Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Fundamentalisme itu serupa, tapi tak sama

Seminar internasional tentang agama dan perkembangan kontemporer untuk menciptakan kehidupan antaragama yang lebih saling memahami. makna fundamentalisme berbeda dalam tiap agama

3 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM dua bulan, Yogyakarta mencatat dua pertemuan keagamaan penting. Yang pertama berlangsung pada minggu kedua Agustus lalu: terbentuknya Institut Dialog Antariman. Inilah lembaga swasta yang bertujuan menciptakan satu kehidupan antaragama yang tak hanya saling bertoleransi, tapi juga saling "menghayati" (TEMPO 29 Agustus). Pertemuan kedua berlangsung pekan lalu, sebuah seminar internasional tentang agama dan perkembangan kontemporer. Ini sebuah seminar terbatas, mendatangkan sekitar 200 orang dari Mesir, Inggris, Amerika Serikat, sampai Malaysia. Dan tujuannya pun hampir sama, yakni menciptakan kehidupan antaragama yang lebih saling memahami. Selain topik-topik klasik, misalnya soal perbandingan agama-agama, soal sufisme, soal hukum agama, juga diangkat topik yang belakangan ramai disebut-sebut, yakni soal fundamentalisme dalam agama. Tampaknya topik ini paling ramai: dari lima hari seminar, dua hari membicarakan fundamentalisme dengan lima makalah. Memang, aslinya, kata fundamentalisme merupakan sebutan bagi sebuah gerakan konservatif dalam lingkungan Kristen Protestan di Amerika Serikat pada abad ke-19. Gerakan itu, kata Pendeta Djaka Soetapa, Rektor Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, menghendaki diterimanya "Kitab suci sebagai firman Allah yang harus diterima tanpa reserve." Sikap ini mengakibatkan pemahaman terhadap kitab suci cenderung harfiah, menolak pendekatan modern. Bila belakangan para wartawan (Barat) menerapkan istilah itu untuk, misalnya, partai Islam di Al-jazair, tak berarti ada kesamaan masalah antara Islam dan Protestan di Amerika pada awal abad ini. Maka, kata Dr. Martin van Bruinessen, dosen tamu di IAIN Yogyakarta dari Universitas Leiden, hanya mengkaji makna kata fundamentalisme seperti yang melekat pada Kristen Protestan itu untuk memahami yang disebut-sebut sebagai Islam fundamentalisme bisa salah. Ada latar belakang pemikiran dan politik yang berbeda. Salah satu contoh bagaimana membingungkannya penerapan fundamentalisme dalam Islam, kata Van Bruinessen, bisa dilihat di Arab Saudi. Gerakan Wahabi di Saudi oleh sebagian orang juga disebut fundamentalisme. Karena, gerakan tersebut ingin mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan Quran dan hadis, dan membersihkannya dari unsur ritual yang tak dianjurkan. Yang dibersihkan itu umpamanya soal ziarah kubur, pemujaan terhadap wali && hal yang dicap sebagai bidah. Namun, satu gerakan Islam yang lain, yang melawan paham Wahabi, pun disebut sebagai Islam fundamentalisme. Yakni, gerakan Islam di Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini. Disebut demikian karena gerakan ini menolak hampir segala hal yang berbau Barat, dan mencoba kembali ke Quran. Tapi, Islam di Iran ini disebut Syiah, secara agama jelas berbeda dengan Wahabi. Tampaknya satu simplifikasi terhadap kata fundamentalisme memang telanjur menggelinding. Hingga, agama Hindu pun terkena juga. "Fundamentalisme dalam ajaran Hindu artinya kembali ke ajaran Veda," kata I.B. Punia Atmaja, salah seorang cendekiawan Hindu yang membawakan makalahnya dalam bahasa Inggris. Berbeda dengan Kristen dan Islam, tak jelas benar adakah gerakan Hindu fundamentalisme. Tampaknya makna fundamentalisme yang ditawarkan oleh pembicara satu ini lebih merupakan ajaran moral untuk kembali pada Veda. Seorang pemeluk Hindu, katanya, harus menjadi seorang fundamentalis. Dan itu artinya menjadi pemeluk Hindu yang "bukan mengacu pada fanatisme dan eksklusivisme, bukan tak punya toleransi tidak militan, dan lain-lainnya." Dibanding dengan makna fundamentalisme Islam di Iran, yang cenderung bersikap negasi, fundamentalisme dalam pengertian Punia Atmaja lebih bersifat positif. Dalam makalah yang berjudul Fundamentalisme dalam Agama Budha, Drs. Teja S.M. Rashid mengartikan istilah yang didiskusikan ini mirip yang diberikan Punia Atmaja. Kelompok Dharmakaya di Muangthai, oleh Teja, disebut sebagai kelompok kaum fundamentalis Budha. Karena, lebih daripada lainnya, kelompok itu "Menekankan pada perkembangan batin yang merupakan salah satu dasar agama Budha untuk menangkal dampak negatif dari perkembangan sosial yang cepat di Muangthai." Maka, jika hendak dicari apa yang diperoleh dari dua hari membicarakan "fundamentalisme" adalah makna kata itu berbeda-beda dalam tiap agama. Bahkan, dalam satu agama makna "fundamentalisme" bukan hanya bisa berbeda, bahkan berlawanan. Makna nilai negatif yang terkesan dalam istilah itu, yang belakangan digunakan pers Barat bahwa "fundamentalisme" selalu berarti antimodernisasi, antikemajuan, dalam seminar ini dijelaskan. Maka, sungguh menarik usul cendekiawan muslim Dawam Rahardjo untuk membahas "fundamentalisme" dengan lebih tajam: "Sumbangan positif fundamentalisme agama-agama." Mochammad Faried Cahyono (Yogyakarta) & JK (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus