Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Rumpun Bambu Terakhir di Rancabayawak

Rumpun bambu sarang burung blekok sawah dan kuntul kerbau di Kota Bandung terancam tergusur proyek permukiman mewah. Direkomendasikan menjadi ekosistem yang dilindungi.

7 Januari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UJANG Safaat kian jarang melihat burung blekok sawah dan kuntul kerbau pulang ke sarangnya saat petang. Sejak pembangunan proyek Bandung Technopolis yang mengepung kampungnya, Rancabayawak, Kelurahan Cisaranten Kidul, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, guru sekolah dasar itu cuma bisa menyaksikan siluet kawanan burung tersebut sekelebat hinggap di ranting-ranting pohon bambu di gelap malam. "Perilaku burung-burung itu berubah," ujar pria 41 tahun yang menjabat Ketua Rukun Warga 02 Rancabayawak itu, Selasa dua pekan lalu.

Menurut Ujang, perilaku burung blekok sawah (Ardeola speciosa) dan kuntul kerbau (Bubulcus ibis) berubah akibat hilangnya persawahan dan area lahan basah tempat burung mencari makan dekat dengan sarangnya. Akibatnya, migrasi harian kawanan burung untuk mencari makan pun bertambah jauh hingga ke Bandung Selatan. Tak mengherankan jika kawanan burung tiba kembali di sarangnya menjelang malam.

Hilangnya tempat mencari makan bukan ancaman satu-satunya bagi kawanan burung blekok sawah dan kuntul kerbau, yang termasuk satwa dilindungi sesuai dengan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Sarang tempat mereka tidur dan berbiak pun bakal tergusur jika pagar perumahan mewah itu berdiri.

Ujang, yang memiliki lahan salah satu rumpun bambu, bercerita, bambu tersebut sengaja ditanam buyutnya untuk melindungi kampung yang berada di tengah persawahan itu dari terjangan angin ribut yang kerap melanda. Rimbunnya rumpun bambu mengundang blekok sawah dan kuntul kerbau, yang terusir dari habitat asalnya di sekitar persawahan Kota Bandung, bermigrasi ke Rancabayawak pada 1990-an.

"Dulu Gedebage ini didominasi persawahan dan rawa yang disukai burung blekok sawah. Mereka hidup berdampingan dengan petani," ujar Ujang.

Kehadiran burung-burung itu sempat mengusik penduduk. Ujang mengatakan penduduk terganggu oleh bau kotoran burung-burung itu. "Kalau musim panas dan turun hujan, bau kotorannya yang anyir itu sangat menyengat," tuturnya.

Saat merebak kasus flu burung pada 2004, warga Rancabayawak merasa khawatir sehingga mendesak pemerintah desa memusnahkan rumpun bambu supaya burungnya minggat. "Dua rumpun bambu sempat ditebang," kata Ujang, mengingat jumlah rumpun bambu yang kini tersisa delapan itu.

Namun, Ujang menyebutkan, lama-kelamaan penduduk bisa menerima keberadaan kawanan burung itu. Bahkan, menurut dia, kehadiran burung blekok sawah ternyata membawa berkah. Rancabayawak menjadi tenar sebagai Kampung Blekok dan dikunjungi turis yang ingin menyaksikan burung di sarangnya. Hal itu dimanfaatkan penduduk membuat produk bermerek Blekok sebagai oleh-oleh. "Ada telur asin Blekok dan lainnya," ucapnya.

Untuk mengkonservasi burung blekok di kampungnya, Ujang bersama para tetangganya akan menanam lima rumpun bambu. Satu rumpun bambu terdiri atas sekitar 300 pohon. "Targetnya menambah 1.500 pohon lagi."

Ujang pun meminta pihak pengembang Bandung Technopolis menyediakan ruang bagi burung blekok sawah dan kuntul kerbau mencari makan. Idealnya, kata dia, perlu ruang selebar 50 meter di sekeliling habitat burung blekok.

Peneliti dari Burung Indonesia, Achmad Ridha Junaid, mengatakan seharusnya ada zona peralihan antara sarang burung dan permukiman. Berapa luas zona peralihan itu, menurut Ridha, bisa bervariasi, bergantung pada tingkat gangguan. Namun ia tak menampik soal sulitnya mendapatkan lahan di perkotaan. "Makin besar jarak zona peralihan itu makin baik," ujarnya.

Ridha mengatakan blekok sawah dan kuntul kerbau termasuk burung air yang biasanya berkumpul di satu tempat untuk bersarang dan pergi mencari makan ke wilayah persawahan, rawa, atau mangrove. "Makanannya itu siput, keong, serangga air, ikan kecil, dan kepiting kecil," ucapnya. Karena posisinya dalam rantai makanan itu, menurut Ridha, burung kuntul kerbau memiliki fungsi ekologis sebagai pengendali hama pertanian dan penjaga kualitas air.

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat Sustyo Iriyono mengatakan pihaknya telah menyurvei habitat blekok sawah dan kuntul kerbau di Rancabayawak. Survei pada Oktober 2017 itu menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah daerah untuk melindungi Kampung Rancabayawak sebagai ekosistem esensial. Ekosistem esensial adalah kawasan di luar sistem kawasan konservasi yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi, tapi menghadapi tekanan sangat tinggi sehingga perlu didorong upaya konservasinya.

Sustyo mengatakan ada dua rekomendasi yang diberikan BBKSDA Jawa Barat, yakni melestarikan habitat dan membuat area untuk burung blekok sawah dan kuntul kerbau mencari makan. "Burung itu mencari makan di area persawahan, tapi kawasan Gedebage dan Bandung Timur dijadikan permukiman sehingga otomatis sawahnya berkurang," ucapnya.

Sustyo menyebutkan, pihak pengembang Bandung Technopolis telah berkomitmen tidak menghilangkan habitat burung blekok di Kampung Rancabayawak. Bahkan, menurut dia, pihak pengembang berjanji membuat kolam dan menambah rumpun bambu di wilayah kampung seluas 2,1 hektare dengan populasi 238 jiwa tersebut. "Kampung Rancabayawak tidak akan tergusur," ujarnya meyakinkan.

Kepala Seksi Konservasi, Tanah, dan Keanekaragaman Hayati Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung Salman Faruq mengatakan sedang merancang Rancabayawak sebagai kawasan konservasi tinggi. "Kami sedang merancang itu," katanya. Untuk mendukung area konservasi tinggi itu, Pemerintah Kota Bandung dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, menurut Salman, akan membangun ruang terbuka hijau dan danau buatan di sekeliling Kampung Rancabayawak. "Dengan dua itu sudah mendukung."

Soal populasi burung-burung tersebut, kata Sustyo, sulit dipastikan. Jumlah burung berubah setiap waktu. Ia mengatakan populasi burung blekok sawah di Kampung Rancabayawak akan naik drastis pada Desember-April. "Hal itu mungkin dipengaruhi oleh faktor migrasi burung yang tinggi," ujarnya.

Ridha menduga populasi dua spesies burung tersebut masih cukup tinggi sehingga statusnya di International Union for Conservation of Nature-organisasi internasional untuk pelestarian keanekaragaman hayati-dikategorikan berisiko rendah. Berdasarkan pengamatan BBKSDA Jawa Barat, populasi kuntul kerbau di Rancabayawak diperkirakan sekitar 800 ekor. Sedangkan hasil pengamatan Bird Conservation Society Universitas Padjadjaran pada 2011 menyatakan populasinya 658-786 ekor.

Iqbal T. Lazuardi S., Dody Hidayat


Kuntul Kerbau (Bubulcus ibis)
- Ukuran 50 sentimeter.
- Bulu putih dengan sapuan jingga pada dahi. Saat berbiak, bulu kepala, leher, dan dada berwarna jingga pupus.
- Iris mata kuning, paruh kuning, dan kaki hitam.
- Migrasi harian terdekat radius 8 kilometer dan terjauh 150 kilometer.
- Perkiraan populasi di Rancabayawak: 800 ekor

Blekok Sawah (Ardeola speciosa)
- Ukuran sekitar 45 sentimeter.
- Bulu kepala kuning, bulu dada kuning dengan coret-coret cokelat, bulu sayap putih, dan bulu punggung cokelat nyaris hitam.
- Iris mata kuning, paruh kuning berujung hitam, dan kaki hijau buram.
- Perkiraan populasi di Rancabayawak: 3.000 ekor

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus