Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA cerobong belang putih-oranye mengeluarkan asap putih ke udara. Asapnya tipis, nyaris tak kasatmata, pada Jumat siang, 18 Agustus lalu. Dua cerobong kecil di sebelahnya menyemburkan asap cukup tebal. Asap itu dikeluarkan tungku pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batu bara milik PT Cikarang Listrindo Tbk di Desa Muara Bakti, Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yang tengah beroperasi.
Siang itu, sebuah tugboat bertulisan "Juna Mulya" menggeret tongkang bermuatan 1.000 ton batu bara menyusuri Sungai Cikarang Bekasi Laut dari Muara Gembong. Kapal penarik itu berlabuh di pelabuhan milik PT Cikarang. Batu bara di dalam tongkang kemudian dialirkan menuju PLTU.
Sejak pembangkit beroperasi pada 2017, warga Desa Muara Bakti terbiasa dengan hilir-mudik tongkang batu bara dan cerobong ngebul. Lili, warga RT 11 RW 06 Kampung Utan, mengeluhkan debu hitam hasil pembakaran batu bara yang beterbangan ke permukiman. “Kalau hujan turun pertama kali airnya enggak jernih, tapi kotor dan hitam,” ujar Lili, 60 tahun.
Keluhan soal polusi udara dari pembangkit Babelan menguatkan analisis Centre for Research on Energy and Clean Air atau biasa disebut CREA. Pendiri CREA, Lauri Myllyvirta, mengatakan pembangkit dan industri berbahan bakar batu bara menyumbang polusi udara bagi Jakarta dan sekitarnya. “Jakarta dikepung industri dan pembangkit,” ucap Lauri kepada Tempo, Rabu, 16 Agustus lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Muhammad Iqbal dari Tangerang berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mati Perlahan karena Polusi"