"TAK akan terulang derita Minamata," tulis leaflet Jepang berbahasa Inggris yang dlsebarkan hingga ke Indonesia. Dan yang sampai Jakarta tak cuma selebaran itu. Tampaknya kekhawatiran akan penccmaran air raksa yang kini diduga terjadi di teluk Jakarta telah membuat Sekretariat Kerja Sama Relawan Penanggulangan Pencemaran (SKREPP) mengundang para ahli dan penderita penyakit itu dari Jepang, minggu lalu. Serangkaian kegiatan - diskusi, seminar, dan kunjungan lapangan - menyuarakan kecemasan itu. Seminar berbicara tentang pencemaran air dan semua persoalan air dalam rangka industrialisasi. Sedangkan Prof. Tetzu Suzuki, beserta rombongan, dan Tsuginori Hamamoto, salah seorang penderita (lihat: Cacat lewat Shashimi), berusaha menggambarkan betapa mengerikan bila penderitaan yang dialami penduduk kawaan Teluk Minamata itu harus terjadi lagi. Di sini memang belum pernah ada cerita kucing yang jungkir balik tanpa kendali gara-gara makan ikan yang tercemar, seperti di Jepang. Dan Masazumi Harada, ahli kasus Minamata dari Universitas Kumamoto, juga memastikan bahwa Teluk Jakarta belum segawat yang diduga banyak orang. Namun, penelitian yang dilakukan Lembaga Oseanografi Nasional LIPI di Muara Angke 1980 menunjukkan, kadar air raksa di sana 0,007 ppm dan malah meningkat menjadi 0,027 ppm pada penelitian terakhir, 1983 - nilai ambang batas 0,005 ppm. Kecemasan terhadap hasil penelitian itu semakin besar ketika Dr. Meizar Syafei menemukan bebetapa kasus di permukiman Teluk Jakarta yang diidentifikasikan sebagai korban pencemaraan air raksa itu. (TEMPO, 3 Agustus 1985). Bagaimanapun, Teluk Jakarta akan tetap merupakan pusat perhatian dalam hal pencemaran air raksa atau logam berat lainnya. Setidaknya karena 17 sungai yang menampung limbah berbagai industri bermuara di Jakarta dan menumpahkan seluruh kandungannya. Menurut Djoko Brotosurjono, kepala Biro Pengembangan Sarana Ekonomi Daerah DKI Jakarta, kota ini menampung 308 industri PMA, 592 industri PMDN, dan 36.372 industri lainnya. Pencemaran sungai diakuinya ada: makin ke hilir cenderung makin tercemar berat. Tapi ada penelitian lain yang juga dipegangnya, untuk menampik pendapat seolah berderetnya industri di Jakarta saja yang bertanggung jawab pada pencemaran itu. "Pencemaran industri air sungai di Jakarta sudah dimulai lebih ke hulu," ucapnya. Penetapan kawasan industri, Pulogadung, Pluit, dan Rawabuaya, juga untuk mengendalikan pencemaran apa pun bentuknya, termasuk karena logam berat. Tapi memang ada penetapan kawasan yang salah, misalnya di Pasar Rebo yang arealnya terlalu sempit. "Sebenarnya itu merupakan taktik pemerintah daerah waktu itu (1969) untuk menarik investor asing," katanya. Ketika kebutuhan akan investasi mendesak, sedangkan daerah yang di rencanakan belum siap olah, maka ditunjuk saja Pasar Rebo untuk kawasan industri sebagai jalan pintas. Di lokasi yang salah itu ternyata berdiri industri yang berlimbahkan logam berat, seperti pabrik baterai, yang juga menggunakan bahan baku air raksa. Misalnya pabrik baterai National Gobel, yang berada di KM 29 Jalan Raya Bogor-Jakarta. Dengan kapasitas produksi 500 ribu baterai per hari dengan menggunakan rata-rata 4 mg air raksa setiap baterai, pabrik itu memerlukan 2 kg air raksa setiap hari. Pabrik baterai itu memang dilengkapi dengan fasilitas untuk membuang limbah. Namun, pencemaran bukan tak mungkin terjadi. Karena itu, untuk pengendalian, Prof. Suzuki menyarankan pembuatan tanur tempat pembuangan limbah, seperti yang dimiliki Chisso Corp., itu pabrik yang telah mencemarkan Teluk Minamata. Bila tidak, industri harus menggunakan sistem daur ulang atau petrochemical system. Limbah buangan dipakai lagi setelah diuraikan oleh analis. Dan, yang terpenting, masyarakat harus diberi tahu bahaya apa yang harus ditanggungnya bila bermukim di sekitar lokasi pabrik. Adalah Dr. Meizar Syafei yang paling yakin bahwa Teluk Jakarta telah tercemar berat karena industri. Hampir tak ada industri yang mempunyai pembuangan limbah yang aman, menurut Meizar. Sementara itu, 13 anak dicatatnya meninggal selama ini karena pencemaran. "Mungkin keracunan merkuri, mungkin juga bahan kimia lainnya." Zaim Uchrowi Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini