Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kita Tak Ingin Jadi Bangsa Kaca Spion

17 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Komunikasi dan Informatika Rudiantara kembali berhadapan dengan operator telekomunikasi, dunia yang digelutinya sebelum menjabat menteri. Salah satu yang menyita perhatiannya adalah polemik penurunan biaya interkoneksi atau tarif sambungan antaroperator.

Kementerian Komunikasi dan Informatika menentukan biaya acuan interkoneksi Rp 204 per menit panggilan telepon, turun dari tarif sebelumnya Rp 250. Rudiantara mengatakan, sejak awal tahun lalu, ia sudah menyampaikan rencana penurunan itu kepada operator seluler.

Sebagian besar operator seluler menyambut baik penurunan itu. Tapi ada pula operator yang keberatan dengan alasan masih membangun infrastruktur di pelosok dan teknologi yang mereka gunakan baru. Pemerintah akhirnya menunda penerapan penurunan biaya interkoneksi, yang semula direncanakan berlaku mulai 1 September 2016. "Saya bukan menteri bagi operator A atau B, melainkan menteri semua operator," kata Rudiantara.

Pada Rabu dua pekan lalu, pria 57 tahun ini menerima wartawan Tempo Raymundus Rikang, Ayu Prima Sandi, Efri Ritonga, Sapto Yunus, dan fotografer Frannoto di kantornya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, untuk sebuah wawancara. Dengan bersemangat, Rudiantara bercerita tentang banyak hal, dari program 1.000 Startup Digital; perekrutan bos Alibaba, Jack Ma, sebagai penasihat e-commerce Indonesia; hingga perpanjangan izin siaran stasiun televisi.

Bagaimana Anda menghadapi operator telekomunikasi yang keberatan terhadap penurunan biaya interkoneksi?

Interkoneksi itu hak pelanggan. Karena sudah masuk rezim kompetisi, ada multi-operator yang bersaing. Interkoneksi hanya terjadi dalam konteks teknologi yang lama, namanya circuit switch. Kita sekarang sudah masuk teknologi baru berbasis data, namanya IP switch. Sebenarnya tak ada lagi masalah interkoneksi, apalagi jika Palapa Ring sudah sempurna.

Beberapa operator minta tarif interkoneksi lebih rendah dari Rp 204 per menit panggilan, sementara ada operator yang minta lebih tinggi.

Tarif itu ditinjau rutin. Data menunjukkan tarif sejak 2008 sampai sekarang relatif datar, hanya turun Rp 1. Di sisi lain, teknologi yang dipakai untuk menghitung tarif interkoneksi sudah ada sejak 1995 dan pasti ada penurunan drastis. Makin ke sini harus menghitung teknologi yang baru. Kalau ada operator yang minta naik, logikanya di mana?

Mereka beralasan masih membangun infrastruktur di pelosok dan teknologi yang digunakan baru.

Sama saja. Dikira pemerintah juga tidak membangun? Lalu logikanya, kalau mereka membangun jaringan baru, apakah hitungannya menggunakan interkoneksi? Enggak. Hitungannya pakai data.

Apakah tarif interkoneksi memang sudah saatnya direvisi?

Setiap dua tahun. Jatuhnya tahun ini. Sejak awal 2015 sudah saya sampaikan ke operator bahwa interkoneksi harus turun signifikan. Interkoneksi itu kan jadi komponen biaya bagi operator. Kalau biayanya turun, kan industri jadi efisien.

Apakah benar klaim bahwa turunnya biaya interkoneksi membuat operator merugi puluhan triliun rupiah?

Pendapatan interkoneksi saja tiap tahun selalu menurun, sejalan dengan masuknya data. Saya menghitung, dengan nilai tersebut, sama saja mereka merugi selama 25 tahun. Teknologi sudah ke mana selama itu?

Ada kesan Anda mementingkan operator tertentu.

Enggak jadi masalah. Berarti saya perlu komunikasi lagi. Tapi saya pernah jadi Direktur Telkomsel dan XL serta komisaris Telkom dan Indosat. Mau apa lagi? Semua operator pernah saya ajak diskusi publik. Semua saya catat dan arsipkan dokumennya.

Dulu ketika Anda berada di operator kan bisnis telekomunikasi sedang berkembang, sementara sekarang sedang sunset.

No, no. Silakan cek, pertumbuhan ekonomi kita lima persen. Pertumbuhan sektor komunikasi selalu di atas pertumbuhan ekonomi, kuartal lalu sekitar delapan persen. Kita hanya kalah oleh perbankan dan keuangan. Siapa yang bilang sunset?

Dampak penurunan tarif interkoneksi ke tarif konsumen bagaimana?

Ada yang menurunkan cepat, ada yang lambat. Ada yang main. Ke depan, tarif akan lebih terjangkau masyarakat. Tapi saya tidak mau tarif murah juga karena operator tidak akan mendapatkan dana untuk memelihara infrastruktur. Saya tidak pernah minta operator membangun di daerah terpencil. Tapi kami memberi insentif kepada mereka yang mau membangun di daerah terpencil.

Soal izin frekuensi stasiun televisi, ada petisi di situs Change.org yang mendesak agar Anda tidak memperpanjangnya.

Ada sembilan stasiun televisi yang izinnya selesai pada 16 Oktober, sementara sisanya baru habis pada Desember. Urusan konten, silakan tanya Komisi Penyiaran Indonesia. Dalam Undang-Undang Penyiaran sangat jelas diatur bahwa KPI bertanggung jawab mengawasi konten. Sejauh ini tak ada laporan yang jelek soal konten televisi swasta.

Bagaimana dengan pemilik stasiun televisi yang jelas-jelas menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan politiknya?

Tinggal dibuat saja semacam perjanjian bahwa lu enggak boleh gitu lagi, ya. Kita melihatnya harus ke depan dong, jangan pernah melihat apa yang sudah terjadi. Kita tak ingin jadi bangsa kaca spion.

Apakah mungkin tidak memperpanjang izin frekuensi stasiun televisi yang kontennya buruk?

Kalau tak diperpanjang, bagaimana dengan industrinya, pegawai yang bekerja pada mereka, juga pajak yang dibayar? Saya usul agar membuat daftar pelanggaran mereka, lalu ada hitam di atas putih yang diteken di atas meterai. Perjanjian bahwa mereka tak akan mengulang kesalahan itu. Saya sudah minta pengelola stasiun televisi menulis pelanggaran mereka.

Tapi stasiun televisi terkesan nakal karena terus mengulang kesalahan dan mengabaikan KPI.

Ini pertama kalinya izin frekuensi diperpanjang sejak Undang-Undang Penyiaran terbit, di mana ekstensi izin itu dilakukan setiap sepuluh tahun. Kementerian sudah memulai evaluasi sejak tahun lalu. Kami juga punya catatan di lapangan. KPI yang kesulitan mengumpulkan evaluasi konten karena masa kerja KPI tiga tahun. Ketika ditanya catatan selama sepuluh tahun ke belakang, ya, kelabakan mereka.

Apa solusi untuk membantu KPI?

Saya sudah membuat rancangan peraturan menteri. Jika sudah final, KPI harus melaporkan evaluasi kontennya setiap tahun, lengkap dengan catatan keuangan dan kepemilikan stasiun televisi. Selama ini KPI meminta catatan konten dari stasiun televisi, padahal seharusnya mereka punya berkas sendiri. Intinya, kami ingin membuat semacam rapor tahunan stasiun televisi.

Kalau ada rapor berarti saat nilainya buruk bisa dihukum?

Sekali lagi, pemberian izin frekuensi harus memperhitungkan banyak hal. Pada saat bersamaan, saya juga ikut mendorong KPI supaya menilai faktor independensi dan netralitas stasiun televisi.

Belakangan, penunjukan bos Alibaba, Jack Ma, sebagai penasihat e-commerce Indonesia bikin heboh. Mengapa Anda memilih dia?

Saya sudah melapor kepada Presiden sebelum nama itu muncul. Saya bilang bahwa Indonesia perlu nama besar yang menggigit di dunia internasional, khususnya bidang e-commerce. Maka, saat ke markas Alibaba di Hangzhou, Cina, saya bilang: "Mr Ma, saya ingin Anda jadi penasihat e-commerce Indonesia." Penunjukan itu jadi ramai karena akun resmi Alibaba nge-twit: "Jack Ma terpilih sebagai penasihat ekonomi Indonesia." Padahal dia penasihat bagi steering committee yang mengurus peta jalan e-commerce Indonesia.

Apa kewenangan dia?

Namanya advisor, ya, memberi masukan saja. Kalau enggak dipakai masukannya, ya, terserah kita. Tinggal pintar-pintar memanfaatkan Jack Ma. Dia juga tidak diberi gaji.

Apa untungnya bagi Jack Ma? Apakah ada timbal balik, misalnya investasi Jack Ma dipermudah masuk ke Indonesia?

Enggak tahu, ha-ha-ha.... Pokoknya, saya cuma presentasi ke dia saat kunjungan ke Cina. Enggak kita apa-apakan saja mereka sudah pasti ke Indonesia. Tak ada kesepakatan seperti itu.

Perubahan apa yang diharapkan dengan kehadiran Jack Ma?

Kalau Jack Ma presentasi lalu bilang: "Oh ya, aku jadi penasihat steering committee e-commerce Indonesia, lho. Banyak rencana yang sedang disiapkan Indonesia." Coba bayangkan, akan tumbuh persepsi apa jika Jack Ma bilang seperti itu. Padahal Jack Ma tak ikut-ikutan di Indonesia.

Berarti dia semacam endorser?

Ha-ha-ha, jangan bilang endorser-lah. Yang benar, ya, advisor.

Apakah tak khawatir kehadiran Jack Ma bisa mengganggu kemandirian ekonomi digital Indonesia?

Banyak penasihat di negeri ini yang merupakan warga negara asing. Bagi saya, dari mana pun negaranya, asalkan memberi nilai tambah bagi Indonesia, tak jadi masalah. Yang penting kontrol ada di kita. Apakah kalau Jack Ma masuk, dia bisa menguasai semua? Enggak.

Sudah ada sumbangan pemikiran dari Jack Ma?

Saya sedang menunggu pengesahan hal itu lewat peraturan presiden. Tapi Jack Ma sudah bercerita banyak dan memberi ide. Salah satunya mereposisi PT Pos Indonesia menjadi platform penunjang logistik e-commerce. Kantor pos jumlahnya sudah ribuan, tinggal dibuatkan platformnya.

Apakah akan ada nama populer lain yang jadi penasihat e-commerce Indonesia?

Kami siapkan beberapa nama, bukan hanya tokoh internasional, tapi juga figur nasional. Sebab, jangan lupa, ada kepentingan nasional yang harus dijaga. Intinya, kami mendorong Indonesia lebih kompetitif di dunia internasional, masak begini-begini saja.

Siapa saja anggota steering committee untuk e-commerce?

Ada sekitar sepuluh kementerian, yang diketuai oleh Menteri Koordinator Perekonomian. Tim ini butuh masukan agar e-commerce kita lekas go international. Nah, salah satu pemberi masukan itu Jack Ma.

Pemerintah serius sekali menggarap e-commerce. Seberapa besar potensinya?

Dari sektor penerbangan saja potensinya bisa US$ 12 miliar. Sektor ini menggarap serius e-commerce sejak tahap reservasi sampai check-in. Kami juga menyiapkan cara mendorong sumber daya manusia, pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, keamanan cyber, logistik, dan infrastruktur telekomunikasi. Pelan-pelan kami benahi.

Pertumbuhan industri e-commerce tak diikuti dengan penambahan jumlah ahli teknologi informasi (IT) lokal yang kompeten?

Kita memang kekurangan programmer. Solusi jangka pendek ialah mencari dari negara lain. Salah satunya India. Selama ini ada dua opsi: aplikasinya dibuat di India lalu tinggal terima jadi atau mengajak orang India kerja di Indonesia. Pilihan kedua yang dipilih karena bisa menghemat devisa.

Apa solusi jangka panjangnya?

Saya sudah pernah bertemu dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Anies Baswedan, dan minta materi coding masuk kurikulum sekolah kejuruan. Kebijakan ini perlu tiga tahun hingga terlihat hasilnya. Ada juga Badan Ekonomi Kreatif yang bergerak membuat aksi Coding for Mom. Ibu-ibu bisa membuat program atau aplikasi yang memberi nilai tambah untuk penghasilan keluarga.

Masalah lain yang Anda hadapi adalah menagih pajak perusahaan over the top (OTT) asing, seperti Google, Facebook, dan Twitter. Bagaimana strategi pemerintah?

Kami ingin perpajakan untuk perusahaan ini lebih sederhana. Kalau prosedurnya mudah, orang akan bayar, jika sebaliknya orang akan malas. Memang susah menagih, tapi kita tidak akan menyerah. Saya orang pertama yang mengangkat isu pajak Google dan Facebook ketika ikut Presiden Joko Widodo ke Lembah Silikon di California. Saya presentasi di depan Sundar Pichai, CEO Google, lalu menyinggung isu pajak ini. Saya bilang: "Consider this one as early notification (anggap ini sebagai pemberitahuan awal)." Sebab, nilai iklan digital di Indonesia US$ 630 juta dan 70 persennya ditempatkan di Google dan Facebook.

Bagaimana respons Sundar Pichai?

Dia bilang oke. Tapi, mau bayar atau enggak, saya tak bisa paksa. Dan saya tak akan berhenti berusaha. Saya juga tak punya harapan lebih bahwa mereka langsung bilang, "Oke, saya siap bayar pajak."

Pengalaman Inggris dan Prancis membuktikan usaha menarik pajak dari perusahaan OTT sangat sulit.

Memang sulit. Kita enggak usah mimpi besar-besar. Inggris dan Prancis yang ekonomi digitalnya lebih maju dari kita saja mesti berantem dulu. Makanya, kalau kita berantem dulu dengan mereka, ya wajar.

Apakah kendalanya karena perusahaan ini secara fisik tak hadir di Indonesia?

Bukan karena itu. Masalahnya adalah regulasi perpajakan. Teman-teman di Direktorat Jenderal Pajak atau Kementerian Keuangan yang paling tepat menjelaskan.

Apa kontribusi kementerian Anda untuk mengatur perusahaan OTT?

Saya terbitkan surat edaran yang mencakup tiga isu: layanan konsumen, perlindungan data pribadi, dan kesamaan hak serta kewajiban pembayaran pajak. Isu pertama, saya ingin perusahaan OTT punya perwakilan di Indonesia. Kemudian isu kedua melarang perusahaan OTT menyalahgunakan data pelanggan. Terakhir, baik OTT nasional maupun internasional harus sama-sama bayar pajak.

Apakah mungkin memblokir akses terhadap OTT asing sebagai upaya paksa?

Memang ada pertanyaan seperti itu ke saya, "Google akan diblokir?" Saya balik bertanya, "Mau enggak Google atau Facebook diblokir?" Guru-guru sekarang mau menjawab pertanyaan muridnya harus buka Google dulu, ha-ha-ha.... Tugas saya adalah melindungi kepentingan masyarakat secara seimbang.

Apakah Indonesia tidak tertarik meniru Cina yang sukses menciptakan mesin pencari dan media sosial mandiri, yakni Baidu dan Weibo?

Saya maunya juga begitu, tapi masanya sudah lewat. Kalau kita mulai sekarang, ongkosnya sangat besar. Pertama, kalau kita bikin, bisa jadi rebutan versi siapa yang paling baik. Cina bisa berhasil karena pemerintahnya menunjuk satu pengembang dan berani pasang badan. Kedua, ada keterbukaan internasional yang tak bisa kami atur. Apakah sanggup orang Indonesia dalam waktu entah dua-lima tahun tak mengakses Google dan Facebook?

Kementerian Anda meluncurkan program 1.000 Startup Digital, tapi pelakunya mengeluh regulasinya tak pro-startup. Apa yang terjadi?

Saya cenderung membuat light touch regulation yang sifatnya mempermudah industri. Soal startup ada masukan ke saya agar mereka disertifikasi. Tak perlu seperti itu. Saya kira mereka cuma perlu registrasi sehingga kalau pemerintah ingin membantu bisa langsung tahu alamat dan identitas pemiliknya.

Pelaku startup juga khawatir kalau bisnis mereka besar akan dikenai pajak?

Tenang saja. Hal itu sudah masuk tujuh langkah strategis pemerintah. Akan kami selesaikan pertengahan 2018 sehingga pada 2020 nilai e-commerce Indonesia mencapai US$ 130 miliar, the largest digital economy in the world.

Bagaimana sikap Anda terhadap kreator startup yang menjual perusahaannya ke pihak asing ketika sudah sukses?

Anak Indonesia itu senang otak-atik lalu dengan entengnya bilang sukses bikin startup. Saya bilang, "Eh, lu belum startup, Man." Belum ada bukti pasar, cara pendanaan, dan ketahanan teknologinya. Jangan cepat puas diri. Maka, dalam program 1.000 Startup Digital, saya memaksa mereka melewati proses berjenjang, dari tahap ignition sampai inkubasi.

Apa terobosan Anda agar ekosistem startup bergairah?

Pemerintah bisa membuat institusi pendanaan, mirip venture capital. Setelah mendanai satu startup, mereka bisa keluar, lalu mendanai perusahaan lain. Terobosan ini juga dalam rangka bersaing dengan venture capital luar negeri. Toh, kita tahu bahwa tingkat sukses startup cuma dua-empat persen.

Rudiantara

Tempat dan tanggal lahir: Bogor, Jawa Barat, 3 Mei 1959

Pendidikan:

  • Jurusan Ilmu Statistik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran, Bandung (1984)
  • Magister Administrasi Bisnis IPPM (1988)

Karier:

  • Menteri Komunikasi dan Informatika (2014-sekarang)
  • Komisioner Independen PT Indosat (2012-2015)
  • Komisioner Independen PT Telekomunikasi Indonesia (2011-2012)
  • CEO PT Rajawali Asia Resources (2010-2014)
  • Wakil Direktur Utama PT PLN (2008-2009)
  • Wakil Presiden Direktur PT Semen Indonesia (2006-2008)
  • Direktur Sales & Marketing PT Excelcomindo Pratama Tbk (1997-2006)
  • Direktur Komersial PT Telkomsel (1995-1996) .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus