Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Pinus ditanam, semak tumbuh

Manipulasi di sektor reboisasi, menghutankan kembali lahan kritis ternyata lebih sulit dari pada membabatnya. (ling)

5 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH spanduk terpampang tinggi di batas kampung Tanjung Pauh, Kecamatan Nanga Pinoh, Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat. Bunyinya: "Selamatkan hutan, tanah dan air! Kalau tidak kini, kapan lagi." Sekeliling spanduk tersebut, sejauh mata memandang, sampai di atas bukit dan lerengnya, hanya ada semak belukar dan alang-alang. Sekitar dua puluh tahun yang lalu, kawasan itu masih teduh dan penuh dengan pohon yang seakan berlomba naik ke langit. Kini, hutan hujan tropika yang penuh misteri itu telah hilang. Hutan belukar (seconday forest) tidak hanya terdapat di Tanjung Pauh, tapi juga di banyak kawasan Indonesia lainnya. Manusia membuka hutan asli (dipterocarpaceae forest) untuk kemudian ditelantarkan begitu saja. Perubahan dari hutan asli ke hutan belukar di Indonesia diperkirakan bertambah sekitar 550.000 ha setiap tahunnya lihat Aduhai, Tiang Penyangga Langit). Mungkin belum terlambat mengatasinya. Pekan Penghijauan Nasional (PPN) diadakan setiap tahun. Desember lalu, PPN yang ke-22. Biasanya serangkaian kegiatan menyusul. Dari bakti karya, temu karya, kontak tani sampai ke lomba tulis. Selama PPN diperlombakan masalah penghijauan (menanam pohon di pekarangan penduduk dan reboisasi (tindakan pemerintah menghijaukan kembali bukit yang gundul) digalakkan. Upacara PPN berlangsung di seantero kota dan desa, terutama yang tadinya mempunyai hutan lebat. Untuk Kalimantan Barat, misalnya, di Nanga Pinoh. Gubernur Soedjiman khusus datang dari Pontianak yang jaraknya sekitar 500 km. Sekaligus ia meresmikan 43 pemukiman UTM (usaha tani menetap) bagi penduduk setempat, antara lain Suku Kantu. Sayangnya, dari 43 pemukiman yang direncanakan, baru enam yang siap ditempati. Tiga buah kabarnya sumbangan satu perusahaan HPH setempat untuk melunasi "kewajiban sosialnya". Menurut rencana, setiap KK (kepala keluarga) dari kaum peladang berpindah akan mendapatkan sebuah rumah panggung (berasap seng, dinding kulit kayu dan lantai papan) dan tanah garapan seluas 1 ha. Kabupaten Sintang mempunyai penduduk sekitar 280 ribu, di antaranya 60% hidup sebagai peladang berpindah. Mereka hidup dalam sistem pertanian subsistem. Dengan teknologi berladang yang masih main tebas dan bakar itu, tanaman padinya (gogo rancah) sangat tergantung pada cuaca alam. Hidup dalam kepercayaan roh nenek moyang, cara mereka memilih lahan baru biasanya ditentukan oleh tanda-tanda alamiah. Kalau seekor burung nenak (Cittocincla sauvis) bersarang di atas pohon yang akan mereka tebang, misalnya, itu pertanda buruk. Panen tak akan berhasil di situ. Mereka kemudian pindah lagi ke lokasi lain. Di hutan rawa pun jadi, apalagi di huun asli. Di lereng bukit, kesuburan tanah akan cepat sekali menurun. Biasanya para peladang berpindah itu membakar semak dan kayu kecil untuk pemupukan alamiah. Mereka mengolah tanah baru itu selama 2 tahun saja. Setelah panen kian menyusut, mereka berpindah lagi. Bahaya semakin mengancam hutan ketika populasi mereka semakin besar. Peladang berpindah -- di seluruh Indonesia sekitar 11,5 juta orang -- kini harus hidup berbagi hutan dengan para pemilik HPH dan transmigran. Sebaliknya, para pemegang HPH cuma menebang pohon besar yang mempunyai nilai ekonomis. Penebang komersial itu mendapatkan hak kuasa dari Pusat lewat peta. Sehingga terjadi suatu perubahan sosial-ekonomis dalam lingkaran kehidupan penduduk asli. Nasib "suku terasing" -- begitu Dinas Sosial menyebutnya -- semakin terpojok dengan datangnya transmigran dari Jawa, Bali, dan Madura. Proyek transmigran turut juga membersihkan hutan asli sampai 100.000 ha per tahun. Fasilitas untuk transmigran -- dari ukuran penduduk asli -- cukup menyolok. Maka konflik sering timbul karena penduduk asli merasa dianaktirikan. Sehingga di Sintang, misalnya, UTM kemudian dianjurkan. Apalagi dari 1.745 juta ha hutan asli dan hutan lindung di Kalimanun Barat, di Sintang saja sudah ada 893 ribu ha yang berubah menjadi "savanna". Kami dikasih lihat sawah," kata .njung, ayah dari dua anak dari Suku Kahayan, "tapi kami tak tahu bagaimana bikin sawah berair." Rupanya teknologi bersawah (membajak, menyiang, menyemai, irigasi, dan sebagainya) belum dikenal selain di Jawa, Bali, Madura, dan sebagian dari Sumatera Barat. Jadi tak jarang UTM -- yang sudah diresmikan lewat upacara meriah -- setelah sekian tahun ditinggalkan kosong begitu saja. Penduduknya kembali ke hutan. Di Kalimantan Tengah dan sekitarnya, penduduk akan lebih kerasan tinggal di rumah panjang, rumah adat orang Dayak. Pemerintah biasanya membuatkan rumah berdasarkan ukuran keluarga batih (nuclear family), sementara suku-suku pedalaman masih hidup dengan cara keluarga melebar (extended family). Toh hutan masih terancam. Manusia adalah makhluk sosial yang penuh dengan masalah kompleks. Orang Sakai dari Jambi, misalnya. Begitu bantuan pemerintah berhenti, mereka kembali lagi ke hutan. Konflik dalam bentuk lain timbul pula di Sumatera Barat. Di Pasaman Barat, Kabupaten Solok, ada kantor walinagari dan beberapa rumah penduduk, nyatanya masuk dalam wilayah pemegang HPH. Apa pasal? "Batasan yang jelas mengenai hutan HPH belum ada," kata Munarfi Noer dari Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup Sumatera Barat. Sehingga banyak yang menduga bahwa jual-beli hutan dilakukan secara tertutup. Istilah populernya, "di bawah meja". Soal siapa memiliki HPH, Pusat yang menentukan. Sengketa wilayah bisa terjadi antara Pemda dan pengusaha. Cukup di atas peta, SK (Surat Keputusan) diteken. Di Sumatera Barat, tanah kritis ada 36.340 ha. Baru sekitar sepertiga terkena reboisasi. Itu pun sudah menelan biaya Rp 1,7 milyar. Banyak yang menilai, secara kualitatif reboisasi di Sumatera Barat gagal. "Upacaranya saja yang meriah," ujar seorang mamak (paman). Dia mengingat upacara teken prasasti PPN ke-22 di Solok oleh Presiden Soeharto Desember lalu. Sang mamak pesimistis melihat cara mereboisasi hutan. Yang ditanam pinus, yang tumbuh kemudian semak. Penduduk setempat tak peduli. Itu tanggung jawab kontraktor. Di dalam penanganan reboisasi iniIah timbul kekisruhan. Daia FA (Forestry Agreement) setiap pemegang HPH diwajibkan menghutankan kembali, sekaligus turut mendidik penduduk yang berpindah-pindah itu untuk ber-UTM. Nyatanya, dari 529 pemegang HPH di Indonesia, cuma 168 yang sanggup melaksanakan reboisasi -- biasanya dengan kontraktor. Sisanya, 361 HPH lebih senang (dan gampang) membayar DJR (Dana Jaminan Reboisasi), sebesar US$4 tiap m2. Dari DRJ inilah pemerintah kemudian mengeluarkan program Inpres Reboisasi. Nasib sang hutan tetap malang. Ada manipulasi dana Proyek Inpres Reboisasi dan Penghijauan di Sulawesi Tengah. Kasusnya terbongkar bulan lalu. Negara dirugikan Rp 900 juta oleh petugas Kehutanan dan Pemda setempat. Jumlah itu baru sebagian dari kasus manipulasi Rp 5 milyar dan Rp 2,4 milyar yang belum selesai diselidiki. Kejadian ini juga baru terungkap di satu tempat. Jaksa Agung Ismail Saleh menjelaskan kepada pers bahwa pejabat Dinas Kehutanan setempat dan kontraktor melakukan lima macam kesalahan besar. Di atas kertas harus ditanam pinus, tapi kenyataannya accasia dan caliandra yang mutu dan harganya memang di bawah pinus. Mereka telah mengelabui jumlah tanaman. Luas areal konon tidak sesuai dengan kontrak, bahkan turut dihitung lahan rawa. Terjadi pula penyelewengan administrasi. SPK (Surat Perintah Kerja) seharusnya keluar setelah tender, toh keluar juga sebelum tender. Dalam berita acara disebutkan bahwa pekerjaan telah selesai, sehingga dengan mudah dana dicairkan. Nyatanya, jauh badan dari bayangan. Pemerintah baru sejak anggaran 1966/1967 memasukkan biaya penghijauan dan reboisasi lewat Proyek Inpres. Dari Rp 16 milyar sejak awal proyek ini, jumlahnya dari tahun ke tahun meningkat terus. Tiga tahun terakhir Pelita II biayanya Rp 76,5 milyar. Untuk Pelita III jumlahnya meningkat sampai Rp 333,8 milyar. Tahun anggaran 1983/ 1984 saja, ada Rp 87,3 milyar, suatu jumlah yang sesuai dengan semakin besarnya tanah kritis. Di Aceh, misalnya, pertambahan tanah kritis setiap tahunnya sekitar 4.000 ha. Aceh memiliki 4,13 juta ha hutan, dan hampir separuhnya dimasukkan dalam hutan produksi. Di Sumatera Utara tahun 1981, terjadi kebakaran hutan pinus seluas 1.102 ha. Selain itu, jumlah lahan kritisnya ada 2 juta ha lebih. Tetapi kenapa sampai bisa terjadi penyelewengan? Memang banyak lubang yang memberi kesempatan menyeleweng. Kekuasaan dan tanggung jawab selama ini cuma menjadi wewenang tingkat provinsi. Padahal letak lahan yang akan direboisasi jauh dari jalan ekonomi. Sering wilayahnya harus dicapai dengan naik kuda atau jalan kaki berhari-hari. Adalah sulit bagi seorang staf Pemda (apalagi gubernur) memeriksa on the spot. Kabarnya akan keluar SK baru agar kekuasaan dan tanggung jawab diturunkan ke kabupaten, sehingga dengan demikian lebih mudah mengontrolnya. MENGHUTANKAN kembali lahan gundul ternyata lebih sulit ketimbang menebangnya beberapa tahun yang lampau. Seorang perencana reboisasi dari Brazil pernah mengatakan bahwa eksploitasi asal jadi pada hutan penghasil "emas hijau" akan menghasilkan perak saja di masa depan. Ini terjadi di Muangthai. Karena pemusnahan setiap tahunnya sekitar 244.000 ha hutan hujan tropika, kini Muangthai mulai mengimpor kayu (US$44 juta per tahun). Program reboisasi di sana rupanya asal tanam, asal hijau saja. Pada saat tebang, hutan bikinan manusia sangat berkurang nilai ekonomisnya. Akibatnya, Muangthai kehilangan "emas hijau" karena kini yang dimilikinya cuma "perak hijau". "Kalau sembarang tebang," demikian Ahli Hutan dari Veneuela, Dr. Gerardo Budowski kepada TEMPO, "belum tentu hutan buatan manusia nanti bisa menghasilkan kualitas kayu yang sama dengan species yang sama." Kalimantan yang terkenal dengan kayu ulin kabarnya telah musnah, meskipun dalam FA jenis ulin-tidak boleh ditebang. Pohon tengkawang yang berbunga cuma 4 tahun sekali, walaupun bibitnya disemai, belum tentu menghasilkan pohon tengkawang yang berkualitas sama. Kayu mahagoni, meranti putih (Shorea bractiolata), kruing (Hopea Spp.) -- semua itu baru bisa berproduksi lagi kalau penanganan reboisasinya benar. Pcrusakan hutan hujan tropika demi kentungan yang diraih sesingkat mungkin, merupakan ancaman gawat bagi generasi mendatang. Hal ini mengingatkan kembali pada ucapan Bupati Bima, Oemar Haroen dari Sumbawa: "Tanpa ngobo (hutan), kalian tak akan dapat ngaha (makan)." Sumbawa sebagian besar memiliki hutan pantai dan hutan belukar. Di sana kini sedang digalakkan Operasi Tekad Makmur untuk penghijauan. Tetapi hutan di sekitar Tambora, satu-satunya gunung di pulau itu, tak luput dari pemegang HPH. Di sana PT Veneer Indonesia sebagai pemegang HPH masih menunggak DJR. Cuma Rp 71 juta, kok.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus