KARNAWI dan Wardi, sore itu, berangkat melaut. Menyusuri tepian Kali Angke yang airnya cokelat kehitaman, perahu motor itu meluncur pelan di sela-sela perahu lain yang sedang sandar. Karnawi mengolah kemudi di buritan. Sementara itu, Wardi berdiri di anjungan, sembari memegang galah bambu panjang untuk mengarahkan perahu agar tak membentur kapal lain. Perahu Karnawi bergegas ke laut lepas, dengan berbekal jala gill net sepanjang lima puluh depa. Sebongkah harapan mereka pancangkan: esok pagi membawa sekuintal ikan tangkapan. Dua nelayan Muara Angke ini adalah bagian kecil dari sebelas ribu nelayan, yang mangkal di sekitar pelabuhan Pasar Ikan, Jakarta. Dan mereka termasuk kelompok kecil nelayan yang berdaya jelajah pendek. Dengan perahu berukuran panjang enam meter serta lebar lambung satu setengah meter, Wardi hanya mampu mengarungi Teluk Jakarta atau, paling jauh, perairan Pulau Seribu. Teluk Jakarta dan perairan Pulau Seribu memang tak lagi menjanjikan hasil tangkapan yang besar. "Sudah sulit bagi nelayan untuk memperoleh tangkapan yang memadai," ujar Soemaryo Wijoyo, Kepala Dinas Perikanan DKI Jakarta. Maka, bagi Karnawi dan Wardi, adalah sebuah keberuntungan jika semalam melaut dapat membawa pulang ikan sekuintal. Perairan Jakarta memang sudah tak lagi nyaman bagi ikan dan udang untuk beranak-pinak. Teluk Jakarta -- yang membentang dari Tanjung Karawang di timur sampai Tanjung Pasir di barat -- secara bertahap berubah. Terutama karena desakan bahan cemaran. Berbagai macam bahan buangan menumpuk di teluk yang memiliki rentangan mulut selebar empat puluh kilometer ini. Tak heran bila perairan ini, kini, bagaikan tong sampah: tempat pembuangan segala macam limbah industri maupun limbah rumah tangga. Betapa tidak. Dari 240-an buah industri besar di Jakarta, ditaksir sekitar 280 ribu ton bahan beracun berbahaya (B3) dihanyutkan tiap tahun. Jika ditambah dengan industri kecil-kecil lain di seluruh wilayah Jabotabek (Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi), maka tak kurang dari 570 ribu ton B3 dimuntahkan ke perairan seluas 490 km2 ini. Segala macam bahan buangan itu dibawa tujuh belas sungai di Jakarta, lalu menumpuk di sembilan buah muara, sebelum mencemari Teluk Jakarta. Sungai Cakung, Buaran, dan Cipinang, mengangkut limbah dari wilayah Jakarta Timur, termasuk kawasan industri Pulogadung, Cideng, Krukut, Ciliwung dengan anak-anak sungainya -- mengangkut limbah industri dan rumah tangga di sekitar DAS Ciliwung. Sedangkan Kali Angke, Pasanggrahan, Kali Grogol menghanyutkan limbah dari Jakarta Barat. Akibatnya? Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Oseanologi LIPI mencatat terjadinya pencemaran logam berat. Dr. Kasijan Romimohtarto, ketua lembaga itu, dalam sebuah makalahnya, menunjukkan terjadinya pencemaran merkuri (Hg) dan timah hitam (Pb). Konsentrasi kedua jenis logam berat itu, menurut makalah yang disampaikan Kasijan pada sebuah seminar tentang pencemaran logam berat yang diselenggarakan di Manila dua tahun lalu sudah melampaui baku mutu yang direkomendasikan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) Emil Salim. Kadar Hg dalam air teluk mencapai 9 ppb (part perbillion). Padahal, batas yang direkomendasikan Menteri KLH mestinya 6 ppb. Sedangkan konsentrasi Pb mencapai ratarata, 0,24 ppm. Jauh melampaui nilai baku mutu yang 0,075 ppm. Menteri KLH Emil Salim sendiri secara terbuka mengakui adanya kontamlnasi logam berat itu. "Pencemaran memang sudah terjadi," ujarnya, "Tapi, masih dalam batas-batas yang tidak terlalu mencemaskan". Keberadaan pencemar logam berat itu, tentu, berpengaruh terhadap kualitas biota laut. Hasil penelitian Horas Hutagalung dan Hamidah Razak, juga dari Puslitbang Oseanologi, membuktikannya. Riset empat tahun lalu itu mengungkapkan indikasi terjadinya kontaminasi loam berat atas ikan-ikan yang ditangkap di sekitar Muara Anke. Kadar merkuri dalam ikan manyung (Arius sp.), misalnya, mencapai 1,020-1,055 ppm. Sedangkan kerang bulu dan udang (Paneus sp.) masing-masing mencapai 1,21,288 ppm dan 0,880 ppm. Tentu, angka ini melampau ambang, yang direkomendasikan WHO, yakni 0,5 ppm. Ikan-ikan ini tercemar akibat kondisi lokal. Maksudnya, mengingat biota itu bukan dari jenis yang suka kelayapan ke sana-kemari, dapat disimpulkan tinggi akumulasi logam berat dalam tubuhnya itu lantaran makanannya -- fitoplankton dan zooplankton -- telah terkontaminasi logam itu. "Memang, agak lebih tinggi dari batas ideal," ujar Horas Hutagalung. Tapi Emil mengingatkan agar konsumen tak terlalu cemas. Dalam ambang batas itu dikenakan pula faktor pengaman sebesar 100 kali. Artinya, batas bahaya yang sebenarnya -- yang membuat dapat langsung menimbulkan gejala keracunan adalah seratus kali dari kadar yang ditetapkan sebagai ambang batas. Ini pun jika ikan itu dikonsumsi dalam jumlah cukup besar secara terus-menerus. Teluk Jakarta boleh dibilang sebagai daerah terbuka. Deretan pulau-pulau Damar Besar sampai Onrust dekat Tanjung Pasir adalah benteng alami yang mampu meredamkan pantai dari arus berat. Di Musim Timur, Juni -- September, kecepatan arus di kawasan teluk sedalam 10-30 meter ini hanya sekitar 0,1-0,2 meter per detik. Kecepatan arus dalam teluk tak sederas di luar. Ke dalam teluk yang tenang itulah tujuh belas sungai dari sembilan muara memuntahkan muatannya. Pada musim hujan 1981-1982, menurut Dr.Ir. Bianpoen dari Pusat Penelitian Pengembangan Perkotaan dan Lingkungan (P4L) DKI Jakarta, air di bagian hulu sungai itu, 14 di antaranya masih segar. Namun, pada pengamatan tahun 1984, hanya enam sungai yang masih bertahan segar. Selebihnya telah tercemar dengan bahan-bahan kimia dalam kadar yang cukup tinggi. Pada musim kering 1982, ratarata nilai COD (kebutuhan oksigen untuk oksidasi) di hulu tercatat sekitar 15 ppm. Dua tahun berikutnya menjadi 40 ppm. Sedangkan pada musim hujan 1982, COD di tempat yang sama sebesar 25 ppm, dua tahun kemudian melonjak menjadi 40 ppm. Ini indikasi kian banyak bahan kimia anorganik yang terlarut dalam air sungai. Dalam sistem larutan bahan-bahan kimia itu memerlukan oksigen untuk proses oksidasinya, agar berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Nah, kondisi inilah yang menciptakan kebutuhan oksigen yang tinggi. Akibatnya, oksigen terlarut dalam air sungai menurun. Tentu, ini memperburuk suasana Teluk. Dari 240-an industri yang mengalirkan limbah ke Teluk Jakarta, 29 buah di antaranya adalah industri logam, 17 buah industri peralatan listrik dan telekomunikasi, 11 buah industri elektronik 8 buah industri pupuk dan pestisida, 40 buah industri kimia. Jenis industri inilah yang sering dianggap bertanggung jawab atas pencemaran bahan beracun berbahaya. Adalah PT Asahimas, perusahaan lembaran kaca yang berlokasi di Ancol, yang sering dituding sebagai biang pencemar Teluk Jakarta. Tuduhan ini ditolak oleh manajemen perusahaan patungan Jepang-Indonesia ini. "Memang banyak orang yang beranggapan, Asahi yang mencemari Teluk Jakarta," ujar Togi Simanjuntak, manajer produksi perusahaan itu, kesal, "padahal kami sama sekali tak mengeluarkan limbah bahan berbahaya". Lalu, Togi menyodorkan hasil pemeriksaan limbah yang dilakukan oleh Puslitbang Lemigas. Hasilnya menunjukkan air limbah Asahi hanya mempunyai konsentrasi Hg dan Pb masing-masing 0,2 ppb dan 0,05 ppm. Batas maksimal yang diizinkan, untuk air limbah, 5 ppb dan 1 ppm. Kalau penelitian itu benar, limbah tadi memang tak melampaui batas yang diizinkan Depkes. Ini hasil pengecekan pertengahan Juni lalu. Ketika TEMPO diajak berkeliling seputar pabrik, tampak air limbah yang jernih agak kehijauan. Ketika diukur pH-nya, dengan kertas lakmus, ternyata tujuh. Normal, memang "Sering ada ikan belanak yang masuk got, jika laut pasang naik, dan nyatanya nggak mati," sela Primadi Yusuf, asisten manajer produksi. Togi menyambung lagi. "Di sekitar sini 'kan banyak pabrik kenapa Asahimas yang harus dituding". Beberapa orang tampak memancing di belakang tembok pabrik Asahimas, dengan hasil ikan belanak kecil-kecil. Ternyata, keruhnya air di pantai itu tak menghalangi ikan datang bercengkerama di bagian yang tenang dan dangkal di belakang pabrik itu. Kontaminasi logam berat ternyata tak hanya terjadi atas biota pantai Jakarta. Sebuah penelitian dari IPB menunjukkan, perairan Teluk Jakarta tak lagi ideal untuk usaha budi daya ikan. Ini, tentu, erat kaitannya dengan tinggi akumulasi logam berat -- terutama Hg dan Cd dalam fito dan zooplankton. Di Pulau Onrust ternyata ditemukan kerang budi daya yang konsentrasi Hg dan Cd-nya melampaui standar WHO yang 0,5 ppm. Teluk Jakarta sebagai perairan tempat bermuaranya banyak sungai dengan arus yang tak terlalu deras sebetulnya merupakan daerah yang produktif. Penelitian Anugrah Nontji, untuk disertasinya di IPB tahun lalu, menunjukkan bahwa produktivitas perairan ini cukup tinggi. Produktivitas primer -- yakni pembentukan biomassa oleh fitoplankton lajunya cukup tinggi. Rata-rata dalam satu hari 2,89 karbon dapat terserap untuk diubah dalam bentuk karbohidrat per satu meter persegi permukaan. Atau dengan kata lain produktivitasnya mencapai 36 mg C/ meter kubik air per jam. Angka ini, menurut disertasi itu, jauh lebih besar ketimbang perairan Belawan yang hanya mencapai 24,5 mg C/m3 perjam. Dan jauh lebih besar dibanding perairan Selat Malaka yang hanya berkisar 1-7 mg C/m3 perjam. Tapi, tingkat produktivitas perairan Jakarta ini jauh ketinggalan dibanding Pantai Timur India yang mencapai 403 mg C/m3 per jam. Ini merupakan indikasi bahwa perairan masih cukup jernih, penetrasi radiasi tak banyak terhalang. Tapi, mengapa produktivitas plankton ini tak diikuti pertambahan populasi ikannya? Boleh jadi, perubahan ekosistem yang terjadi membuat fitoplankton nyaman, tapi tidak untuk ikan. Dengan demikian, iklan-iklan domestik, tak mampu beradaptasi sebaik fitoplankton. Bahkan, kehidupan ikan-ikan ini tampaknya kian terancam. Buktinya, seperti terjadi dua minggu lalu. Ikan-ikan mati keracunan. Dan berton-ton ikan korban terbuang sia-sia. Menteri KLH Emil Salim sendiri sampai awal minggu ini belum bisa memastikan asal racun yang membuat celaka ikan-ikan tersebut, terutama di bagian timur Teluk Jakata. Tapi, tampaknya eksplosi racun yang terjadi minggu lalu itu mirip seperti yang terjadi selama ini: pelanggaran terhadap ketentuan konservasi yang ada. Hanya saja, rupanya pelanggaran yang satu ini lebih nekat. Putut Tri Husodo Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini