi. Begitu pula 70 pabrik di seantero Bandung yang kena sidak. Khusus yang menyangkut kebiasaan menyunat itu, Kosasih (ketua Tim), bersungut, "Negara dirugikan milyaran rupiah." Ia memang baru mengirangira. Perhitungannya begini. Misalnya, ada sebuah pabrik yang hanya membayar Rp 300.000 tiap bulan, padahal berdasar volume pemakaian air seharusnya ia membayar Rp 2,5 juta. Nah, di Bandung ada sekitar 1.700 pabrik yang boleh jadi berkelakuan serupa. "Kalau dihitung-hitung, jadi berapa milyar?" Itu soal duit. Lebih buruk lagi ialah persediaan air tanah di Bandung terancam. "Kalau penyedotan tak terkontrol, permukaan air dalam tanah akan terus turun. Akibatnya, penduduk Bandung kesulitan air bersih, dan penduduk yang hidup di atasnya juga berada dalam bahaya," kata Direktur Geologi dan Tata Lingkungan, Silitonga. Ia menunjuk peristiwa yang terjadi di Pasar Kordon, Cipalogo, Bandung, enam bulan silam. Tibatiba permukaan tanah bergaris tengah 12 meter amblas ke bumi. Ini diduga akibat banyaknya penyedotan air di sekitar daerah tersebut. Saat ini, lanjut Silitonga, kondisi air tanah di Bandung memprihatinkan. "Tiap tahun terjadi penurunan sekitar dua meter. Dan menurut Soetrisno, Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Alam, permukaan air tanah di Bandung sekarang 20-40 meter di dalam tanah. "Padahal, tahun 1960-an baru 3-25 meter," papar Soetrisno di depan sebuah seminar di Jakarta, Senin dua minggu lalu. Instansi setempat yang mengurus perkara ini mengganggap sudah saatnya untuk bertindak tegas. "Kami sedang mengumpulkan bukti-bukti untuk menyeret pabrik-pabrik yang bersalah ke meja hijau. Kita akan jaring mereka dengan UU Lingkungan Hidup. Mereka bisa dikenai hukuman 10 tahun penjara," ucapnya. Dalam sidak, timnya bahkan sudah menyegel 30 sumur yang melampaui batas produksi. Silitonga juga mengingatkan agar Pemda hati-hati mengeluarkan izin. "Bupati atau Wali Kota dapat menolaknya bila lokasinya tidak memungkinkan," ujarnya. Dewasa ini, pihak yang paling disalahkan tim penertiban memang para pengusaha. Seperti kata Kosasih, merekalah yang memakai air di atas 100 meter kubik/bulan. "Penduduk, jelas di bawah itu. Maka, tak perlu izin," katanya. Boleh jadi apa yang terjadi di Bandung juga akan -- bahkan mungkin sudah && mengancam kawasan lain yang dimasuki industri. Air tanah di Cilegon, Jawa Barat, misalnya. Kini muka air tanah di sana 4-98 meter (laporan Departemen Pertambangan dan Energi dalam Sidang Kabinet Terbatas Ekuin September 1991). Permukaan itu tentu akan turun sekian meter beberapa tahun kemudian. Ancaman serupa pastilah akan menimpa kawasan-kawasan lain yang "diduduki" pabrik, terutama bila penyedotan air tanahnya dilakukan secara melanggar hukum. Priyono B. Sumbogo dan Ahmad Taufik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus