Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Pembahasan RPP Mangrove, Walhi: Acuannya Bukan UU LH, tapi Cipta Kerja

Berikut ini 6 catatan miring Walhi atas RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang telah disusun KLHK.

20 Februari 2024 | 18.45 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi menilai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak transparan dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Sejak dilakukan pada 2022, pembahasan disebutkan belum pernah melibatkan publik yang berkepentingan, khususnya masyarakat pesisir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain itu, draf RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove juga
belum dapat diakses oleh masyarakat luas. "Ketidakterbukaan dokumen ini menjadi salah satu hambatan bagi masyarakat untuk memberikan pandangan dan masukan terhadap kebijakan perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove," kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi, Parid Ridwanuddin, Selasa, 20 Februari 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Walhi, kata Parid, baru mendapatkan dokumen Kajian Akademik RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove itu. Berdasarkan nomeklatur dari dokumen kajian akademik RPP itu, Walhi menyebut arah perlindungan dan pengelolaan mangrove
ingin menerjemahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

Sampai di situ, menurut Parid, landasan RPP ini sangat bagus karena UU 32 Tahun 2009 dinilai merupakan payung hukum yang ideal dalam memelihara dan mengelola sumber 
daya pesisir dan laut. Namun, kajian Walhi dan para akademisi mendapati sejumlah catatan serius.

6 Catatan Miring untuk RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Catatan pertama, kata Parid, RPP belum mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam mengelola ekosistem mangrove. Dengan kata lain, pengakuan terhadap tata kelola lokal yang dibangun oleh masyarakat belum terlihat. "Tata kelola ekosistem mangrove yang terkandung dalam RPP ini masih sangat terpusat pada negara," ucapnya.

Kedua, RPP dinilainya tidak memiliki posisi yang jelas untuk melindungi ekosistem mangrove dari berbagai kebijakan pemerintah yang berorientasi pada industri ekstraktif. Pasal 16 dan 18 di RPP itu bahkan ditemukan melegalkan perusakan ekosistem mangrove atas nama konversi menjadi kawasan. 

Ketiga, RPP juga dianggap sangat terlambat. Parid merujuk UU Nomor  32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah disahkan pada 2009, atau berjarak 14 tahun. 

Keempat, RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove disebutkan memiliki kelemahan yang serius dalam hal pemberian sanksi terhadap pelaku perusakan mangrove. Kata Parid, RPP ini seharusnya menggunakan sanksi pidana jika merujuk kepada UU Nomor 32 Tahun 2009. Namun sayangnya, malah menggunakan sanksi administratif yang sangat ringan dan menguntungkan para perusak mangrove. 

"Dari sini, RPP ini sangat terlihat tidak merujuk kepada UU 32 Tahun 2009, tetapi kepada UU Cipta Kerja yang melihat sanksi pidana sebagai hambatan investasi," tutur Parid. 

Kelima, RPP yang ada tidak menempatkan mangrove dalam konteks mitigasi bencana yang melibatkan masyarakat lokal. Padahal mereka yang memiliki pengetahuan dan pengalaman lapangan karena bersentuhan setiap hari dengan ekosistem mangrove. 

Keenam, kecurigaan bahwa pada tahun-tahun politik elektoral seperti saat ini, RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove disusun tidak benar-benar untuk melindungi keberadaan mangrove dan masyarakat pesisir. "Sebaliknya, RPP ini memperlihatkan pemerintah Indonesia ingin melakukan kampanye ke dunia internasional, dengan tujuan untuk mendapatkan pendanaan iklim."

Pernyataan KLHK

Sebelumnya, KLHK belum bisa memastikan rencana pengesahan RPP Mangrove ini. Direktur Rehabilitasi Perairan Darat dan Mangrove Inge Retnowati hanya menjelaskan, tahapan penyusunan rancangan peraturan pemerintah itu sudah berjalan. 

KLHK, kata Inge, juga telah melakukan pemetaan kawasan potensial mangrove. Peta mangrove antara lain memuat informasi soal habitat-habitat yang dulu merupakan mangrove yang bagus, namun sekarang berubah menjadi tambak atau terkena abrasi. 

"Tapi untuk memastikan itu area yang rusak, ada proses pendataan," katanya sambil menambahkan, "Itu yang bakal kita tuangkan dalam regulasi."

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus