Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kodok merah kembali ditemukan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) setelah diduga menghilang.
Sangat rentan terkena patogen berupa jamur yang dapat membuat kodok mengalami dehidrasi, yang berujung pada kematian.
Pemanasan global turut memainkan peran terhadap kerentanan tersebut.
DIDI Saeful Mahdi, 41 tahun, langsung mengenali kuak kodok yang nyaring ia dengar. Setelah menelisik sumber suara itu, dia menemukan seekor kodok merah yang agak tersembunyi di atas sebuah batu berlumut dekat sungai di Gunung Salak yang berada di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat. Kulitnya berbintil dengan variasi warna loreng hitam dan merah.
Didi lantas memotret satwa penting itu dengan kamera telepon seluler pintar miliknya dari jarak sekitar 20 sentimeter. “Dia tidak menghindar, memang karakternya seperti itu,” kata relawan di Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak tersebut, Rabu, 9 Maret lalu. Didi mencatat, penemuan penting ini terjadi sekitar pukul 13.00 pada Desember 2021.
Bagi Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), peristiwa ini dapat dikatakan krusial. Didi tak sekadar bertemu dengan satwa langka, ia menemukan kembali kodok merah (Leptophryne cruentata) atau bloody toad yang tak pernah terlihat di taman itu dalam 134 tahun terakhir. Kodok ini satu-satunya satwa yang dilindungi di kelas amfibi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 Tahun 2018.
Satwa dari famili Bufonidae ini masuk Daftar Merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) dengan status konservasi kritis (critically endangered). Artinya, keberadaan kodok ini satu tingkat menuju punah. Di TNGHS, kodok merah dianggap telah hilang. Pada 2018, survei intensif diadakan oleh balai itu, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan kodok tersebut.
Perjumpaan Didi dengan kodok merah di kawasan Resor Gunung Salak I itu terjadi ketika ia tengah membimbing kelompok mahasiswa Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat, yang mengikuti kuliah lapangan. Kegiatan bersama selusin mahasiswa yang disebut herping alias pengamatan herpetofauna (satwa amfibi dan reptil) di habitat aslinya itu bertujuan mengetahui bagaimana hewan tersebut hidup dan berperilaku di habitatnya.
Sepanjang perjalanan ke lokasi, Didi dan tim mahasiswa yang ia pandu mencatat temuan satwa amfibi seperti katak tanduk, katak pohon Jawa, dan katak pohon hijau. Adapun dari kelompok reptil, ia menemukan ular pucuk berwarna hijau yang biasa menghuni pepohonan.
Ketika bertemu dengan "kodok berdarah" tersebut, Didi langsung mengamatinya dengan lebih saksama. Dari ukuran tubuh, dia memastikan kodok merah itu berjenis kelamin jantan. Diameter tubuh pejantan 20-30 milimeter, sementara betina 25-40 milimeter. “Kalau umurnya kurang tahu, tapi kodok itu sudah dewasa,” tuturnya.
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak Ahmad Munawir mengatakan pada 2020-2021 setidaknya ada tiga lokasi penemuan kodok merah oleh anggota staf maupun relawan balai yang sedang menjelajah hutan untuk memantau satwa. “Dari tiga lokasi penemuan, ditemukan sembilan kodok merah,” katanya. Rincian detail sebaran lokasi temuan itu dirahasiakan demi tujuan konservasi.
Munawir menerangkan, temuan pertama tercatat pada 3 Juni 2020 oleh tim survei balai pada pukul 23.00 WIB di sisi timur Gunung Salak. Adapun temuan kedua, menurut situs resmi Balai TNGHS, diperoleh pada medio Agustus 2020, juga ketika para peneliti melakukan herping di hulu sungai Gunung Salak pada malam. Temuan ketiga amat krusial bagi balai. “Ini membuktikan bahwa jenis kodok merah tidak punah di TNGHS,” ujarnya.
Menurut herpetolog dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Djoko T. Iskandar, sudah lama kodok merah jarang terlihat di wilayah sekitar Gunung Salak. Penemuan pertamanya di Curug Luhur, Sagaranten, Sukabumi, Jawa Barat, terjadi sekitar 50 tahun lalu. “Dulu banyak sekali di Gunung Gede,” ucap Djoko, Rabu, 9 Maret lalu.
Kodok merah, Djoko menjelaskan, punya kulit kering yang rawan terkena jamur Chytrium karena jaringan jamur itu cepat menginvasi kulit. Adapun tubuh katak, yang berkulit basah, terus memproduksi lendir sehingga pertumbuhan jaringan jamur kalah cepat, apalagi saat satwa itu berada di air. Kondisi inilah yang menyebabkan kodok lebih rentan terkena jamur ketimbang katak.
Djoko menambahkan, pemanasan global menyebabkan kerentanan kodok merah terhadap serangan patogen meningkat berlipat-lipat. Cuaca dan suhu yang panas dapat menguapkan lendir. Padahal lendir berfungsi melindungi kulit kodok dari serangan patogen. Lendir yang cepat menguap membuat lapisannya lebih tipis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemasangan kamera trap di Taman Nasional Gunung Halimun Salak/Dok TNGHS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam laporan Tempo berjudul "Rahasia Pembunuh Katak" yang ditayangkan pada 23 Oktober 2009 disebutkan patogen ini menyebabkan kematian massal kodok dan katak di banyak belahan dunia. Ratusan katak di populasi alam liar di Amerika Serikat, Amerika Tengah, Ekuador, Australia, Selandia Baru, dan Spanyol tiba-tiba mati tanpa penyebab jelas. Patogen itu diduga telah merebak di Indonesia, terutama pada satwa yang hidup di perairan, melalui saluran air yang kotor dan tercemar berbagai polutan.
Menurut riset yang dilakukan Karen R. Lips, profesor amfibi dari University of Maryland, Amerika Serikat, kematian misterius itu terjadi akibat penyakit Chytridiomycosis, yang disebabkan oleh infeksi jamur Batrachochytrium dendrobatidis. Dalam makalah yang diterbitkan pada The Proceedings of the National Academy of Sciences itu Lips menjelaskan bahwa jamur tersebut mampu mengubah keseimbangan kandungan zat elektrolit dalam tubuh amfibi yang menyebabkan dehidrasi.
Penemuan kembali kodok merah membawa tantangan baru untuk menjaga habitatnya terhindar dari polutan agar tak diserang jamur tersebut. Menurut Djoko, kodok merah punya siklus hidup yang sama dengan katak, tapi memerlukan air yang bersih dan dingin serta berkadar oksigen tinggi. Peran vitalnya di alam sebagai pemangsa serangga akan menjaga ekosistem. “Dengan meningkatnya populasi kodok, kesetimbangan ekosistem dapat dikembalikan,” katanya.
Menurut profesor yang namanya diabadikan dalam nama enam spesies reptil dan amfibi itu, sebaran kodok merah sejauh ini diketahui terbatas di sekitar Gunung Gede, Pangrango, serta Salak dan kemungkinan besar juga terdapat di Gunung Halimun. Namun, dia menambahkan, populasi kodok merah mungkin bergeser ke arah puncak gunung-gunung tersebut akibat pemanasan global. “Bergantung pada kisaran toleransi kodok tersebut yang kita belum tahu,” tutur Djoko.
Didi Saeful Mahdi merasa beruntung pernah bertemu dengan kodok merah pada 2018-2019 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Saat itu ia ikut membantu penelitian kelompok Reptil Amfibi Sumatera. "Itu pertemuan pertama saya dengan kodok merah, dan bertemu kembali di Gunung Salak tetap menjadi momen yang langka," ucapnya.
Dalam situs resmi Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan disebutkan kodok merah juga dapat ditemukan di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat, serta di kawasan Gunung Slamet, Jawa Tengah. Namun, berdasarkan taksonominya, kodok merah di dua kawasan ini berasal dari subspesies yang berbeda dengan kodok merah di Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo