SIANG itu Paramount Theatre, salah satu bioskop kelas I di Bandung, masih sepi. Pertunjukan pertama baru dimulai pukul 14.15. Tapi di sebuah ruangan berukuran 5 x 20 meter, di bagian belakang sebelah atas tempat duduk penonton, mulai tampak kesibukan. Di sana ada dua proyektor bikinan Italia, sebuah proyektor untuk slide, kaleng-kaleng gulungan film dari aluminium. Dua petugas berbenah. Seorang mempersiapkan slide, lainnya memasang rol film pada proyektor. Lampu-lampu proyektor dan peralatan sound system diperiksa. Persiapan itu makan waktu sekitar satu jam, sebelum musik diperdengarkan. Pada saat itulah penonton mulai memasuki ruangan yang berkapasitas 1.000 tempat duduk dan berhawa sejuk karena alat pendingin. Begitu jarum jam dinding menunjuk angka 14.15, Maman, operator proyektor, mematikan lampu penerang di ruang penonton. Lantas proyektor untuk slide pun dihidupkan. Sepuluh menit kemudian, proyektor lainnya dihidupkan, menghidangkan film ekstra selama 20 menit. Setelah itu diputarlah film utama. "Selama pemutaran film utama itulah kami bisa beristirahat bergantian," ujar Maman, 49 tahun. Bapak dari empat anak ini mula-mula menjadi pedagang makanan dan minuman kecil di sekitar alun-alun di jantung Kota Bandung. Pertama kali, tahun 1955, menjadi pembantu operator di bioskop Varia, Maman kemudian berpindah-pindah dari bioskop satu ke bioskop lain. Dan sejak akhir tahun lalu ia menjadi operator bioskop kelas I, Paramount Theatre. Itu sebabnya ia mengenal bermacam-macam merk proyektor. Yang dilayaninya kini proyektor merk Fedi bikinan Italia yang praktis. "Seorang calon operator hanya membutuhkan waktu sebulan untuk mempelajari cara menggunakannya," kata Maman. "Sebab proyektor modern tidak lagi memakai koolspits, melainkan lampu khusus, sebagai sumber cahaya," tambahnya. Ada dua batang koolspits, positif dan negatif -- arang bakar yang terbuat dari bahan tembaga dan batubara, yang juga disebut cinema carbon. Batangan negatif berukuran 8 x 355 mm, positifnya lebih panjang sedikit. Sepasang berharga Rp 75, sehari rata-rata dibutuhkan sekitar lima pasang. Cahaya pijaran koolspits inilah yang menciptakan warna perak di layar. Pijaran sumber cahaya itu sangat berbahaya. Selain tingkat panasnya (pada jarak 15 cm dari proyektor masih cukup panas), asap yang diciptakannya juga bisa menyebabkan napas sesak. Itulah sebabnya ruang proyektor beberapa bioskop yang masih menggunakan proyektor lama, ada yang menyalurkan asap melalui cerobong. Konon pijaran koolspits tadi juga memancarkan radiasi. Karena itu para operator yang melayani proyektor lama selalu harus minum susu setiap hari -- seperti layaknya para pekerja di ruang gelap studio fotografi. Bahaya seperti itu masih ditambah lagi dengan pengapnya ruangan proyektor yang rata-rata sempit. Memang ada ruangan proyektor beberapa bioskop yang cukup luas. Ada pula yang dilengkapi dengan satu dua jendela. Namun jendela tersebut hanya boleh dibuka untuk mengganti udara pada malam hari. Sebab bila dibuka pada acara pertunjukan siang hari, bisa mempengaruhi tingkat kegelapan di ruang penonton. Karena kegerahan itulah, tak jarang para operator bekerja bertelanjang dada. Sedang untuk menghindari asap koolspits, ada yang menggunakan sapu tangan sebagai penutup hidung. Meskipun ada yang mengaku terpaksa bekerja sebagai operator "karena tidak ada pekerjaan lain", tidak sedikit yang menyukai tugas itu "meskipun gajinya kecil". Maman termasuk yang menggantungkan hidupnya sebagai operator. Dengan gaji Rp 70.000 (plus uang makan Rp 750 sehari), ia menghidupi keempat anaknya. Untunglah ia sedikit-sedikit juga menguasai soal-soal perlistrikan. Sesekali tetangganya minta tolong agar dia memperbaiki instalasi listrik dengan imbalan lumayan. Beberapa kali pindah bekerja dan selalu di ruangan proyektor yang pengap, ia tak merasa berpenyakit sesak napas. Paru-parunya pun, katanya, bekerja normal. Apalagi, untunglah, ruangan Paramount tempat ia bekerja kini cukup lega, boleh dibilang yang paling luas di Bandung. Satu-satunya keluhan ialah penglihatannya berkurang. Maman yang bertubuh kecil itu memang tampak sehat dan berisi. Hal itu lantaran setiap hari ia menggenjot sepeda pulang pergi menempuh jalan 2 x 8 km dari rumahnya di pinggir selatan Kota Bandung. Rupanya itu pilihan satu-satunya. "Kalau naik kendaraan umum gaji saya bisa habis. Kalau naik oplet bisa terlambat datang ke bioskop," katanya. Pada umumnya para operator mengaku ingin bekerja sebaik-baiknya. Mereka merasa puas bisa menghibur penonton. Karena itu keluhan lain para operator ialah bila sedang asyik-asyiknya berputar, mendadak ada gangguan. Mungkin proyektornya rusak -- misalnya gigi roda pemutarnya patah -- atau filmnya bisu lantaran sound system rusak, karena sekring putus misalnya. Dalam keadaan demikian, bisa dipastikan para penonton akan marah. Bersuit-suit, berteriak-teriak. Bahkan ada yang menggebrak atau merusak tempat duduk atau melemparkan sesuatu ke arah ruang proyektor. Para operator pun dengan tenang membenahi alatnya. Kadang-kadang lampu mati. Kalau memang penyebabnya PLN -- misalnya karena listrik di kota itu memang sering mati -- penonton biasanya bisa maklum. Ada kalanya film tiba-tiba putus. Ini biasanya karena film tidak terawat atau sudah terlalu lama diputar di bioskop-bioskop lain. Jadi tugas operator pula untuk menelitinya sebelum memutarnya. Abdul Karim, operator bioskop Ria di Kudus baru berusia 16 tahun. Tamatan madrasah ibtidaiyah (SD) ini agaknya cukup mantap bekerja sebagai operator proyektor. Satu setengah tahun bekerja, sebagian gajinya yang Rp 15.000 (ditambah uang perangsang lainnya) ditabung. Ketika pertama kali masuk bekerja mengenakan celana pendek. Kini Abdul Karim sudah memakai celana panjang dan baju yang lumayan bagus. "Sekarang saya tidak lagi minta dibelikan pakaian pada orangtua saya," katanya. Rekan Abdul Karim yang lebih senior yaitu Rahmadi, 29 tahun, menganggap pekerjaan operator yang sudah dimulainya 3 tahun lalu (dengan gaji Rp 21.000), sebagai kerja sambilan. Pekerjaan utamanya, sejak 1969, sebagai pedagang. Dibantu istrinya ia berdagang barang-barang kelontong yang dijajakannya di dua kios Pasar Jetak, Kudus. Kedua operator ini juga merasa sehat. "Asal dua hal ditaati: selalu mengenakan penutup hidung selagi bekerja dan memindahkan film bila koolspits sudah dingin," kata Rahmadi. Selain minum susu, ia juga mengaku sering minum jamu tradisional. Seperti halnya karyawan bioskop yang lain, keuntungan jadi operator proyektor film ialah selalu mendapat karcis gratis. Mereka bisa mengajak keluarga atau teman-teman nonton. Bila Abdul Karim keranjingan film-film kungfu Rahmadi menyukai film-film yang menampilkan adegan merangsang. "Untuk menambah semangat muda," kata Rahmadi. Bahkan tak jarang ada operator yang "menemukan" adegan-adegan hidup. Misalnya Haryono, 31 tahun. Operator bioskop Serbaguna di Yogyakarta ini sering mencari-cari selingan segar di tengah tugasnya. "Bila filmnya menampilkan adegan-adegan syur, ada pula penonton yang ikut-ikutan syur. Asyik juga mengintip adegan hidup seperti itu," kata Haryono yang masih bujangan itu. Mustahid, 45 tahun, operator bioskop Soboharsono, juga di Yogya, justru tidak tertarik nonton film. "Paling-paling nonton sepotong-sepotong. Nonton film sepenuhnya tidak ada waktu," katanya. Mustahid yang bekerja berpasangan dengan Tri Suradi lebih beruntung ketimbang Haryono. Mereka bekerja ratarata 7 jam sehari, seminggu libur sehari. Gajinya pun lebih tinggi, masing-masing Rp 50 ribu dan Rp 32 ribu. Mereka menerima tunjangan kesehatan dan asuransi pula. "Hanya kaki mudah pegal karena harus sering berdiri mengawasi gambar ke layar putih," ujar Mustahid. Gaji yang diterima oleh Bakri, 36 tahun, operator bioskop kelas I, Istana, di Palu lebih tinggi lagi. Ia menerima Rp 60.000. Pernah menjadi lurah di Pare-Pare, kampung kelahirannya, ia mengaku menjadi operator "karena panggilan jiwa seni." Baginya, film yang memang amat digemarinya itu memang merupakan hasil seni. Dengan menjadi operator, dengan sendirinya ia bisa nonton gratis. Saking seringnya nonton, ia merasa jenuh juga. Karena itu ia mulai mempersiapkan kader sebagai penggantinya kelak, selain sebagai tenaga cadangan bila sewaktu-waktu ia berhalangan. Penonton bioskop Satriya di Surabaya Utara yang tergolong kelas murah dan khusus memutar film India dan Indonesia, selalu ramai. Toh gaji yang diterima Siaji, 29 tahun, cuma Rp 15 ribu. Untuk memenuhi kebutuhan istri dan dua anaknya, operator yang hanya tamat SD itu pagi hari nyambi bekerja di sebuah toko yang tak jauh dari Satriya. Di sini gajinya lebih besar, Rp 40 ribu. Sebelum matahari terbit ia sudah berangkat dari rumahnya di kawasan Karangmenjangan, mengayuh sepeda menempuh jarak 8 km. Siang tidak pulang, langsung menuju Satriya dan baru pulang tengah malam. "Sampai-sampai para tetangga menyebut saya berangkat gelap pulang gelap," ujarnya tertawa. Siaji agaknya kerasan bekerja sebagai operator. Selain karena pekerjaan itu warisan orangtuanya (Alimin, ayahnya sempat jadi operator selama 30 tahun) juga karena "yang diputar di sini film-film kesukaan saya. " Yang bikin Siaji suka sedih ialah proyektor merk Phillips FW-10 bikinan tahun 1920 yang suka ngadat. Untunglah siang hari sebelum jam pertunjukan, majikannya rajin memperbaiki alat itu. Operator Warsono, 30 tahun, dari bioskop Arjun Theatre di Embong Malang, Surabaya, juga mewarisi profesi orang tuanya. Ayahnya, Sugeng Rahardjo, hampir 40 tahun tak jemu-jemunya memutar film di Nusantara, bioskop tertua di Surabaya. Gajinya hanya Rp 16.500. Namun ia senang sebab setiap bertugas dua malam menjadi libur sehari. Selain itu juga mendapat jaminan kesehatan. "Banyak orang menduga bekerja sebagai operator itu mudah. Padahal tanggung jawab dan risikonya berat," katanya menunjuk bahaya koolspits. Belum lagi bila penonton jadi beringas kalau mendadak film tidak jalan karena proektor macet, misalnya. AYAH dari tiga anak yang sudah bekerja 12 tahun ini kadang-kadang ingin juga berhenti sebagai operator. "Tapi kalau ingat keluarga, niat itu saya urungkan. Hal itu saya anggap sebagai tantangan," katanya lagi. Untuk menambah penghasilan, pagi harinya Warsono yang tamatan STM Madiun itu bekerja di sebuah kantor film di Surabaya. Gara-gara koolspits itu pula Suyitno, 25 tahun, ingin meninggalkan pekerjaan sebagai operator bioskop Tapian Jaya, Medan, bila sudah menikah. Selain khawatir bahaya radiasi, "setiap malam meninggalkan istri di rumah kan kurang baik," katanya. Menghadapi kemungkinan kerewelan penonton -- bila film atau proyektor rusak -- Suyitno punya resep jitu. "Dengan cepat kita harus bisa menduga secara pukul rata jenis penonton yang datang. Apa kira-kira lagu kesukaan mereka. Kalau lagu yang diputar tepat, biasanya aman," kata Suyitno yang bekerja sejak 1975. "Lagi pula kemarahan mereka kan tidak pernah sampai ke ruangan kami," sambung Laurensa Manurung, 26 tahun, rekan Suyitno. Manurung baru 3 tahun jadi operator. "Meskipun tidak paham nama-nama peralatan operator, pokoknya saya bisa memutar film," katanya. Ia tamatan SLTP. Dan karena gajinya amat kecil, begitu pula gaji Suyitno, pagi harinya Manurung tak segan-segan jadi tukang becak di sekitar Tapian Jaya. Sebelumnya mereka pernah bekerja sebagai buruh penjaga penjemuran ikan di Medan. Peranan operator proyektor film rupanya begitu penting, seperti diungkapkan oleh M.M. Silitonga, pengelola Tapian Jaya, bioskop kelas I milik Pemda Sum-Ut itu: "Tanpa mereka, maka bintang-bintang film, sutradara, produser, pengedar film dan pengusaha seperti saya, tidak akan bisa hidup."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini