Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMILIK kebun karet boleh percaya. Kalau tanamannya itu berasal dari klon GT-1 berarti tahan penyakit. Namun, PT Socfin Indonesia (Socfindo) mcnanam karet dari bibit GT-1 sampai 11.000 (dari 17.000 ha), toh sekitar 70 ha malah meranggas. Daun tua, muda, dan pucuk-pucuknya setelah kuning lantas gugur. Dan itu terjadi terus-menerus dalam beberapa bulan terakhir ini. Iman, 44 tahun, administrator Socfindo di kebun Limapuluh dan Petatel, sekitar 140 km dari Medan, tak mengerti mengapa karet-karet klon GT-1 itu mengering. "Kita sudah minta Pak Basuki menelitinya," kata Derom Bangun, penasihat teknik manajemen Socfindo, yang mengaku tak ahli soal penyakit karet. Basuki, Direktur Pusat Penclitian dan Pengembangan Perkebunan Tanjung Morawa (P4TM), juga heran. "Ini kasus baru," kata doktor penyakit tanaman itu. Ia sendiri sudah mengamati dengan mata telanjang karet klon GT-1, milik Socfindo, yang keguguran daunnya itu. Ciri-cirinya seperti serangan jamur Corynespora cassiicola (sebut saja akrabnya: Cory) yang menggugurkan daun dan blsa mematikan pohon karetnya. Menurut Basuki, belum ada hasil penelitian di Indonesia, bahkan di Asia, yang menjumpai jamur itu pada klon GT-1. Biasanya, katanya, yang menyerang GT-1 adalah Colletitridium gloesporiodies dan Oidium hevea, jenis penyakit gugur daun tetapi tak seganas Cory. Basuki kemudian memeriksa daun klon jitu dengan mikroskop. Apa? Ia menjumpai koloni Cory-berukuran (1 x 0,1)mikro berasal dari suku Dematiaceae, bangsa Moniliales, kelas Deutromycetes, sub-devisio Deutromysotina. Serangan Cory itu termasuk aneh, mengingat selama ini dijumpai pada klon-klon karet percobaan dalam skala kecil, bukan pada GT-1. "Jamur itu," tutur Basuki, "pertama kali dijumpai di India pada 1961. Setahun kemudian kebun karet di Malaysia juga mengalami serangan serupa. Nigeria menyusul pada 1969." Sedang Indonesia baru eahu ada si Cory pada 1980 - di kebun Sembawa, Sum-Sel, lalu di kebun Cikumpai, Ja-Bar, Ngobo, Ja-Teng. Si Cory itu menyerang pada klon RRIC 103 asal Sri Lanka, KRS 21 asal Muangthai, dan RRIM 725 asal Malaysia. Keganasannya mula-mula dengan bercak-bercak hitam pada tulang dan urat daun. "Sehingga tampak scperti tulang ikan," kata Basuki. Selanjutnya, bercak itu membentuk bulatan yang terkadang tak beraturan. Dengan tambahnya umur daun, sebagian tulang dan urat daun menjadi cokelat dan kelabu, akhirnya kuning, lalu berguguran. Bahkan tangkai daun juga diganyang si Cory membekas bercak hitam hingga dibikin infeksi. Akibatnya, daun rontok, berikut tangkainya, tanpa menunjukkan bercak-bercak di helainya. Penyakit ini juga mudah menular. Dengan perantaraan angin atau bahan tanaman yang terinfeksi, spora Cory bisa hinggap, lalu tumbuh berkembang dan menimbulkan kerusakan. Klon-klon hasil seleksi Indonesia sendiri--seperti PPN 2058, PPN 2444, PPN 2447 - memang tidak kebal dari serangan Cory. Sedangkan klon GT-1 masih ampuh. Penemuan Basuki itu baru masih sebatas kebun Socfindo saja. Di kawasan lain di Asia, tutur Basuki, belum ada pertanda serangan Cory pada klon GT-1. Itu tercermin dalam laporan para pakar karet dari Malaysia, Sri Lanka, Muangthai - mereka juga menanam GT-1 -- pada pertemuan International Rubber Research and Development Board, di Bogor, 12 & 13 Februari lalu . Hasil penemuan Basuki itu masih diragukan keabsahannya. Dr. Chee Keng Hoy, pakar karet dari Rubber Research Institute Malaysia, yang juga ke kebun Socfindo, bclum bisa memastikan gugur daun itu karena ulah Cory. "Saya bingung," katanya, seperti ditirukan Iman. Di Malaysia, mereka amat serius menangam setiap kasus penyakit karet. "Sampai saat ini karet di Malaysia masih bebas penyakit," kata A. Raghavan, juru bicara Badan Pengembangan dan Riset Karet di sana. Dr. Nong Alwi, Kepala Bidang Penelitian Pemuliaan Karet dan Proteksi Balai Penelitian Karet Sungei Putih, Sum-Ut, Juga masih ragu pada penemuan Basuki. Menurut Alwi, yang sempat ngomong-ngomong dengan Chee Keng Hoy, gugur daun karet GT-1 itu anehnya mengelompok. Karet itu ditanam pada tahun yang sama. Karena itu, Alwi menganggap belum serius. "Kita tidak buru-buru mengatakan itu karena penyakit," katanya, tetapi b- ukan meremehkan temuan Basuki. Kendati demikian, keberanian Basuki menyatakan klon GT-1 di kebun Socfindo itu dihinggapi Cory merupakan lampu kunmg untuk perkaretan, terutama di Indonesia. Apalagi jika gara-gara Cory justru menghambat perkembangan lilit batang dan menurunkan produksi sampai 80%. Penyakit itu memang bisa diberantas. Misalnya dengan menyemprot fungisida yang mengandung unsur tembaga (Cu) dan Seng (Zn). "Tapi itu tidak ekonomis, karena biaya perawatannya mahal," kata Basuki. Padahal, kalau kebun karet lembap atau curah hujan merata sepanjang hari dengan suhu udara 26-29 C, Cory juga gampang merayap ke daunnya. Menurut Basuki, luas serangan Cory di Indonesia sekitar 530 ha dari 500 ribu ha seluruh areal tanaman karet. Tapi keganasannya itu bukan melanda klon GT-1 - kecuali yang dijumpai di Limapuluh itu. Memang aneh bila klon GT- 1 yang menjadi andalan - ditanam sekitar 60% areal karet di Indonesia - disakiti si Cory. Apa klonnya menurun daya tahannya, atau Cory sudah jadi jamur yang kuat, perlu diteliti lagi. Di samping itu, para pakar karet boleh berlomba dengan pembeli kayu karet. Akhir-akhir ini mereka memang getol memburu kayu itu, untuk diekspor. "Banyak pengusaha tak bisa tidur setelah banyak pohon karet ditebang," kata Harry Tanugraha, Kctua Gabungan Pengusaha Eksportir Karet Indonesia. Soalnya, harga ekspor kayu itu, misalnya ke Taiwan, bisa 300 dolar AS per m3, daripada dipakai untuk kayu bakar, yang cuma Rp 8.500,00 harganya. Cory tentu bukan malah menambah alasan menebang pohon karet. Suhardjo Hs., Budi Kusumah (Jakarta), Mukhlizardy M. (Medan), Ekram H. Attamimi (Malasyia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo