Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Boleh Makan Ikan, Asal ...

Berita tercemarnya ikan di teluk jakarta tak menyebabkan sepinya restoran-restoran. para konsumen tak takut melahap ikan. ikan konsumsi jakarta berasal dari luar perairan jakarta. (ling)

16 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITA tentang tercemarnya ikan di Teluk Jakarta ternyata tak menggoyahkan selera banyak penduduk Jakarta. Pekan lalu, misalnya, Anto tetap saja menyantap habis hidangan kakap bumbu kecap campur tauge yang satu porsinya Rp 5.000 di Restoran Seafood Senayan, Jakarta Selatan. "Saya percaya ikan yang dihidangkan di sini tak tercemar," ujarnya yakin. "Kami memang menjaga sekali kualitas ikan laut yang kami jual," kata Januel H.M., penanggung jawab restoran yang termasuk kelompok perusahaan rokok Djarum tersebut. Minat pengunjung ke restorannya, katanya, tak menurun selama dua pekan terakhir berita pencemaran ikan itu berkecamuk. Sebagian besar ikan yang dimasak di restoran kelas menengah atas ini dibeli di Muara Baru dan Muara Angke. Restoran kelas bawah tampaknya juga tak terpengaruh. "Sampai sekarang jumlah pengunjung biasa-biasa saja," tutur seorang pedagang udang dan kepiting rebus di kaki lima Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat. Malam Minggu lalu, warung yang beratapkan tenda plastik dan disekat kain blacu ini tampak penuh. Di bawah sinar lampu petromaks, para pengunjung menyantap kerang rebus atau udang rebus yang seporsinya Rp 250 dan Rp 750 itu. Tiap hari, pedagang ini rata-rata menghabiskan 6 kilo kerang, yang dibelinya di Pasar Kamal, dekat Ancol. Di tempat pelelangan ikan (TPI) Muara Baru, Jakarta Utara, kematian ikan tersebut juga sama sekali tak berpengaruh. "Permintaan tak menurun," kata seorang petugas TPI. Ia mengaku tahu peristiwa kematian ikan itu dari koran. "Di Muara Baru sendiri tak ditemukan ikan mati," ucapnya. Ikan yang dibongkar di Muara Baru, hampir seluruhnya ikan-ikan jauh. Artinya, tidak berasal dari perairan Jakarta. "Kalau hanya di sekitar Jakarta, mana bisa kita dapat tangkapan," kata Suradi, 33, kapten kapal Omega, yang Minggu malam lalu membongkar hasil tangkapannya di TPI tersebut. Nasib tampaknya kurang bersahabat dengan Omega. Hasil tangkapan kapal berukuran panjang 13 meter dan lebar lambung 4 meter itu, selama 15 hari berlayar, tak sampai satu setengah ton. Padahal Suradi bersama 5 anak buahnya telah memburu ikan sampai ke perairan Tanjungpandan, Bangka, dan perairan selatan Kalimantan. Di Muara Baru, setiap hari sekitar 20 perahu penangkap ikan membongkar tak kurang dari 25 ton ikan. Namun, menurut seorang petugas, ikan yang dikirim lewat darat dari daerah-daerah penghasil ikan lainnya, seperti Surabaya, Gresik, Jepara, Pekalongan, Cirebon sampai Banten, sekitar 40 ton. Dan, ikan sekitar 65 ton itu ternyata lebih sering terjual habis. Harganya, menurut Casmita, seorang juragan ikan, "Cukup bagus". Tenggiri segar yang kelas satu Rp 1.750 sekilo, bawal Rp 1.500 sekilo. Tenggiri kelas dua, yang agak gembur lantaran sudah lama disimpan, Rp 1.500 sekilo. "Tahun ini harga ikan stabil," ujar Casmita. Ikan yang dijual untuk penduduk Jakarta sebagian besar memang bukan hasil tangkapan dari Teluk Jakarta. Menurut catatan Dinas Perikanan DKI, jumlah tangkapan dari Teluk Jakarta -- seperti ikan timbang kakap merah, dan sembilang -- setiap bulannya cuma sekitar 47 ribu kg. Padahal, ikan yang terjual di Jakarta tiap bulan sekitar 2,2 juta kg. "Itu berarti jumlah tangkapan ikan dari Teluk Jakarta hanya sekitar 2 persen. Kecil, 'kan," kata Menteri KLH Emil Salim. Meski cuma 2 persen, apakah ikan asal Teluk Jakarta telah tercemar dan berbahaya bagi kesehatan ? Teluk Jakarta, seperti diakui semua ahli, memang telah tercemar. Namun apakah ikan yang ditangkap dari sana telah melampaui ambang bahaya? Beberapa penelitian menunjukkan, kerang hijau yang dibudidayakan di perairan tersebut memang tercemar. Penelitian Nurjanah dan Dandi Syukmadi dari IPB, misalnya menunjukkan hal itu. Keduanya masing-masing meneliti kadar Hg (air raksa atau merkuri) dan Cd (kadmium) pada kerang hijau. Penelitian Nurjanah pada 1983 menunjukkan kadar Hg tercatat 2,2 ppm pada kerang kecil, 1,3 ppm pada kerang sedang, dan 0,3 ppm pada kerang besar. Padahal, menurut konsep WHO/FAO, nilai ADI (Acceptable Daily Intake = banyaknya logam berat yang masuk dalam tubuh tanpa mengganggu kesehatan) untuk logam ini sebesar 300 ug (nano gram) per minggu (1 gram = 107 nano ram). Karena itu, Nurjanah mengatakan, kerang hijau yang dibudidayakan di Teluk Jakarta masih aman dikonsumsi tiap hari sebanyak 5 kerang besar (berat total 41,25 gram), 5 kerang ukuran sedang (16,25 gram) dan 12 kerang kecil (10,78 gram). Ini berarti, dalam jumlah terbatas, memakan kerang hijau tidak berbahaya. Bagaimana dengan ikan? Menteri Emil Salim menegaskan, memakan ikan yang ditangkap di Teluk Jakarta "tak terlalu mencemaskan" (lihat Kuburan buat B3). Tentu saja ikan yang ditangkap di Teluk Jakarta tidak akan terus aman. Bila pencemaran bertambah berat, atau bila ada "kiriman pencemaran mendadak" seperti dua pekan silam, ikan ini bisa berbahaya. Namun, tidak semua orang mempercayai kesimpulan Menteri Emil. Dr. Meizar, seorang pencinta lingkungan hidup, misalnya, telah berhenti memakan ikan sejak enam tahun silam. "Bagaimana saya mau menikmatinya, kalau perairan dan biotanya sudah tercemar begitu?" katanya. Ia merasa kesal karena haknya sebagai warga negara terusik untuk menikmati makanan laut. Meizar agaknya merupakan pengecualian. Sebagian besar penduduk Jakarta tampaknya tak terusik atau tak peduli dengan ancaman pencemaran ikan itu. Buktinya, restoran yang menjual ikan bakar makin banyak. Restoran Nelayan Seafood di Ancol malah terus penuh tiap hari. Padahal, seporsi udang rebus di sini Rp 6.000, dan lobster saus cabe Rp 18.000. Harga itu belum termasuk pajak dan pelayanan yang 10 persen. Susanto Pudjomartono Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus