Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Pelajar pun Melek Terumbu Karang

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengajak pelajar menyelamatkan terumbu karang. Pelajar Bali mengusung gagasan Trihita Karana. Apa itu?

3 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

I Gede Putu, Ni Luh Putu, dan I Wayan Darya hidup dan besar di pesisir pantai Bali. Mereka akrab dengan bau laut. Itu sebabnya, tiga pelajar Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Denpasar ini pun fasih bercerita tentang kondisi terumbu karang di lingkungan mereka di Desa Serangan, Bali. Di sana terumbu karang berada dalam fase kritis.

Untuk menyelamatkan terumbu karang di Serangan dari kerusakan lebih parah, ketiganya menyarankan agar asas Trihita Karana, yakni asas yang meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan, lebih digalakkan. Sebab, dalam pengamatan mereka, di lapangan didapati hubungan positif di antara keduanya.

Salah satu asas Trihita Karana di Serangan adalah adanya ritual rutin yang disebut ngayah, yakni bekerja tanpa imbalan membersihkan wilayah pesisir pantai bersama-sama. Para nelayan juga dianjurkan untuk tidak menggunakan racun atau bom dalam menangkap ikan dan beralih dari pengambil karang menjadi petani terumbu karang. ”Jadi, secara tak langsung, mereka diajari membudidayakan terumbu karang,” kata Ni Luh Putu.

Hasil penelitian tersebut mereka paparkan di hadapan juri Kontes Inovator Muda III, yang diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Program Penyelamatan Terumbu Karang atau Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) di Jakarta akhir pekan silam. Dari hasil paparan itu, ketiganya diganjar sebagai pemenang. Mereka mengalahkan dua finalis lainnya, yakni dari SMAN 70 Jakarta dan SMAN 1 Wangi-wangi, Wakatobi.

Dalam makalahnya, pelajar SMAN 70 Jakarta menyatakan bahwa kerusakan terumbu karang bukan semata akibat ulah manusia, tapi juga karena adanya predator, seperti binatang berduri. Binatang ini menetap pada terumbu karang dan mensekresikan enzim agar terumbu karang itu hancur dan mengisapnya.

Adapun tiga pelajar SMAN 1 Wakatobi menyoroti bagaimana sebuah desa melindungi daerah lautnya secara mandiri. Di sana dikenal sistem buka-tutup atau oumatahora dalam pelestarian terumbu karang. Sistem buka diperuntukkan bagi kegiatan masyarakat yang mengadakan hajatan desa, sedangkan sistem tutup untuk nelayan luar dan nelayan setempat yang menggunakan bahan berbahaya dalam menangkap ikan.

LIPI, bersama Coremap, memang ingin merangkul kaum muda untuk peduli terhadap lingkungan. Respons yang datang untuk mengikuti karya ilmiah ini pun menggembirakan. Ada 155 makalah yang masuk. ”Kami berharap ada multiplier effect, yakni mereka dapat menyebarluaskan informasi mengenai penyelamatan terumbu karang kepada teman-teman, keluarga, dan lingkungan tempat tinggal mereka,” ucap Dr Deny Hidayati, Koordinator Bidang Pendidikan LIPI.

Efek secara langsung terhadap pelestarian terumbu karang dari lomba semacam ini memang bukan yang diharapkan LIPI. Menurut Deny, tujuan utamanya adalah menyertakan generasi muda dengan meningkatkan pengetahuan mereka tentang terumbu karang dari segi penyelamatan dan pengelolaan. ”Jadi yang kami harapkan adalah investasi jangka panjang,” katanya.

Selain kepada generasi muda, LIPI dan Coremap getol memberikan penyuluhan kepada para penduduk di pesisir pantai tentang penyelamatan terumbu karang. Hasilnya, kata Mohammad Kasim Moosa, pengamat terumbu karang, kesadaran masyarakat untuk memelihara terumbu karang kian meningkat. Ini terjadi antara lain di Flores, Buton, Wakatobi, Raja Ampat, Pangkap, Selayar, Biak, Tanjung Pinang, Selayar Lingga, Bintan, Mentawai, Nias, Tapanuli Tengah, dan Natuna.

Sayangnya, di beberapa daerah lain perbaikan kerusakan terumbu karang belum menggembirakan. Masih banyak nelayan yang menggantungkan hidup pada usaha mengambil terumbu karang lantaran tergiur iming-iming menda-pat imbalan cukup besar dari para eksportir.

Dalam sebuah penelitian LIPI diketahui bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia yang tergolong dalam kategori baik tinggal sekitar 6,5 persen. Yang memprihatinkan, sekitar 70 persen termasuk kategori buruk dan sangat buruk. Banyak faktor yang menjadi penyebab kerusakan terumbu karang tersebut selain penggunaan bom dan racun oleh nelayan untuk menangkap ikan, di antaranya pembangunan perkotaan, industri, atau pertanian yang limbahnya lari ke laut.

Ada juga kerusakan secara alami. Ini sulit diatasi, seperti gempa bumi, wabah, atau pemanasan global, yang menyebabkan peningkatan suhu air sehingga ada alga yang hidup pada jaringan polip dan menjadi karang berwarna putih atau disebut coral bleaching. ”Ini indikasi terumbu karang itu akan mati,” ucap Mohammad Kasim.

Daerah yang memiliki terumbu karang yang masuk kategori baik salah satunya adalah Pulau Banda. Di sana partisipasi warga setempat cukup tinggi, bahkan para pengusaha resor pun turut memiliki andil dalam menjaga kelestarian terumbu karang. Adapun wilayah dengan terumbu karang yang masuk kategori buruk adalah Pulau Seribu bagian selatan, beberapa tempat di Kepulauan Riau, dan Aceh. Yang terakhir ini disebabkan oleh bencana tsunami pada 2004.

Satu ekosistem terumbu karang dihuni oleh 93 ribu hingga satu juta spesies. Meski terlihat kukuh dan kuat, terumbu karang yang kaya akan plasma nutfah ini rentan terhadap perubahan lingkungan, seperti tingkat kejernihan air, arus, salinitas, dan suhu. Berbagai jenis binatang mencari makan dan berlindung di sana. Secara keseluruhan, jumlah ikan, kerang, dan kepiting yang dapat ditangkap dari ekosistem terumbu karang ini mencapai 9 juta ton di seluruh dunia.

Indonesia memiliki ekosistem terumbu karang mencapai 75 ribu kilometer persegi atau terluas di dunia. Namun kondisinya kini cukup memprihatinkan. Kerusakan terjadi di mana-mana. Padahal di perairan Indonesia ditemukan sekitar 362 spesies scleractinia (karang batu). Ini membuat Indonesia menjadi pusat dari sebaran karang batu dunia.

Dalam upaya pelestarian terumbu karang, pada awal 2000 LIPI melakukan penyadaran terhadap masyarakat akan pentingnya keberadaan terumbu karang. Cara yang dilakukan antara lain melakukan sosialisasi langsung kepada nelayan. Namun kegiatan tersebut bukan tanpa hambatan. Tak jarang para nelayan menolak ajakan untuk tak menggunakan cara-cara konvensional, seperti memakai bom, dalam menangkap ikan.

Menurut Deny, yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah memberikan edukasi secara paralel, terus-menerus kepada pelajar, masyarakat umum, dan nelayan tentang pentingnya keberadaan terumbu karang. ”Kami dari Bidang Edukasi LIPI berfokus pada upaya pelestarian melalui pendidikan formal ataupun nonformal. Kontes Inovator Muda ini merupakan kegiatan nonformal agar pelajar sadar akan terumbu karang,” ucap Deny.

Firman Atmakusuma, Cornila Desyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus