Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Pelaku Dibiarkan, Pelapor Diuber

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah kondisi krisis ekonomi yang belum pulih, kejadian aneh di negeri kita terus bermunculan, sambung-menyambung. Ketika seorang pengamat asing, Jeffrey Winters, berbicara soal dugaan adanya KKN di Freeprot, Irianjaya, malah ia yang dipanggil Kejaksaan Agung. Sedangkan pejabat yang "diduga" terkait dengan masalah tersebut justru sama sekali tidak diperiksa. Sebelum Jeffrey, yang dikejar-kejar adalah George J. Aditjondro.

Kasus yang hampir mirip terjadi ketika Amien Rais berteriak "maling" dalam buku putih CBC (Center for Banking Crisis), kemudian secara amat tangkas dan kilat justru Prof. Dr. Amien Rais yang dipanggil oleh Kejaksaan Agung dengan dalih untuk dimintai keterangan, klarifikasi data, penyerahan bukti, dan seterusnya. Sementara itu, "maling" dan penjahatnya (para bankir dan pejabat yang diduga keras berkolusi) malah dibiarkan bebas, padahal mereka telah menggondol miliaran rupiah uang rakyat.

Padahal, kejahatan pada sektor perbankan di negeri kita sangat jelas serta dampaknya telah menyebabkan krisis moneter yang paling parah di dunia dan menyebabkan Indonesia terpuruk ke jurang.

Bentuk pelanggarannya juga konkret: pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Melanggar BMPK sama dengan menyalurkan dan/atau menerima kredit ilegal (alias tindak kriminal), tapi para pelakunya aman-aman saja. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelanggaran BMPK dilakukan dengan trik patgulipat, yang artinya penerima kredit adalah sang bankir itu sendiri dengan menggunakan badan usaha dalam satu grup perusahaannya.

Selama ini, segala sesuatu yang menyangkut perbankan hampir selalu diberlakukan sebagai rahasia bank, baik pelanggaran BMPK maupun kredit macet, termasuk program kredit murah untuk kepentingan banyak orang. Masyarakat yang berkepentingan sering terkecoh karena sangat minimnya informasi yang bisa mereka dapatkan, misalnya info tentang KLBI untuk 17 skema kredit, bank mana saja yang menyalurkan, dan skema kredit apa saja yang disediakan. Akibatnya, belakangan ini marak demo petani anggota koperasi dan lembaga swadaya masyarakat ke BRI Jombang, BRI Nganjuk, dan terakhir ke BRI Jember, 27 Mei lalu—semuanya di Jawa Timur. Kredit usaha tani (KUT) belum cair, tapi mereka kekurangan informasi atau jawaban yang bisa meredam unjuk rasa.

Program kredit murah untuk pengusaha kecil-menengah semestinya sering diumumkan di media massa secara periodik, sehingga rakyat terkait memperoleh info sebanyak dan sesering mungkin, agar tidak terjadi salah paham terus-menerus.

Pelanggaran BMPK dan kredit macet yang jumlahnya besar pun seharusnya sedini mungkin diumumkan agar tidak menjadi preseden buruk. Untuk apa kondisi buruk atau bangkai busuk disimpan berlama-lama sebagai rahasia bank? Toh, akhirnya mencuat juga, kemudian menghantam balik sebagai bumerang. Dan lebih jauh dari itu, siapa lagi yang terpaksa harus menanggung akibatnya kalau bukan bangsa Indonesia secara keseluruhan, yang kini menderita kemerosotan ekonomi terburuk di seantero jagat dan terbebani utang negara dan swasta nasional berjumlah banyak?

Belum lagi penyalahgunaan BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) yang terlambat ditangani—istilah baru yang menjadi heboh karena sebelumnya disebut sebagai KLBI (kredit likuiditas Bank Indonesia). Dua bentuk likuiditas tersebut pada akhirnya memang akan ditagih dari si penerima, tapi dampak buruknya keburu mendera mayoritas bangsa. Bank sentral terlalu besar mengucurkan dana ini, yang membuat perekonomian makro yang tengah terlanda krisis kian runyam. Pemulihan ekonomi ini hampir dikorbankan karena kepentingan pelaku elite ekonomi (buktinya, bunga lambat turunnya, bunga kredit masih tinggi).

Lalu, apa tugas Kejaksaan Agung? Jangankan rakyat kecil atau orang awam, kalangan cendekiawan dan kaum terpelajar pun akan takut melapor karena sikap Kejaksaan Agung. Cara main panggil sang pelapor adalah tradisi buruk yang tidak memecahkan masalah, dapat digolongkan sebagai overreacting, dan—ini yang paling buruk—tidak memberikan pendidikan kepada masyarakat dan generasi muda penerus bangsa. Justru Jaksa Agung harus berterima kasih dan menghargai sang pelapor karena tanpa digaji negara—uang rakyat—mereka berbuat kebaikan untuk kepentingan bangsa.

SUNARTO SUKMA ALAMA
Jalan Karah Agung 28
Surabaya 60232

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum