Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat melaporkan adanya seekor harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di bak penampung di Desa Kajai Selatan, Kecamatan Talamau, Pasaman Barat, akhir pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pejabat BKSDA Sumbar Dian Indriati menyebut informasi itu didapat dari tim Wildlife Rescue Unit (WRU) Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I pada Sabtu, 23 Maret 2024 sekitar pukul 07.00 WIB setelah menerima laporan dari Sekretaris Camat Talamau melalui telepon sekitar pukul 05.13 WIB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Dian, setelah dikonfirmasi kembali, satwa itu diketahui sudah keluar dari saluran air namun masih berkeliaran di sekitar pemukiman warga. "Saat ini tim WRU SKW I dari Padang dan dari Lubuk Sikaping Kabupaten Pasaman telah meluncur ke lokasi untuk melakukan penanganan," katanya.
Humas Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro PT Optima Tirta Energy (OTE) di Nagari Kajai, Talamau Dramendra membenarkan ada seekor harimau Sumatera terjebak di bak penampung di area bendungan pembangkit listrik, Sabtu, sekitar pukul 05.13 WIB. "Harimau itu terpantau di Closed Circuit Television (CCTV) perusahaan terjebak di bendungan," katanya.
Dramendra mengatakan, harimau itu tak diketahui dari arah mana asalnya. Tetapi tiba-tiba sudah ada di bendungan. "Setelah sekian lama terjebak di bendungan harimau itupun lolos dari bendungan itu dan pergi entah kemana. Kita khawatir harimau itu pergi ke pemukiman warga," katanya.
Faktor masuknya Harimau Sumatera menyusup ke kampung
Harimau Sumatera sering kali masuk ke kampung-kampung, menciptakan potensi konflik antara manusia dan satwa liar. Faktor penyebab masuknya harimau ke pemukiman manusia mungkin dapat beragam.
Ekolog satwa liar Sunarto menjelaskan kepada Antara di Jakarta, Jumat, 15 Maret 2024, konflik harimau dengan manusia terjadi akibat beberapa faktor termasuk kondisi individu harimau itu sendiri serta habitatnya yang lebih dekat dengan wilayah aktivitas masyarakat.
Sunarto menjelaskan terdapat tiga faktor atau sumber penyebab konflik terjadi termasuk kondisi dari individu harimau itu sendiri.
"Individu tertentu memiliki kecenderungan terlibat dalam konflik, misalnya individu yang sakit dan mengalami kesulitan untuk berburu satwa mangsanya seperti biasa. Individu jantan muda yang sedang mencari wilayah teritori baru juga umumnya lebih cenderung terlibat konflik dengan manusia atau hewan ternak/peliharaannya," jelasnya.
Selain itu, terdapat faktor kondisi habitat dari individu harimau tersebut. Di mana habitat yang banyak bersinggungan dengan pemukiman atau lahan aktivitas manusia seperti kebun akan memiliki risiko lebih besar terjadinya konflik dibandingkan yang minim bersinggungan dengan manusia.
Faktor terakhir adalah manusianya. Banyak potensi konflik yang sebenarnya dapat dicegah jika manusianya memiliki pemahaman tentang keberadaan dan sifat-sifat atau pola perilaku harimau.
"Berbagai penyesuaian waktu, lokasi dan bentuk aktivitas dapat dilakukan untuk menghindari dan mencegah terjadinya konflik," kata Sunarto, yang berpengalaman sebagai rekanan riset (research associate) di Research Center for Biodiversity, Institute for Sustainable Earth and Resources (ISER) Universitas Indonesia.
Penanganan Harimau Sumatera masuk kampung
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan beberapa langkah untuk merespons laporan masyarakat terkait kehadiran Harimau Sumatera di sekitar pemukiman.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik Nunu Anugrah mengatakan, untuk menjamin bahwa operasional penanganan konflik manusia dan satwa liar berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi satwa liar, pemerintah telah menerbitkan Permenhut No.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar.
"Peraturan tersebut mengatur cara menanggulangi maupun bertindak dalam konflik secara integratif yang melibatkan berbagai sektor," kata Nunu, Kamis, 29 Februari 2024.
Nunu menyebutkan konflik manusia dengan harimau kerap terjadi pada lokasi atau lahan aktifitas masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan sebagai habitat harimau Sumatera. Menurut dia, kejadian-kejadian konflik tidak dapat ditangani dengan metode yang sama setiap kali terjadi, dan tidak ada solusi tunggal. Tata cara penanganan konflik disesuaikan dengan situasi konflik yang terjadi.
"Terjadinya konflik manusia dan harimau ini mengakibatkan kerugian bagi manusia dan harimau itu sendiri, baik kerugian sosial, ekologi, dan ekonomi," ucapnya.
Untuk meminimalisir konflik terulang di daerah rawan, Nunu menyebutkan KLHK telah membentuk Satgas penanggulangan konflik terpadu dengan pemerintah daerah dan masyarakat. Selain itu mereka telah meningkatkan patroli di titik rawan konflik. KLHK juga menyediakan ruang lindung bagi satwa liar pada kawasan hutan produksi sebagaimana Instruksi Menteri nomor 1 tahun 2022 tentang perlindungan satwa liar dari perburuan dan penjeratan.
Selain itu, kata Nunu telah dilakukan pengintegrasian peta habitat atau perjumpaan satwa liar ke dalam proses persetujuan lingkungan, sehingga apabila lokasi yang dimohon adalah habitat satwa liar dilindungi maka kawasan tersebut dijadikan kawasan lindung dan upaya perlindungan satwa liar dipastikan masuk ke dalam dokumen persetujuan lingkungan seperti KLHS, AMDAL, UKL-UPL dan RTRW.
"Regulasi yang ada sudah memadai, tinggal implementasi dan kepatuhan seluruh elemen bangsa terhadap peraturan perundangan," ungkapnya.
KAKAK INDRA PURNAMA | IRSYAN HASYIM | ANTARANEWS
Pilihan editor: Harimau Terlihat di Pasaman Bbarat, BKSDA Sumatera Barat Turunkan Tim