Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Last Window Giraffe, Hari-hari Terakhir Sang Diktator
Penulis: Peter Zilahy
Penerbit: Bentang (Oktober, 2008)
Tebal: viii + 186 halaman
A adalah Arany (Emas). Zaman keemasan di Yugoslavia tinggal sejangkauan tangan.
B adalah huruf ketiga dalam abjad Hungaria. B adalah huruf persahabatan. Sahabatku di Beograd adalah Filip David. Dia pergi berdemonstrasi setiap hari. Bersama anjingnya, mereka berjalan di depan barisan polisi. Anjing itu bernama Bilbo.
Itulah petikan dari sebuah novel yang kemudian menjadi ”kitab suci” gerakan mahasiswa di beberapa negara. Buku itu bukan sebuah kamus, bukan pula ensiklopedia. Penulis Hungaria Peter Zilahy menuliskan catatan sejarah, pengalaman pribadi, atau pikirannya dalam novel The Last Window Giraffe itu. Novel ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Penerbit Bentang bulan lalu.
”Saya menulis novel The Last Window Giraffe dengan mengambil bentuk Ablak-Zsiraff, yaitu buku yang digunakan oleh anak-anak Hungaria ketika belajar membaca,” kata Peter dalam sebuah diskusi di Yogyakarta dua pekan lalu.
Kata pertama yang dimulai dengan abjad A dalam kamus Hungaria, misalnya, adalah Ablak atau Jendela. Kata ini mengantarkan anak-anak berimajinasi tentang jendela. Anak-anak yang belajar membaca sambil berimajinasi ini kemudian akan tenggelam dalam petualangan menjelajahi kenikmatan berbahasa. Petualangan mereka selanjutnya akan ditutup dengan huruf Z atau Zsiraff (Jerapah) untuk sebuah cerita tentang jerapah.
Dengan gaya kamus ala anak-anak inilah Zilahy meniti cerita. Ia menyuguhkan bentuk penulisan yang berbeda: alur cerita yang tak runut. Pembaca mendapati bab dan tema yang berjumpalitan. Satu-satunya yang runut di sini adalah pendekatannya yang alfabetis. ”Melompat-lompat adalah hal alami otak manusia,” Peter membela gaya penulisannya dalam buku yang banyak bercerita tentang masa-masa kejatuhan kediktatoran di Eropa Timur dan Tengah itu.
Ia, misalnya, bercerita tentang persahabatannya dengan Filip David dari Beograd, yang setiap hari berdemonstrasi sambil membawa anjingnya, Bilbo. Pembaca lalu dibawa ke cerita salah seorang temannya, seorang penembak jitu, yang diberhentikan dari dinas militer Yugoslavia karena ibunya berdarah campuran Kroasia-Hungaria dan ayahnya keturunan Bosnia-Serbia. Kemudian Peter melompat lagi, menceritakan anak Radovan Karadzic, Saskija, yang harus berhadap-hadapan dengan teman masa kecilnya, Jusuf, saat pengepungan Sarajevo.
Lompatan-lompatan cerita yang dituturkan secara alfabetis itu tak membuat novel ini menjadi tak utuh dan tampak kaku. Sebaliknya, Zilahy, yang meluncurkan novel itu sepuluh tahun silam—saat itu umurnya 28 tahun—justru terampil melenturkan cerita. Ia bahkan kerap membuat pembaca tersenyum atau tertawa terbahak-bahak.
Tengoklah cerita tentang ayah Slobodan Milosevic. Ayah diktator Serbia ini pada mulanya ternyata seorang guru agama. Ia kemudian dipromosikan menjadi guru bahasa Rusia sebelum menjatuhkan diri dari sebuah tebing di Montenegro. Ibu Milosevic juga mati nahas: gantung diri. Pamannya menembak kepalanya sendiri. Zilahy lalu menyisipkan humor dalam cerita ayah Milosevic itu dengan mengisahkan sebuah aksi demonstrasi mahasiswa. Di salah satu papan protes ia menulis: mahasiswa menegaskan pentingnya melestarikan ”tradisi” keluarga.
Membaca novel yang sebagian besar mengambil latar di Beograd ini mengingatkan pada cerita perlawanan terhadap Orde Baru. Saat itu penentangan dilakukan dengan samar dan penuh eufemisme. ”Memang ada banyak kemiripan dengan situasi di Indonesia: dari kediktatoran hingga perjuangan akan kebebasan,” ujar pria yang kini tinggal di Austria ini kepada Tempo.
Bagi sejumlah gerakan mahasiswa, The Last Window Giraffe malah telah menjadi semacam ”kitab suci”. Di Ukraina, misalnya, buku ini dibaca oleh para aktivis mahasiswa yang kemudian berhasil meletupkan revolusi oranye pada 2004. Buku ini meraih penghargaan Book of the Year dari Ukraina pada 2003.
Gaya kanak-kanak novel ini kian kental dengan tambahan foto dan gambar-gambar yang tampak naif. Inilah yang membuat buku ini tetap menarik dibaca kendati sudah beredar sejak sepuluh tahun lalu.
The Last Window Giraffe telah diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa. Setelah ke bahasa Indonesia, novel ini akan diterjemahkan ke bahasa Turki. Mungkin karya ini juga akan bermanfaat bila diterjemahkan ke bahasa Burma atau bahasa negara-negara yang masih awet memelihara kediktatoran.
Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo