Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANGIT tak akan runtuh kalau Indonesia tak mempunyai Undang-Undang Pornografi. Ratusan orang pernah berdemo di Yogya dan Solo. Lebih dari seribu orang di Bali dulu turun ke jalan. Provinsi Bali secara resmi menolak. Meski ramai ditentang, sukar dipahami tindakan Dewan Perwakilan Rakyat yang ngotot mengesahkan undang-undang itu pekan lalu. Sepertinya mereka di Senayan—yang setuju aturan ini—percaya ada aib besar yang segera menimpa bangsa, sehingga ”jimat penyelamat akhlak” perlu cepat dipancangkan.
Karena buru-buru, alasan yang terdengar kurang bermutu. Argumen bahwa rancangannya sudah terlalu lama dibahas atau karena maraknya pornografi saat ini mudah dipatahkan. Alasan pornografi membahayakan anak-anak bisa diterima, tapi sudah banyak disarankan untuk dimasukkan saja dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Rupanya saran dianggap tak penting didengar. Belajar dari pengalaman, pemaksaan hanya menghasilkan aturan ”setengah matang”, menimbulkan pro-kontra, dan menjadi buah mulut rakyat.
Buktinya, baru sehari disahkan, satu provinsi telah menentang. Barisan penentang diduga akan semakin panjang, karena sejak awal ada provinsi lain yang menentang keras, misalnya Sulawesi Utara dan Papua. Ini tentu menyulitkan pemerintah. Jika pemerintah menerima penolakan tersebut, pemerintah akan dituduh memperlakukan daerah itu secara istimewa. Sebaliknya, jika pemerintah memaksa Bali menerima, umpamanya, perlawanan lebih keras bisa jadi muncul dari daerah itu.
Kemungkinan seperti ini, entah kenapa, tak diperhitungkan para wakil rakyat yang menggotong aturan itu. Mereka seperti tidak paham tentang Indonesia. Mereka seakan lupa bangsa ini terdiri atas ratusan etnis, beragam budaya, yang bisa dianggap porno oleh orang lain, tapi sakral bagi yang meyakini. Karena itu, wajar jika seniman Bali dan penari tayub di Jawa Tengah bereaksi saat rancangan undang-undang ini dibahas Dewan tahun silam. Mereka waswas tarian atau karya patung mereka dianggap porno.
Memang setelah itu ada revisi. Judul ”Antipornografi dan Pornoaksi” diubah menjadi ”Pornografi”, sejumlah pasal yang dianggap bermasalah disetip. Pasal juga mengempis, dari 93 tinggal 45 pasal.
Sudah diduga, revisi tak menyelesaikan masalah, karena hal-hal mendasar tak terpecahkan. Definisi pornografi tetap mengandung kontroversi. Tidak mudah menetapkan ”gerak tubuh” dan ”pertunjukan di muka umum” yang masuk klasifikasi pornografi, contohnya. Menyadari banyaknya kelemahan, patut dipuji tindakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang menentang undang-undang ini. Kita patut bertanya ke mana para nasionalis yang lain di Senayan berpihak?
Pertanyaan itu sudah terlambat. Undang-undang sudah disahkan walau berlumur cacat. Bukan mustahil suatu ketika, misalnya, ada penari yang ditangkap lantaran lenggak-lenggoknya dianggap mengandung kecabulan dan membangkitkan syahwat.
Yang juga berbahaya adalah munculnya pasal-pasal yang membolehkan masyarakat berperan mencegah pembuatan atau penyebaran pornografi. Satu potensi kekerasan sudah disahkan lewat sebuah undang-undang. Atas nama undang-undang ini, sekelompok warga bisa merasa diberi hak oleh negara untuk melakukan tindakan hukum sendiri.
Agar tidak terjadi kekacauan, pemerintah wajib bergegas menerbitkan peraturan untuk ”mengunci” pasal-pasal bolong. Mengenai peran aktif masyarakat itu, umpamanya, perlu dibuat aturan agar tidak muncul ”polisi moral” yang main hakim sendiri.
Mereka yang tidak puas terhadap undang-undang ini bisa secepatnya mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Siapa tahu di sana akal sehat lebih diterima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo