Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Lima Catatan untuk 2017

17 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adrian Panggabean
Chief Economist Bank CIMB Niaga

Saya ingin menyumbang empat observasi sebelum kita memasuki tahun 2017.

Catatan pertama: rule of 7 percents. Dari kacamata hari ini, Indonesia akan mengakhiri 2016 dengan pertumbuhan ekonomi (GDP) di kisaran 5 persen dan rata-rata inflasi (year-average) 3,5 persen. Kinerja ini cukup baik dibanding terhadap pertumbuhan global atau Asia, terutama karena dilatarbelakangi perekonomian global yang memang sulit.

Tanpa pretensi skeptis, kinerja cukup baik ini sayangnya belum memadai bila disandingkan dengan metrik sosioekonomi. Trajektori demografi Indonesia, misalnya, memberi perspektif bahwa sejak sewindu lalu sampai 2025, setiap tahun akan selalu ada tambahan kurang-lebih tiga orang ke dalam angkatan kerja (yaitu kelompok penduduk usia 15-20) untuk setiap satu orang yang akan keluar dari angkatan kerja (kelompok usia 50-55). Rasio input-output demografi ini, bila dipakai untuk mencari angka pertumbuhan yang dianggap memadai, akan menghasilkan angka ideal kebutuhan pertumbuhan ekonomi tahunan pada angka 7 persen atau lebih.

Yang menarik, ternyata angka 7 persen ini pun sebenarnya kompatibel dengan potential growth-rate Indonesia, yaitu potensi pertumbuhan yang seharusnya bisa dicapai bila semua sumber daya ekonomi/produksi dimanfaatkan secara optimal. Dari sudut pandang pemberantasan kemiskinan, dengan mengacu pada besaran elastisitas pertumbuhan terhadap tingkat kemiskinan (poverty elasticity of growth), ternyata angka 7 persen sekali lagi muncul. Artinya, dibutuhkan pertumbuhan sebesar 7 persen agar Indonesia dapat secara agresif menurunkan angka kemiskinan ke target yang diharapkan.

Apakah 2017 memberikan konteks kepada kita untuk bisa secara perlahan mencapai target 7 persen?

Catatan kedua: risiko global. Tidak banyak perubahan di tataran global sejak 2014. Penyelesaian isu pengangguran dan inflasi di zona Euro butuh paling tidak tiga tahun lagi sebelum mereka kembali ke tren ”normal”. Di sana, kebijakan fiskal tidak mampu berperan karena hanya Jerman yang punya surplus fiskal dan Jerman enggan menggunakannya. Sementara itu, long-term investors (misalnya dana pensiun) menghadapi risiko penurunan aset akibat suku bunga negatif. Ada kemungkinan emerging countries yang profil risikonya dianggap minim akan diuntungkan karena dijadikan tujuan dari pergerakan modal dari Eropa.

Perekonomian Amerika Serikat baru mencapai satu (pengangguran di bawah 6 persen) dari tiga target (dua lainnya: inflasi 2 persen dan pertumbuhan konsisten dalam rentang 2,5-3,2 persen), sebelum normalisasi suku bunga The Fed bisa berjalan mulus ke arah 2 persen. Dus, kemungkinan terjadinya capital reversal ke Amerika belum akan terjadi pada 2017. Jepang sedang bereksperimen dengan pengendalian kurva imbal hasil obligasi. Probabilitas keberhasilannya masih harus dilihat 12-18 bulan lagi. Sementara itu, investor domestik yang secara tradisional adalah pemegang Japanese Government Bond terus memindahkan aset mereka ke aset lebih berisiko di luar Jepang, termasuk obligasi, ekuitas, dan multi-aset. Indonesia bisa jadi akan diuntungkan bila risiko finansial dianggap rendah.

Cina, setelah dimasukkannya yuan ke keranjang SDR, terus mengalami depresiasi. Diprediksi tren ini terus berlanjut. Efeknya adalah tekanan competitive-depreciation terhadap mata uang Asia lainnya.

Bila kita melihat pola pergerakan tingkat suku bunga riil di emerging countries, tampak bahwa suku bunga riil di semua negara yang saya observasi (ASEAN, Brasil, India) berada pada rentang 0,9-1,2 persen. Artinya, bila jarak suku bunga riil relatif terhadap suku bunga Amerika sudah cukup dekat, penurunan suku bunga agresif tampaknya hanya akan terjadi bila semua negara emerging countries beramai-ramai menurunkan suku bunga nominal. Ini menyebabkan ruang penurunan suku bunga nominal di Indonesia, walaupun masih ada, cenderung agak terbatas.

Apakah pertumbuhan ekonomi bisa diperoleh dari perdagangan internasional? Dengan menggunakan metrik yang lazim dipakai untuk mengukur ekspektasi volume perdagangan global, saya melihat bahwa volume perdagangan global pada 2015-2016 berada di kisaran 40 persen di bawah level perdagangan pada 2011-2014. Dan metrik yang sama mengindikasikan bahwa pada 2017 volume perdagangan masih belum akan kembali ke level 2011-2014.

Catatan ketiga: keseimbangan risiko ekonomi domestik pada 2017. Konteks perekonomian global di atas banyak mempengaruhi dinamika perekonomian domestik lewat jalur kurs dan harga-harga di pasar aset, prospek ekspor, dan geliat investasi di sektor riil. Akibatnya, pertumbuhan kredit terseret ke bawah. Bila melihat pergerakan kurva yield di pasar obligasi Indonesia sejak kuartal ketiga 2015, bentuk kurva yield di pasar obligasi memberi sinyal bahwa ekspektasi pasar adalah, pertama, masih lekatnya perilaku penghindaran risiko (risk aversion behaviour). Kedua, inflasi akan tetap rendah, mungkin sedikit lebih tinggi dari year-average inflation pada 2016. Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang mungkin tidak beranjak dari 2016. Artinya, pasar berharap adanya postur kebijakan yang (jauh) lebih ekspansif untuk mengangkat momentum ekonomi.

Dengan melihat struktur perekonomian Amerika, zona Eropa, Jepang, dan Cina, serta membandingkan antara target normalisasi mereka versus kondisi saat ini, tampaknya kita akan melihat tekanan kurs dan inflasi yang kurang-lebih sama dengan 2016. Maka bila risiko ekonomi boleh saya pilah menjadi tiga, yakni risiko kurs, risiko inflasi, dan risiko pertumbuhan, tampaknya keseimbangan risiko ekonomi pada 2017 akan lebih berat ke arah risiko pertumbuhan ekonomi. Ini membawa saya pada dua observasi berikutnya: sisi fiskal dan sisi moneter.

Catatan keempat: ekspektasi pasar terhadap solusi moneter. Pasar menyadari bahwa efek dan prospek stimulus moneter semakin berkurang karena dua faktor. Pertama, fungsi intermediasi finansial (juga dikenal dengan terminologi ”mekanisme transmisi moneter”) terganggu sebagai akibat dari perilaku cash-hoarding, masyarakat menjadi (sangat) hemat belanja, dan fungsi wealth transfer yang menurun akibat rendahnya pertumbuhan kredit dan menurunnya kualitas aset. Kedua, akibat perbedaan suku bunga riil antara Indonesia dan negara-negara kompetitor sudah agak sempit, ruang penurunan suku bunga menjadi relatif terbatas.

Dengan segala kendala yang ada, pasar berharap adanya solusi moneter yang berbentuk kombinasi berbagai instrumen yang secara progresif dan komprehensif dapat membantu sistem finansial meningkatkan peran intermediasinya, yang pada gilirannya mampu menstimulasi sektor riil tanpa harus menabrak ketentuan-ketentuan mikro prudensial perbankan. Ini artinya sebuah kombinasi antara kebijakan penurunan suku bunga (price instrument), GWM (quantity instrument), dan regulasi prudensial yang akomodatif.

Catatan kelima: ekspektasi pasar terhadap solusi fiskal. Pasar juga berharap adanya solusi fiskal untuk membantu mendorong momentum ekonomi Indonesia.

Di sini saya perlu menginjeksi realisme kepada sesama pelaku pasar. Pasar perlu mafhum bahwa solusi fiskal bukanlah solusi yang mudah diintrodusir dalam jangka pendek. Sebagai mantan murid dari disiplin keuangan negara, saya paham bahwa bauran kebijakan fiskal jauh lebih kompleks karena instrumen fiskal sifatnya struktural, politis, dan terkait dengan alur birokrasi. Manuver fiskal juga sulit dilakukan dalam jangka pendek karena kondisi fiskal kita masih akan defisit, bahkan pada level keseimbangan primer.

Dalam jangka menengah, solusi fiskal bisa dilakukan. Arthur Laffer, ekonom Amerika, penemu Laffer Curve yang terkenal, dan salah satu arsitek dari Reaganomics, telah membuktikan bahwa penurunan tarif pajak tidak selalu berujung pada penurunan penerimaan negara, bahkan bila hal itu dilakukan saat ekonomi dalam kondisi lemah. Kunci dari bauran fiskal berciri ”supply side economics” tersebut terletak pada administrasi perpajakan dan perluasan basis pajak secara sistematis dan berkesinambungan.

Dari perspektif penerimaan pajak, saya melihat bahwa ruang intervensi fiskal mungkin bisa dilakukan mulai 2020, dipicu oleh keberhasilan awal program tax amnesty. Harapannya adalah agar keberhasilan program ini berlanjut dengan naiknya tax ratio kita ke level 15-16 persen terhadap GDP mulai 2020. Untuk memberikan perspektif terhadap metrik fiskal ini, selama lebih dari 30 tahun angka tax ratio Indonesia hanya beranjak dari 9-10 persen pada 1980-1990-an ke 11-12 persen pada 2000-2015. Negara-negara seperti Filipina, Thailand, Malaysia, Korea Selatan, Brasil, dan Cina sudah berada di level 15-17 persen.

Dari sisi pengeluaran, berbagai riset kebijakan fiskal menyimpulkan bahwa penciptaan ruang fiskal untuk keperluan counter-cyclical policy juga bisa dilakukan lewat re-evaluasi terhadap, misalnya, tata aturan kepegawaian, proses audit, dan alur proses birokrasi. Dalam konteks inilah tata kelembagaan alur fiskal harus masuk ”paket deregulasi”, sehingga instrumen fiskal kembali mampu menjadi mesin pendorong momentum perekonomian dalam jangka panjang. Ini menjadi sebuah keharusan di tengah berkepanjangannya ketidakpastian ekonomi global. l

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus