Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUMIDI duduk mencangkung tak jauh dari kubangan air keruh bergaris tengah 20 meter. Tatapan mata pria berusia 29 tahun itu meniti mesin pengisap air yang sedang bekerja dari lubang berkedalaman 10 meter tadi. "Jika pada kolong itu mata airnya besar, maka sulit sekali menambang. Kita harus mengisap air untuk dibuang terlebih dulu," kata pria asal Caruban, Madiun, Jawa Timur, itu.
Tak jauh dari Sumidi, pemuda lain memasukkan pipa paralon 4 inci menyedot pasir ke arah sakanistilah penyaringan dari lubang tambang yang terbuat dari kayu dan dibuat berundak-undak. Pasir yang masuk pada sakan kemudian disemprotkan sehingga timah-timah, karena beratnya, akan menempel dan tertinggal di sakan.
Inilah kegiatan tambang timah rakyat atau yang kerap disebut Tambang Inkonvensional (TI) di Desa Sinar Baru, Kecamatan Sungai Liat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka-Belitung, saat disambangi Tempo, dua pekan lalu. Pekerjaan ini ia lakoni sejak 1997. Mulanya dia hanya tukang batu di kampung. Lantaran melihat pamannya sukses hanya beberapa bulan saja, ia tertarik menjadi penambang.
Bertahun-tahun bergelut di bidang ini, Sumidi sudah lebih 50 kali berganti bossebutan bagi pemilik tambang. Mulai dari Bangka Barat, Tengah, sampai Selatan sudah dia rambah. Meski harus berkubang lumpur, upah lumayan membuat pria ini bertahan. Saat ini Samidi menerima upah Rp 8.000 untuk sekilo pasir timah yang dia hasilkan.
Pernah Sumidi menghasilkan pasir timah 1,5 ton sehari. Jika dikalikan dengan Rp 8.000, itulah jumlah penghasilan pria berkumis dengan tato di jari-jari tangannya itu. Hasilnya, di kampungnya sana, Sumidi sudah memiliki sawah dan rumah tempat anak dan istrinya tinggal. "Sampai kenal saya dengan pegawai banknya," kata bapak satu anak ini sambil terkekeh.
Sejak penambangan timah dibuka untuk siapa saja yang sanggup mengurus izin dan memenuhi ketentuan dari pemerintah, Bangka menjadi hiruk-pikuk. Ratusan bahkan ribuan penambang, seperti halnya Sumidi, datang menjajal peruntungan. Maklum, harga pasir timah di tangan pengepul berkisar pada angka Rp 27 ribu hingga Rp 35 ribu. Bila cekatan dan daerah kolong masih mengandung kadar timah tinggi, dalam empat jam penambang bisa mengumpulkan tak kurang dari dua kilogram pasir timah.
Soal rezeki inilah yang membuat penambangan timah di Bangka tak pernah surut. Abdul, misalnya. Pria berusia 35 tahun ini memilih meninggalkan profesinya sebagai kontraktor untuk menjadi penambang. Karena ada lahan, dan izin tidak begitu sulit, akhirnya dia membuka TI. Menurut Abdul, dengan modal sekitar Rp 30 juta sudah bisa membuka tambang berukuran lumayan. Modal tersebut digunakan untuk peralatan seperti mesin pengisap, 15 meter pipa berdiameter 4 inci, pembuatan sakan, dan biaya operasional sebelum menghasilkan.
Masalah perizinan bisa saja disiasati dengan membeli kawasan pertambangan (KP) milik pemerintah daerah setempat, PT Timah atau PT Koba Tin. "Yang mengurus umumnya anak perusahaan masing-masing instansi itu. Biasanya Pemda akan mengeluarkan izin kalau kita memberikan biaya reklamasi terlebih dahulu," kata Abdul.
Dalam satu bulan, Abdul bisa mendapat penghasilan bersih Rp 6 juta, karena harga pasir timah di pasar dalam kisaran Rp 29 ribu. Abdul mengaku menjual kepada kolektor yang mendatangi tambangnya. PT Timah hanya membeli hasil tambang rakyat dalam skala partai besar.
"Tambang saya hanya 500 kilogram per minggu: mana mau mereka ambil? Tentu kolektor yang menjual ke mereka (PT Timah)," katanya. Menurut Abdul, hadirnya TI menguntungkan PT Timah dan perusahaan besar lainnya, karena perusahaan tidak mengeluarkan biaya operasional. Mereka hanya menerima pasir timah.
Perilaku penambangan timah yang dilakukan masyarakat ini tidak jauh berbeda dengan sistem perladangan berpindah. Jika kolong yang telah digali tak lagi memiliki kandungan timah, para penambang bergeser ke lokasi lain untuk membuat galian baru.
Maka, yang terjadi adalah kolam-kolam raksasa yang disebut kolong. Besarnya kolong yang ditinggalkan bergantung pada kapasitas mesin dan kesanggupan modal penambang. Jika di satu tempat diperkirakan jumlah pasir timahnya cukup besar, para penambang tak segan-segan menurunkan peralatan berat seperti back hoe yang bisa disewa Rp 300 ribu per jam.
Akibat kerukan alat berat tadi bisa membuat kolong atau kubangan yang ditinggalkan mencapai garis tengah puluhan meter dan kedalaman sampai 10 meter. Kondisi seperti ini terjadi hampir di semua kecamatan yang ada di Pulau Bangka. Kerusakan tersebar tampak di Kabupaten Bangka, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Selatan, dan Kabupaten Bangka Barat.
Selain merusak lahan hasil reklamasi, para penambang liar membuka tambang baru di lahan produktif. Kerusakan alam yang agaknya cukup parah tampak seperti yang terjadi di lereng Gunung Mangkol, Kecamatan Simpangkatis. Tahun lalu, diperkirakan efek pertambangan liar itu merusak 5.000 hektare hutan lindung di kawasan tersebut.
Penambangan juga dilakukan di daerah aliran sungai. Di Kecamatan Mentok, Jebus; di Kabupaten Bangka Barat, Kecamatan Merawang; di Kabupaten Bangka Induk; Kabupaten Bangka Tengah; sampai Kabupaten Bangka Selatan yang sudah mengalami pendangkalan lantaran penambangan yang sembrono.
PT Timah, yang memegang hak pertambangan sampai 2025 atas area lebih dari 7.700 kilometer persegi, melalui humas PT Timah Tbk., Abrun Abubakar, mengatakan, penambangan rakyat saat ini tidak bisa lagi dikategorikan sebagai small skill meaning karena sudah menggunakan alat-alat berat. "Lah gimana? Jumlah ribuan dan kadang hilang dan muncul," katanya. Menurut Abrun, kebanyakan penambang TI dilakukan di kawasan dengan kandungan timah sekunder, bukan primer. "Satu atau dua tahun sih habis cadangannya."
Di pulau yang memiliki luas sekitar 11.500 kilometer persegi itu, hampir 13 persen dari sekitar 13 ribu penduduknya bekerja sebagai penambang. Tahun lalu saja, PT Timah mendata sekitar 6.000 penambang yang tersebar di seluruh Bangka-Belitung. "Besok mungkin berkurang dan bertambah, sebab mobilitas mereka sangat tinggi," kata Abrun.
Tudingan penyebab kerusakan juga ditujukan kepada Asosiasi Industri Timah Indonesia (AITI) yang bergerak dalam usaha peleburan timah atau yang disebut smelter. Asumsinya, jika AITI yang beranggotakan 18 smelter tidak ada, maka penambangan tidak akan marak karena tidak ada yang membeli timah mereka. "Smelter kan industri, bukan pertambangan," bantah Apik Ch. Rasjidi, Ketua AITI. "Kami justru menampung suplai berlebih yang tidak bisa dibeli PT Timah atau Koba Tin."
Pemerintah Daerah Bangka-Belitung sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Daerah Pertambangan Nomor 8 Tahun 2003 yang mengatur penambangan agar tidak merusak lingkungan. Tapi Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Bangka-Belitung, Tunggul Pakpahan, mengatakan, penambangan yang sudah menahun ini sangat sulit diberantas. "Kalau itu terjadi 20 tahun lagi, maka Pulau Bangka-Belitung hanya 30 persen lagi," katanya.
Kekhawatiran Tunggul makin memuncak karena penambangan juga dilakukan di laut, yang dikenal dengan sebutan TI Apung. Padahal, PT Timah menetapkan syarat-syarat seperti penambangan harus dilakukan 1 mil dari garis pantai dan harus menggunakan kapal isap untuk melakukan penambangan yang kedalamannya hampir 19 meter. Selain itu, TI Apung tidak melakukan penambangan di daerah wisata. Aturan ini pun kerap dilanggar.
Aturan tinggal aturan. Kesannya, mereka semua memang tak ingin menuntaskan masalah ini dengan kesungguhan hati. Soalnya, aroma keuntungan yang ditawarkan pasir timah agaknya menggoda siapa saja yang mengupas kulit bumi Serumpun Sebalai, meninggalkan kolong-kolong terbengkalai.
Raju Febrian, Arif Ardiansyah (Bangka)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo