Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA tentu belum lupa euforia La La Land. Film arahan Damian Chazelle itu hujan puja-puji dan mematahkan anggapan bahwa film musikal tak akan laku dijual. La La Land menjadi film musikal paling banyak menggondol Golden Globe sepanjang sejarah, bahkan sempat pula dinobatkan sebagai film terbaik Oscar- selama lima menit, sebelum dinyatakan ada kekeliruan dan Moonlight-lah sebenarnya yang menang. Selagi tren itu belum pudar, 20th Century Fox bergegas merilis The Greatest Showman, film musikal berdasarkan kisah nyata seorang pionir dunia hiburan, Phineas Taylor Barnum.
Barnum (1810-1891) paling diingat sebagai pendiri Barnum & Bailey Circus. Ia pelopor pertunjukan sirkus dan yang pertama kali mengadakan tur keliling dengan kereta. Karier pertamanya di bidang pertunjukan adalah mendirikan Barnum’s Grand Scientific and Musical Theater di New York, Amerika Serikat, museum yang memamerkan orang "aneh", seperti putri duyung Feejee dan Jenderal Tom Thumb- seorang manusia kerdil. Fase pertama karier Barnum inilah yang menjadi fokus utama cerita. Tentu diselingi lagu-lagu dan tarian meriah di sana-sini.
Mulanya, kita melihat Barnum kecil yang miskin. Ia naksir seorang putri dari keluarga kaya, Charity, yang syukurlah juga membalas cintanya. Adegan masa kecil itu hanya sebentar. Selanjutnya, kita langsung diajak ke masa ketika Barnum dan Charity sudah menikah, punya dua putri, dan hidup pas-pasan di apartemen kecil, tapi mereka bahagia. Mereka biasa bernyanyi-nyanyi riang di antara jemuran di atap apartemen.
Namun Barnum selalu gelisah karena ingin memberikan kehidupan lebih baik bagi Charity. Setelah dipecat dari pekerjaan kantoran, Barnum, yang punya banyak akal, pun terpikir untuk membuka museum hal-hal ganjil. Ia mengumpulkan orang berfisik tak biasa dari seluruh negeri, seperti perempuan berjanggut, manusia cebol, dan orang tergendut di dunia; pemain trapeze; serta gajah dan singa. Berkat kemampuan pemasaran Barnum (dan sedikit menipu ini-itu), sirkus tersebut sukses.
Hugh Jackman, yang kemampuan musikalnya telah diakui lewat piala Aktor Terbaik Tony Awards (The Boy of Oz, 2004), didapuk memerankan Barnum. Dari detik pertama, terasa betul betapa Jackman amat bersemangat akan perannya dalam film ini. Lupakan Jackman yang merengut melulu sebagai Logan. Dalam film ini, ia begitu energetik. Berkostum seorang pemimpin sirkus dengan topi tinggi, Jackman membuka film dengan langsung menebarkan semangat lewat nomor pembuka The Greatest Show. Dalam setiap adegan, Jackman menyanyi dan menari dengan antusias.
Penggarap lirik film ini, Ben Pasek dan Justin Paul, adalah pemenang Oscar untuk gubahan mereka di La La Land. Seperti di La La Land, lagu-lagu dalam The Greatest Showman punya lirik kuat dan efek melekat di ingatan. Koreografi dan efek saat adegan nyanyian pun megah, penuh warna, dan menghibur. Lihatlah para pemain sirkus yang begitu ringan berjumpalitan di udara sambil menyanyi, atau adegan menari dengan gelas dan bir. Namun sutradara Michael Gracey (yang baru pertama kali mengarahkan film layar lebar) gagal memadukan lagu dan tata gerak indah itu dengan kekuatan cerita.
Semua berjalan terasa begitu cepat. Tak ada waktu untuk membangun karakter yang dapat membuat penonton merasa terhubung dengan Barnum ataupun tokoh lain. Kehadiran nama-nama dengan kemampuan akting mumpuni, seperti Michelle Williams (Charity) dan Zac Efron (Phillip Carlyle), seakan-akan disia-siakan. Sebab, kita tak banyak melihat kemampuan akting mereka.
Ada plot amat kuat dan menarik yang semestinya bisa digali lebih dalam tapi dibiarkan begitu saja, yakni bagaimana Barnum memberi panggung dan kepercayaan diri bagi orang-orang "aneh" yang sebelumnya dikucilkan dan jadi korban perundungan. Salah satu penampilan paling layak diingat adalah saat kelompok ganjil pimpinan perempuan berjanggut Lettie Lutz (Keala Settle) itu menampilkan anthem This is Me tentang menemukan keberanian untuk mencintai diri sendiri.
Sayang, belum selesai plot itu dieksplorasi, sudah muncul lagi konflik baru, seperti perjumpaan Barnum dengan penyanyi opera Eropa, Jenny Lind (Rebecca Ferguson), dan kisah cinta Philip Carlyle dengan Anne Wheeler (Zendaya). Begitu banyak yang hendak diceritakan dalam rentang waktu terbatas. Boleh dibilang, film ini dapat membuat kita terhibur, tapi gagal menyentuh hati seperti saat menyaksikan kisah cinta Sebastian dan Mia di negeri La La.
Moyang Kasih Dewimerdeka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo