Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Program dan 'Bantingan' Mengurus Tinja

Sebuah kampung padat di Yogyakarta menjadi proyek percontohan sentralisasi pengelolaan limbah domestik.

21 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kali Winongo mengalir pelan. Riak-riak air keruh cokelat kehitaman menelusupi sela-sela karamba yang banyak ditanam di sepanjang sungai. Dengan lebar belasan meter, sungai ini membelah Kampung Serangan, Kelurahan Notoprajan, Ngampilan, Yogyakarta.

Kampung Serangan didominasi gang-gang sempit yang bertaut seperti sarang laba-laba. Rumah-rumah sederhana berdiri berdesak-desak, seolah sedang berparade dalam sebuah perlombaan menggapai matahari dan berebut menghirup udara. Belum lagi antena-antena televisi yang sikut-menyikut mengacungi angkasa. Televisi rupanya jadi hiburan favorit yang bisa diteguk penduduk Serangan.

Bau tak sedap selalu tercium manakala angin mengembusi kampung. Kalau "beruntung", genangan-genangan tinja hanyut beraneka rupa bisa disaksikan di sungai, bersaing dalam adu cepat dengan busa deterjen dan kantong-kantong plastik yang kemungkinan besar berisi sampah.

Warga kampung punya cara tersendiri untuk melepas hajat. Dari tiap rumah, mengalir pipa-pipa paralon langsung ke sungai. Karena keterbatasan lahan, "Hanya empat atau lima rumah yang punya septic tank sendiri," ujar Purnomo Hadi, 46 tahun, ketua RW 01 setempat. Sedangkan ratusan rumah lainnya mencemplungkan telek langsung ke aliran Sungai Winongo, yang jalannya kian lamban.

Persoalan feses—ditambah limbah domestik lain yang ikut dijejalkan ke sini—membuat wajah sungai tak keruan. Tak akan ada warga yang mau memasak air sungai untuk diminum. Untuk sekadar mencuci dan mandi pun warga ogah.

Suasana begitu tak hanya dirasakan warga Kampung Serangan. Menurut Anett Keller, Pejabat Humas Bremen Overseas Research and Development Association (BORDA), hanya 63 persen penduduk Indonesia yang punya akses terhadap sanitasi bersih. Akibatnya, kata Keller, derajat kesehatan menurun dan berdampak pada kualitas sumber daya manusia.

Berdasarkan laporan Human Development Index yang dikeluarkan UNDP (United Nation Development Programme) pada 2002, disebutkan bahwa sumber daya manusia Indonesia berada di urutan ke-112 di antara 175 negara di dunia, atau pada urutan ketujuh dari sepuluh negara ASEAN. Tentu itu tak semata akibat membuang hajat di sungai, tapi soal sanitasi punya peranan penting dalam derajat kesehatan manusia.

Potret sanitasi suram nan kumuh itulah yang dicoba dihapus lewat proyek community-based sanitation. Disponsori pemerintah Federal Jerman melalui sebuah LSM Jerman, BORDA, proyek ini membuat jaringan septic tank di Serangan. Bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Deutszhe Gesellschaft fur Technische Zusannebarveut (GTZ), program pembuatan instalasi pengolahan air limbah dilaksanakan oleh Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) dengan menggunakan teknologi yang dikembangkan Decentralized Wastewater Treatment System (DEWATS).

Maka, sejak Mei lalu, septic tank yang dibangun dengan duit Rp 172,8 juta itu sudah dimanfaatkan oleh 160 rumah yang ada di sebelah timur Kali Winongo. Warga setempat rupanya tak mau ketinggalan dalam mendukung program. Menurut Purnomo, mereka "bantingan" lima ribu perak tiap rumah untuk membuat bak-bak kontrol yang menghubungkan rumah warga dengan septic tank induk.

Memang, septic tank atau bak penampung tinja yang dibuat tak sekadar berupa cubluk tempat penampungan kotoran individual yang bisa disedot kalau sudah penuh. Menurut Ibnu Singgih Pranoto, seorang ahli di Divisi Riset dan Pengembangan DEWATS Indonesia, di wilayah itu dipakai instalasi pengolahan limbah tepat guna yang menggunakan jaringan septic tank antar-rumah. Tiap septic tank ini terhubung membentuk jaringan yang bermuara ke sebuah induk bak penampung tinja. Dari septic tank induk, limbah mengalami proses penyaringan dengan sistem baffled reactor dan anaerobic filter. Air yang keluar setelah lewat dua proses ini sudah aman dan memenuhi baku mutu lingkungan untuk dialirkan ke sungai.

Sadar kalau lingkungan padat penduduk punya keterbatasan lahan, desain bangunan instalasi pengolahan dan jaringannya betul-betul disesuaikan. Septic tank dengan pipa-pipa penghubung dan tangki pengolah awal dan sekundernya dibangun di bawah tanah. Jadinya, tidak mengganggu pemandangan dan—ini dia—tidak menebar bau. Sistem jaringan ini, menurut Ibnu, dapat mengolah satu sampai 1.000 meter kubik limbah organik per hari.

Menurut Andreas Ulrich, Country Representative BORDA, sistem pengolahan limbah terdesentralisasi seperti itu merupakan solusi yang sangat cocok untuk berbagai sektor. "Tidak hanya untuk daerah permukiman, tapi bisa dipakai di kawasan industri kecil, rumah sakit, hingga perhotelan," kata Ulrich.

Pernyataan Ulrich didukung fakta betapa banyaknya potensi air limbah di Indonesia. Ia menyebut lebih dari 100 ribu usaha kecil dan menengah di negeri ini yang menghasilkan limbah tiap harinya. Ini masih harus ditambah buangan limbah domestik dari 225 juta penduduk yang tersebar di 17.000 pulau dengan tingkat kepadatan rata-ratanya 800 orang tiap kilometer persegi dengan 50 persen dari total populasi ini tinggal di daerah perkotaan. Juga fakta bahwa sistem saluran air kotor di Indonesia hanya terpusat di tujuh kota untuk satu juta orang. Untuk Pulau Jawa saja, tiap tahunnya dihasilkan limbah domestik tak kurang dari 4.380 juta meter kubik.

Limbah-limbah serupa itulah yang diolah di Serangan dengan jaringan septic tank dan instalasi pengolahnya. Sistem pengolahannya terdiri atas sedimentasi, septic tank, facultative lagoon, anaerobic filter, baffled reactor, planted gravel filter, dan sludge drying bed. Penerapannya berpijak pada empat sistem, yaitu pengolahan awal dan sedimentasi, pengolahan sekunder anaerobik dengan reactor fixed bed atau reactor baffled, pengolahan tersier aerobik/anaerobik pada filter aliran bawah tanah, dan pengolahan tersier aerobik/anaerobik di dalam kolam.

Sistem dengan proses anaerobik di dalamnya itu, menurut Ibnu, merupakan proses mekanis dan biologis yang bertujuan menghilangkan bahan kimia non-organik beracun, seperti logam berat, sebelum limbah masuk ke tahap pengolahan biologis. Akibatnya, air dari bak terakhir sudah bersih dan dapat dialirkan ke sungai atau ditampung di kolam untuk memelihara ikan atau menyiram tanaman.

Kini, sudah lebih dari enam bulan sejak instalasi dibangun di Serangan. Pada evaluasi yang dilakukan minggu lalu, terlihat perubahan yang cukup berarti. Genangan-genangan tinja yang dulu sering menghiasi Kali Winongo dan menebar bau tak sedap sudah berkurang banyak. "Sekarang lebih bersih," ujar Purnomo.

Agus Hidayat, L.N. Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus