Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

"GULAG" ITU BERNAMA ORDE BARU

29 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GULAG ternyata bukan penjara paling tenar di dunia. Gulag, dalam tulisan Carmel Budiardjo, tak lain adalah Indonesia di bawah Orde Soeharto. Begitu banyak orang mati tanpa ketahuan kuburnya. Puluhan ribu lainnya "disekolahkan" dan "dibina" kembali dalam sejumlah penjara yang tersebar di seluruh Indonesia, termasuk di Pulau Nusakambangan dan Pulau Buru. Banyak di antaranya yang mengalami penyiksaan dan kerja paksa hingga belasan tahun tanpa kesalahan yang jelas. Peradilan tak pernah digelar. Dan di antara mereka yang masih bertahan hidup yang kemudian dibebaskan, tanda penduduk mereka diberi stigma "ET" yang merupakan kepanjangan dari "eks tahanan politik". Sudahkah penderitaan mereka berakhir di situ? Belum. Banyak di antaranya yang kemudian menemukan keluarganya telah hancur berkeping-keping. Ada istri yang menceraikan suaminya, sebagian lagi takut bakalan susah menerima kembali suami/istri yang dituduh anggota PKI. Tapi lebih banyak pula di antara mereka yang kehilangan usia produktif tanpa kejelasan status. Bagi yang berkeluarga, "dosa" terus berlanjut dengan diberlakukannya kewajiban "bersih diri" dan "bersih lingkungan" bagi setiap warga negara yang ingin dianggap "baik" dan boleh berkeliaran secara bebas. Buku ini berawal dari kejadian Gerakan 30 September, sebuah peristiwa dahsyat yang membelah bangsa Indonesia yang hingga kini masih diselimuti teka-teki. Ketika peristiwa tersebut terjadi, ada banyak orang yang tiba-tiba mendapati diri mereka sebagai pihak yang "didakwa" dan "bersalah". Salah satunya adalah seorang perempuan Inggris bernama Carmel yang kemudian lebih dikenal sebagai Carmel Budiardjo. Carmel berikut suaminya, Budiardjo, ditangkap tanpa alasan yang jelas. Ia menghadapi dua tuduhan, yaitu sebagai agen komunis dan lainnya adalah sebagai agen Inggris yang ingin menjatuhkan Sukarno. Akibat tuduhan tersebut, selama tiga tahun, sejak 1968, ia harus meringkuk di sel Likdam dan kemudian dipindahkan ke penjara Bukit Duri. Sedangkan suami Carmel, yang menjabat sebagai pejabat senior pada Kementerian Angkatan Laut pada Oktober 1965 dan Maret 1966, sempat diperiksa dan ditahan dan kemudian dibebaskan atas perintah Wakil Panglima Angkatan Darat Jenderal M. Panggabean. Namun, pada 1968, Budiardjo harus mendekam di hotel perdeo selama 10 tahun tanpa pernah diadili. Apakah Carmel ditangkap akibat dosa suaminya? Boleh jadi, ya. Jawaban tak pernah ada, karena tak pernah ada peradilan terhadap diri Carmel. Ia hanya seorang peneliti masalah hubungan ekonomi internasional dan seorang dosen perguruan tinggi. Selama itu pula ia menjalani proses pemeriksaan yang tak jelas ujung pangkalnya. Buku ini adalah memoar atas pengalaman Carmel selama tiga tahun ditahan penguasa Orde Baru, yang ia tulis tak lama setelah ia dilepas dari penjara. Buku yang ditulis dengan gaya meloncat-loncat ini adalah buku yang penting bagi mereka yang berminat mempelajari sejarah kelam 1965. Dalam memoarnya itu, Carmel tak cuma mengungkap pengalaman dirinya, tapi juga kesaksiannya terhadap sejumlah perempuan remaja yang tak berdosa. Carmel melihat dari jarak dekat bagaimana para tahanan politik remaja mengalami proses penyiksaan yang hebat demi suksesnya skenario penguasa yang ingin mengegolkan keterlibatan Gerwani dalam penyiksaan para jenderal di Lubang Buaya. Dalam buku ini, meski kurang mendetail, Carmel menyinggung soal kebiasaan menge-"bon" para tahanan, yang biasanya berakhir dengan sang tahanan jadi cacat atau hilang ingatan. Turut serta sebagai interogrator yang "tangguh" dan kejam adalah seorang mantan staf Sekretariat CC PKI. Ia juga memberikan catatan yang cukup penting tentang Operasi Kalong yang di kemudian hari menjadi trade mark operasi intelijen Orde Baru. Begitu kembali ke Inggris, Carmel segera membantu Amnesty International mengampanyekan pembebasan para tahanan politik di Indonesia. Untuk memfokuskan kampanye yang dilakukannya, pada 1973 ia menerbitkan buletin Tapol. Sejak itu, Carmel lebih suka disebut sebagai aktivis hak asasi manusia. Pengalaman pahit di tangan penguasa yang menurut dia sangat kejam menindas kemanusiaan itu menjadikan dirinya sebagai seorang pejuang kemanusian yang tangguh. Itulah yang membuat dirinya dianugerahi Livelihood Award pada 1995. Hingga kini, dalam usianya yang telah renta Carmel terus berjuang dengan gigih membela rakyat Indonesia yang tak berdosa dari kekuasaan militeristik Orde Baru. Carmel yang dianggap sebagai seorang "santa penyelamat" ini mengaku dirinya memiliki ketahanan untuk melawan kekuasaan Soeharto berkat harapan satu-satunya: sekadar ingin ikut merayakan kejatuhan Soeharto. Stanley J.A. Prasetyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus