"SAYA Tsuginori Hamamoto, seorang penderita penyakit Minamata. Saya sangat senang bertemu Anda sekalian dari seluruh penjuru dunia." Begitu ia memperkenalkan diri di Jakarta, pekan lalu setelah berkelana ke berbagai negara untuk menunjukkan penderitaannya. Hamamoto, 49, adalah nelayan yang lahir di Minamata, sebuah kota sebelah barat daya Tokyo. "Kami memang keluarga nelayan," tuturnya, dan menggantungkan nafkah pada Teluk Minamata yang tenang dan hampir terkepung rapat oleh pulau-pulau sekitarnya. Sebagai orang Jepang, dan karena penghidupannya, keluarga itu menyantap ikan lebih dari kelaziman orang Jepang yang rata-rata 200 gram sehari setiap orang. "Sehari-hari kami makan ikan yang diolah dan disebut shashimi." Yakni ikan mentah yang dicelup garam ditambah bumbu-bumbu. Ternyata, musibah kemudian datang beruntun pada keluarga nelayan itu. Ayahnya meninggal pada tahun 1951, setelah mengalami penderitaan yang mengenaskan. Berhari-hari ayahnya terserang semacam penyakit saraf, hingga gila. "Dia diikat kuat-kuat di atas ranjang (semacam dipasung jika di Indonesia) karena, di samping gila, dia bergerak terus. Pada waktu itu orang-orang khawatir bahwa bila tidak diikat, dia akan jatuh dari tempat tidur dan berakibat fatal," ujarnya, dengan mata kian sipit. Sang ibu tak banyak berbeda nasibnya, dan harus menjalani pemasungan pula. "Seluruh tubuhnya terus bergerak, tak pernah diam barang sekejap pun." Ibunya meninggal tahun 1961. Hamamoto terus saja melaut, menangkap ikan, memakan shashimi bersama istrinya, Harue, yang dinikahinya ketika Hamamoto baru berusia 17 tahun. Ketika berumur 17, Hamamoto pun mulai merasa sakit. Mula-mula tangan merasa kebal, dan makin parah sehingga ia tak merasakan lagi sesuatu yang dipegangnya. Selang beberapa lama tremor menyerangnya - ia menjadi gemetar - lebih-lebih bila sedang memegang sesuatu. "Sampai-sampai air minum dalam gelas pun tumpah-tumpah, bila ia minum," tutur Masaomi Ishii, guru SMA Minamata yang khusus memperdalam studi tentang musibah Minamata. Setelah itu, baru penyakit akibat pencemaran itu mengheboh. Hamamoto baru tahu bahwa ia korban air raksa limbah pabrik Chisso Corp., yang dimakan-nya sedikit demi sedikit lewat ikan hasil tangkapannya. Dan ia juga baru sadar bahwa, mungkin, kedua orangtuanya pun tersiksa karena pencemaran itu. Dr. Meizar Syafei, seorang yang sangat bersemangat mempelajari kasus serupa di Indonesia, menduga bahwa Hamamoto keracunan air raksa atau merkuri sejak masih janin. Methyl Mercury, menurut Meizar dapat menembus janin ketika masih dalam kandungan. "Memang tidak semua bakteri dan unsur dapat menembus janin, namun untuk merkuri lain lagi," ucapnya. Tak dapat dipastikan apakah memang benar Hamamoto keracunan sebegitu dini. Chisso Corp. memang memproduksi Acetaldehyde yang menghasilkan limbah yang berbahaya itu empat tahun sebelum Hamamoto lahir. Bila Meizar benar, tentu pertumbuhan Hamamoto selagi kecil akan terhambat dan mungkin mengalami gangguan lain, seperti gangguan bicara dan juling. Tapi nyatanya kelainan itu baru terasakan setelah Hamamoto dewasa. Hamamoto tentu tak sendiri. Setidaknya masih 2.062 penderita di sekitar perairan Minamata, yang 672 di antaranya meninggal. Ia kini tak lagi dapat bekerja, dan hidup dari santunan - sebagai penderita kelompok terberat - sekitar Rp 240 ribu sebulan. Masih makan ikan ? "Ya, tapi tidak dari Minamata."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini