Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komitmen yang dihasilkan dari penutupan negosiasi kelima untuk Instrumen Hukum yang Mengikat (ILBI) tentang Plastik atau Global Plastics Treaty pada Minggu, 1 Desember 2024, mengundang kritik dan kekecewaan dari sebagian kalangan. Di antaranya adalah Aliansi Zero Waste Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aliansi menyatakan bahwa Intergovernmental Negotiating Committee di Busan, Korea, yang diikuti 175 negara itu sejatinya bertujuan mengakhiri pencemaran plastik di seluruh siklus hidup plastik, sesuai mandat Resolusi Majelis Lingkungan PBB. Namun komitmen itu tak dilihatnya di antara delegasi dari negara-negara Asia, kecuali Bangladesh dan Filipina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aliansi Zero Waste Indonesia menilai kurangnya ambisi dari kebanyakan negara Asia terhadap rancangan teks INC-5 untuk perjanjian yang mengikat secara hukum tentang pencemaran, terutama untuk mengurangi produksi plastik dan kandungan senyawa kimia berbahaya dalam plastik. Negara-negara Asia bahkan disebutnya 'bersikap diam' padahal mereka kontributor pencemaran plastik yang signifikan.
Nindhita Proboretno, Co-Coordinator Nasional Aliansi Zero Waste Indonesia, mengatakan pada akhir 2024, produksi plastik di Asia Tenggara diproyeksi mencapai 30,48 juta ton, dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan lebih dari 4 persen selama periode 2024-2029. Menurut dia, angka ini diperkirakan bakal meningkat menjadi menjadi 38,36 juta ton pada 2029 .
Di tengah pertumbuhan sampah plastik itu, bukti-bukti ilmiah semakin menunjukkan bahwa plastik membahayakan kesehatan manusia. Sejak 2020, lebih dari 200 penelitian mikroplastik telah dilakukan di kawasan ASEAN. Hasilnya, antara lain, menunjukkan paparan mikroplastik dalam tubuh manusia berkisar antara 80 hingga 490 mg per kapita per hari.
“Sebagai bagian dari masyarakat Asia yang sering disalahkan karena dianggap kontributor terhadap pencemaran plastik, kami kecewa bagaimana posisi negara-negara Asia pada proses negosiasi ini," kata Nindhita melalui keterangan tertulis, Senin, 2 Desember 2024.
Menurutnya, mereka lebih mendukung ekspansi produksi plastik tanpa melihat fakta apa yang terjadi di negaranya. "Padahal negara-negara Asia memiliki peluang besar untuk memimpin dengan memberi solusi sesuai dengan kearifan masyarakat lokal” ujar Nindhita lagi.
Pada pertemuan itu, sebanyak lebih dari 100 negara telah menyuarakan dukungan untuk menetapkan target global guna mengurangi produksi plastik. Sementara lainnya menentang pembatasan produksi. Dukungan, misalnya, datang dari Panama.
“Ini bukan sekadar simulasi, ini perjuangan untuk bertahan hidup,” ujar Juan Carlos Monterrey, Perwakilan Khusus untuk Perubahan Iklim & Direktur Nasional Perubahan Iklim dari Kementerian Lingkungan Panama pada penutupan agenda. Dia menambahkan, "Bagi kami, plastik adalah senjata pemusnah massal. Sudah saatnya negara-negara bertindak atau mundur!"
Pembatasan Partisipasi Masyarakat Sipil
Negosiasi INC-5 juga menuai kritik karena membatasi partisipasi masyarakat sipil, menimbulkan kekecewaan atas kurangnya transparansi dan inklusivitas. Mereka yang tergolong para pemantau (observer) dibatasi aksesnya ke pertemuan penting seperti Regional Meeting dan Contact Groups.
Peluncuran Laporan Unpacking Reuse in Asia pada 27 November 2024, mengiringi agenda Intergovermental Negotiating Committee (INC) Global Plastics Treaty di Busan, Korea. Peluncuran laporan dilakukan oleh sejumlah besar organisasi antara lain Aliansi Zero Waste Indonesia. (FOTO/Dietplastik Indonesia)
Selain itu, terdapat kendala logistik seperti jumlah kursi tidak memadai dan kesempatan berbicara di sesi plennary yang terbatas. Masalah ini pertama kali disuarakan pada INC-4 dan terus berlanjut selama Intersessional Work di INC-5 Busan tahun ini, menunjukkan kurangnya komitmen untuk benar-benar melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses perjanjian yang penting ini.
"Masyarakat sipil Indonesia sudah menempuh perjalanan jauh dengan keahlian dan pengalamannya masing-masing, tetapi suara kami diabaikan," kata Senior Advisor Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati. Nexus3 adalah anggota dari Aliansi Zero Waste Indonesia.
Menurut Yuyun, pembatasan akses dan peluang partisipasi menjadi hambatan besar untuk bisa dicapainya Global Plastic Treaty ini. "Namun, kita tidak boleh mundur. Kita harus terus memperjuangkan kesehatan, lingkungan, dan masa depan kita. Waktu sangat terbatas, dan hari ini adalah satu-satunya kesempatan untuk mendorong perjanjian yang ambisius dan bermakna,” katanya.
Usulan Delegasi Indonesia Mengundang Curiga
Abdul Ghofar, Juru Kampanye Polusi dan Perkotaan Walhi, spesifik mengkritik posisi Indonesia Teks Chair Non-Paper yang dirilis pada 29 Desember. Menurutnya, usulan Indonesia untuk mengganti judul Pasal 7 dari 'Emissions and Releases' menjadi 'Releases and Leakages' memperumit pemahaman tentang jalur pencemaran plastik dari hulu hingga hilir.
Dengan mengubah dan menambahkan kata 'leakages', kata Ghofar, intervensinya menjadi berorientasi pada pengelolaan sampah, bukan fokus pada kontrol pencemaran dari kegiatan produksi plastik di hulu sampai menjadi sampah. Dari usulan perubahan itu dicurigainya ada keterlibatan industri plastik untuk mengaburkan tanggungjawab mereka dan mengalihkannya menjadi beban publik.
“Lagi-lagi kami belum melihat posisi Indonesia yang berpihak kepada masyarakat," kata Ghofar sambil menekankan bahwa perjanjian atau negosiasi bukan hanya membahas kepentingan industri atau pengelolaan sampah, tapi juga tentang keberlangsungan hidup masyarakat. "Sudah banyak bukti, banyak kejadian, di Indonesia bagaimana kelompok rentan dan masyarakat di tapak terdampak langsung atas pencemaran plastik,” kata dia.