JANGAN heran kalau kelak cucu Anda hanya mengenal orangutan dari gambar saja. Binatang primata yang hanya hidup di Pulau Sumatra dan Kalimantan ini kelangsungan hidupnya di alam bebas begitu terancam. Lihat saja jumlahnya di kawasan ekosistem Leuser di utara Sumatra, yang populasi orangutannya lebih banyak daripada di Kalimantan. Menurut penelitian Unit Manajemen Leuser?pengelola Leuser yang dilakukan bersama antara Uni Eropa dan pemerintah Indonesia?April lalu, jumlah kematian binatang langka itu begitu besar. Hanya dalam jangka lima tahun, sekitar 2.700 orangutan mati, dan kini cuma tersisa 2.500-an ekor saja.
Perkiraan jumlah orangutan itu diambil dari hasil penelitian di tiga daerah rawa Leuser, yaitu Tripa, Kluetbakongan, dan Trumonsingkil, area yang paling banyak populasi orangutannya. Ternyata, kawasan hutan di tiga daerah itu telah menyempit 49 persen, dari 1.800 kilometer persegi menjadi hanya 890 kilometer persegi. Dengan habitat yang begitu menciut, tak mengherankan bila jumlah orangutan merosot drastis. Di Singkil, misalnya, dari perkiraan populasi orangutan sebanyak 3.300 ekor, yang ditemui hanya 1.600 saja. ''Dibutuhkan minimal 100 tahun untuk memperbaiki kerusakan habitat tersebut," kata Mike Griffiths, Direktur Unit Manajemen Leuser (UML).
Buruknya habitat binatang yang dianggap paling dekat dengan manusia itu sudah diketahui oleh Barita Manulang dari Yayasan Hidupan Liar Indonesia, yang sejak akhir 1970-an?dan diulangi lagi pada 1987-1988 dan 1990-1992?melakukan penelitian di Leuser. ''Hidup orangutan terkotak-kotak dari populasi menjadi subpopulasi," katanya. Pengotakan tersebut melemahkan kemampuan berkembang biak hewan tersebut. Soalnya, dalam pecahan populasi itu, jumlah jantan dan betina tidak imbang sehingga anak yang dihasilkan juga lebih sedikit. Padahal, orangutan betina sepanjang hidupnya (sekitar 30-40 tahun) hanya mampu beranak dua hingga tiga kali. Itu pun minimal baru dalam jangka lima tahun si betina bisa beranak lagi.
Kondisi yang makin buruk itu sebenarnya tidak dibiarkan saja oleh pemerintah. Sejak 1970-an, sudah ada upaya-upaya untuk tetap menjaga kelestarian hidup orangutan Leuser. Proyek Gunung Leuser yang dibuat pada 1995, misalnya, punya tujuan untuk membantu konservasi hutan raya di Taman Nasional Leuser. Hutan di perbatasan Aceh dan Sumatra Utara itu memang begitu kaya dengan pelbagai flora dan fauna. Diperkirakan ada lebih dari 4.000 jenis tumbuhan, 350 jenis burung, dan mamalia langka seperti harimau, gajah, badak Sumatra, termasuk orangutan, hidup di sana. Proyek yang didanai Uni Eropa sebesar US$ 40 juta itu juga bertujuan membangun kawasan penyangga (buffer zone) di sekitar Gunung Leuser.
Status proyek itu kemudian ditingkatkan pada 1998. Leuser ditetapkan menjadi kawasan ekosistem Leuser, dengan luas 1,79 juta hektare, yaitu sebagai daerah pelestarian dan pemulihan sumber daya hayati yang dikelola UML. Dana yang dikucurkan untuk proyek besar ini pada tahun anggaran 1998-1999 mencapai Rp 20 miliar dan hampir seluruhnya berasal dari Uni Eropa.
Nyatanya, dana besar tanpa diikuti oleh berbagai tindakan hukum lainnya hanyalah sia-sia. Ini terlihat dari tidak suksesnya upaya pelestarian orangutan. Biang keladinya adalah penambangan kayu oleh pengusaha pemilik hak pengusahaan hutan (HPH). Dalam kawasan itu beroperasi 12 HPH, yang empat di antaranya melanggar batas maksimum penebangan seluas 100 ribu hektare. Alhasil, kawasan hutan Leuser hanya tersisa 300 ribu hektare saja. Padahal, dibandingkan dengan hutan-hutan di wilayah Sumatra lainnya, Leuser itulah kawasan yang hutannya relatif masih utuh. ''Dalam 50 tahun terakhir, tinggal kawasan ini saja yang agak utuh. Ini data satelit," kata M. Ali Basyah Amin, Wakil Direktur UML.
Para pengusaha HPH ini?seperti banyak pengusaha HPH lainnya?menebang pohon seenaknya. Michelle Y. Merill, mahasiswa pascasarjana Jurusan Antropologi Duke University, yang melakukan penelitian di Suaqbalimbing, Leuser, bisa merasakan betapa stresnya orangutan dalam kawasan itu. Hanya 25 meter dari stasiun Suaq, suara gemuruhnya pohon ditebang terdengar tiga hingga empat menit sekali, dan itu disambut dengan teriakan panjang orangutan jantan dewasa. Menurutnya, dalam dua bulan saja (Maret-April 1999), seperempat dari total kawasan penelitian (14.400 hektare) habis ditebang, termasuk pohon-pohon berdiameter di atas 20 sentimeter yang biasa digunakan sebagai tempat main orangutan.
Menurut Ali, pihak UML sudah berkali-kali melayangkan surat ke berbagai instansi, plus melakukan operasi pengamanan, tapi hasilnya nihil. Dari 22 operasi pengamanan, hanya tiga kasus yang sampai ke pengadilan. Malahan, para peneliti dan aktivis penyelamat orangutan hutan Leuser sering dihadang dan diancam oleh pekerja HPH. ''Kalau kalian ikut campur dengan pekerjaan kami, chainsaw akan menempel di leher," kata Ali, menceritakan pengalaman seorang peneliti.
Jalan keluarnya? UML menyarankan agar 88 persen area HPH di kawasan Leuser dibatalkan, terutama area yang dibutuhkan untuk hidup orangutan, seperti sumber mata air. Sebuah permintaan yang sulit dipenuhi karena pemerintah jelas lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi daripada hidup binatang berbulu ini.
Bina Bektiati, Bambang Soedjiartono (Medan), Zainal Bakri (Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini