Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Petaka Bermula dari Hulu

Pembukaan lahan hutan di Kabupaten Garut masih terjadi hingga dua pekan setelah banjir bandang. Siapa bertanggung jawab?

17 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Herdiana Taufik meraba getah yang menetes dari sisa pohon endemis di sub-daerah aliran Sungai Cimanuk. Ia menyaksikan lebih dari belasan pohon belum lama digergaji. Serpihan kayunya pun masih tersebar di sekeliling pohon-pohon tersebut.

Pagi itu, ia dan tim dari Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia Garut sedang melakukan survei untuk acara Pagar Bumi. Acara itu adalah program penanaman kembali jalur hijau antara hutan lindung dan kawasan cagar alam. ”Kami cukup sering melihat sisa pohon yang baru saja ditebang menggunakan gergaji mesin,” katanya Rabu pekan lalu.

Baru selesai survei dilakukan, dua pekan kemudian banjir bandang menerjang Kabupaten Garut, Jawa Barat, pada 20 September 2016. Air bah setinggi 1,5-2 meter menerjang apa pun yang dilewati, termasuk rumah di bantaran sungai. Banjir yang menewaskan 34 orang dan membuat 19 lainnya hilang itu diduga akibat kerusakan lingkungan. Salah satunya alih fungsi lahan hutan di kawasan hulu.

Mia Kurniawan, yang menjadi Koordinator Wilayah Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia Garut, ikut menjadi saksi. Saat turun gunung sepekan lalu, ia melihat aksi penebangan pohon di wilayah yang sama masih dilakukan. Pohon-pohon itu diganti dengan jejeran tanaman sayuran semusim. Kubis, kentang, tomat, dan tanaman hortikultura lain menjadi penghuni pengganti pohon berkayu keras. Tanaman tersebut berbaris rapi dari kaki bukit hingga ke puncak.

Di Kabupaten Garut, alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian terjadi di banyak tempat dan terus berlangsung hingga kini. Angka tutupan hutan pun terus menurun. Selain alih fungsi lahan hutan, konsesi tambang menjadi salah satu penyebab terbesar hilangnya hutan atau deforestasi. Untuk kasus daerah aliran Sungai Cimanuk, dengan luas lebih dari 350 ribu hektare pada 2013, kini tersisa tutupan hutan sekitar 33 ribu hektare. Area tutupan hutan itu hanya 9,3 persen, jauh dari target pemerintah yang 30 persen.

Beberapa kawasan di Kabupaten Garut yang lahan hutannya beralih fungsi terjadi di kawasan Darajat, Kecamatan Pasirwangi, dan kawasan Cikandang, Kecamatan Cikajang. Kawasan Darajat berada sekitar 20 kilometer arah barat dari pusat Kota Garut, dengan ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut. Sedangkan Cikajang, dengan ketinggian 1.200 meter, berjarak 35 kilometer arah selatan.

Kedua kawasan itu adalah daerah hulu Sungai Cikamiri, yang bermuara ke Sungai Cimanuk. Kerusakan lahan akibat alih fungsi di sekitar hulu sungai mencapai kurang-lebih 500 hektare dan terjadi sejak 2000. ”Pembukaan lahan baru masih terjadi sampai saat ini,” kata Mia.

Kondisi serupa terjadi di kawasan hulu Sungai Cimanuk. Kebun sayuran terlihat mulai di Kecamatan Cisurupan hingga Cikajang. Begitu juga di daerah Cikandang, Kecamatan Cikajang. Hamparan tanaman sayur terlihat di sepanjang pinggir jalan raya. Luasnya lebih dari 1.500 hektare.

Alih fungsi di sekitar hulu Sungai Cimanuk juga terjadi di Gunung Mandalagiri. Bukit di sekitar kaki gunung berubah menjadi lahan pertanian. Daerah yang berubah fungsi itu antara lain berada di blok Ipukan, Jamuju, Nyampai, Kohir, dan Legokpura. Tanaman sayuran berjejer dari kaki bukit hingga ke puncak. ”Sulit untuk dihitung luasnya karena terlalu banyak hutan yang jadi lahan pertanian,” kata Jajang Lengkana, 41 tahun, Kepala Dusun 3 Desa Cikandang.

Jajang mengatakan sekitar 20 tahun lalu di wilayahnya masih banyak hutan belantara. Perubahan mulai terjadi secara sporadis sejak turunnya bantuan dari pemerintah kepada petani melalui program Kredit Usaha Tani. Bantuan itu membuat banyak petani memiliki modal lebih tapi tak punya lahan untuk digarap. ”Akhirnya mereka membuka lahan di kawasan hutan,” katanya.

Hampir 80 persen warga Cikandang yang berjumlah 6.000 orang adalah petani. Sekitar 80 persen dari mereka bercocok tanam di wilayah hutan. ”Setiap musim kemarau tiba, perambahan hutan terus bertambah,” ucap Jajang.

Kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan hutan ini menjadi perhatian tim dari Institut Teknologi Bandung. Enam dosen, beberapa alumnus, dan 30 mahasiswa Teknik Geodesi ITB melakukan survei lapangan. Fokus mereka di area sepanjang 12 kilometer di bantaran Sungai Cimanuk. ”Daerah ini yang terkena dampak paling parah saat banjir bandang,” kata Heri Andreas, salah satu anggota tim.

Dalam memetakan lokasi bencana, mereka mengandalkan pesawat unmanned aerial vehicle. Ada juga citra satelit yang dipegang tim Gerakan Gandrung Tatangkalan untuk menggambarkan alih fungsi lahan yang kian luas. Heri mengatakan situasi yang sama terjadi di sekitar Gunung Papandayan, yang menjadi hulu Sungai Cimanuk. ”Dari Cisurupan, Bayongbong, banyak hutan jadi lahan pertanian. Begitu juga ke Samarang, Gunung Darajat, dan Gunung Guntur,” katanya.

Wiwin Windupranata, ahli hidrografi dari ITB, mengatakan alih fungsi lahan di sub-daerah aliran sungai dan daerah aliran sungai membuat daerah resapan atau infiltrasi air daerah hulu berkurang. Akibatnya, volume aliran permukaan bertambah dan menyebabkan banjir. Agar banjir tak terulang, daerah resapan harus diperluas kembali di daerah aliran Sungai Cimanuk dan menata daerah bantaran sungai. ”Juga memperbaiki atau membuat sistem mitigasi bencana banjir yang baik,” ujarnya.

Meski begitu, tim dari ITB ini tak serta-merta menuding perubahan fungsi lahan sebagai satu-satunya penyebab banjir bandang. Intensitas dan durasi curah hujan, daya tampung sungai, daya serap kawasan dan aliran airnya, sedimentasi sungai, keberadaan bendung Copong, serta permukiman di bantaran sungai juga bisa menjadi penyebab banjir. ”Keterkaitan semua faktor tersebut yang sedang kami kaji dengan hasil berupa pemodelan banjir Sungai Cimanuk,” kata Heri.

Direktur Inventarisasi dan Sumber Daya Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rhuanda A. Sugardiman tak sependapat bahwa apa yang terjadi di Garut sebagai akibat alih fungsi lahan hutan. Menurut Rhuanda, contoh alih fungsi hutan adalah ketika kawasan hutan lindung diubah menjadi hutan produksi. ”Yang terjadi di Garut adalah perubahan tutupan hutan, tutupan hutan primer atau sekunder menjadi pertanian,” katanya.

Rhuanda mengatakan, apabila terjadi perubahan fungsi lahan di hutan lindung, hal itu menjadi tanggung jawab Perum Perhutani. Sedangkan bila terjadi di luar kawasan itu, pemerintah daerahlah yang harus mengawasi dan menindak jika terjadi pelanggaran. ”Pemdanya kurang peduli terhadap tata ruang wilayah. Kegiatan yang terjadi tak sesuai dengan peruntukannya,” kata Rhuanda.

Sekretaris Perum Perhutani John Novarly mengungkapkan selama ini badan usaha milik negara itu sudah mengikuti aturan untuk menjaga hutan lindung, termasuk di Kabupaten Garut. Menurut dia, alih fungsi hutan lindung menjadi lahan perkebunan sayuran bukan program Perhutani. Malah, untuk kasus alih fungsi tutupan hutan, Perum Perhutani telah melapor ke kepolisian.

John menyatakan perusahaannya siap dievaluasi dalam kaitan dengan pengelolaan kawasan hulu Sungai Cimanuk. ”Kami taat kebijakan. Silakan evaluasi. Itu hak negara,” katanya.

TRI ARTINING PUTRI, SIGIT ZULMUNIR (GARUT), ANWAR SISWADI (BANDUNG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus