TAK aneh bila banyak pemerhati lingkungan mengkhawatirkan nasib si orangutan. Bila hutan habitatnya di Sumatra dan Kalimantan terus dibabat, tak pelak lagi, tinggal soal waktu saja hingga binatang yang perkembangbiakannya begitu lambat ini habis. Memang, beberapa kebun binatang punya koleksinya, tapi mereka sulit beranak pinak di balik kerangkeng. Juga ada proyek peliaran kembali orangutan-orangutan sitaan dari masyarakat di Kalimantan Timur. Tapi, seperti halnya hutan-hutan di Kalimantan, wilayah itu tak luput dari kebakaran hutan yang menyusutkan populasinya.
Kondisi ini membuat World Wide Fund for Nature (WWF), Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, dan Center for Environmental Research and Conservation (CERC) perlu menyusun buku Rencana Aksi Orangutan. Tujuannya, kata Agus Purnomo, Direktur Eksekutif WWF, untuk membuat peta terbaru habitat orangutan. Sebab, setelah kebakaran hutan pada 1997 lalu, habitat orangutan banyak yang terbakar, hingga binatang itu lari ke kampung dan dibunuh oleh masyarakat setempat. ''Nah, dengan mengetahui parahnya kerusakan hutan, kami bisa memberikan rekomendasi tentang penyelamatan orangutan," kata Agus. WWF, yang punya dana US$ 1,6 juta per tahun untuk berbagai proyek konservasi orangutan di Sumatra dan Kalimantan, memang berkepentingan terhadap peta habitat tersebut.
Menurut buku itu, orangutan, yang jumlahnya pada 1996 tinggal 12.000-an itu, dikenal sebagai jenis binatang besar yang biasa hidup di daerah berawa dan sangat suka dengan jenis buah-buahan yang berdaging manis. Tapi, hewan itu juga bisa makan serangga, daun, bunga, biji-bijian, getah tumbuhan, dan kulit kayu. Upaya mempertahankan tersedianya makanan orangutan ini penting karena sebagian besar penyebab kepunahan adalah hilangnya habitat. Memang, dalam keadaan terpaksa, 40 persen dari orangutan memakan kulit kayu. Tapi, itu juga bisa mengakibatkan matinya pohon-pohon yang kulit kayunya sudah disantap orangutan.
Selain hilangnya habitat, perburuan?terutama untuk yang betina?dan penyakit juga dimasukkan sebagai sebab-sebab kepunahan. Masih ada bencana lainnya, yaitu kebakaran hutan. Sekitar 40 persen dari total titik kebakaran hutan di Kalimantan pada 1997-1998 merupakan habitat orangutan, hingga kemungkinan besar orangutan banyak yang mati terbakar. Selain itu, kemarau panjang juga menyebabkan penurunan populasi orangutan. Menurut buku tersebut, siklus kemarau panjang yang terjadi tiga atau lima tahun sekali itulah yang perlu diwaspadai.
Lalu, apa rekomendasinya? Yang paling sederhana tapi juga paling sulit, yaitu manusia, harus mengalah untuk tidak mengambil sumber makanan orangutan dari taman nasional dan suaka alam. Agar lebih aman dari jarahan nakal tangan manusia, dikembangkan daerah penyangga di luar taman nasional dan suaka alam. Sedangkan bila alokasi uang terbatas, tim menyarankan untuk melakukan konservasi populasi orangutan yang masih liar.
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini