SALAH seorang yang mungkin paling disibukkan dengan berita kematian ikan di Teluk Jakarta adalah Menteri KLH Emil Salim. Soalnya, banyak mata dan pertanyaan dilontarkan ke arahnya. Senin malam lalu, seusai rapat untuk mencari jawaban atas misteri kematian itu, Emil Salim menerima wartawan TEMPO Ahmed Soeriawidjaja, Putut Tri Husodo, dan Moebanoe Moera. Sebagian dari wawancara itu: Bagaimana situasi terakhir Teluk Jakarta? Teluk Jakarta sudah tercemar, itu jelas. Ini sudah kita tahu sejak tahun 1982 yang lalu. Dan pencemaran yang terjadi hingga saat ini memang belum terkendali. Diperkirakan dari 200 industri di kawasan Jabotabek membuang bahan buangan berbahaya, atau biasa disebut B3, sekitar 280 ribu ton setiap tahun ke Teluk Jakarta. Sumber terberat yang mengakibatkan tercemarnya Teluk Jakarta oleh B3 ini adalah Sungai Sunter dan Sungai Cakung. Celakanya, tidak saja sungainya yang mengandung B3, tetapi juga air tanahnya sudah terkontaminasi. Jadi, buat penduduk yang tinggal di kawasan kedua sungai itu, kata kuncinya adalah, masaklah air dengan baik. Dus, bahwa Teluk Jakarta sudah tercemar, kita sudah tahu. Dan karena itu ada program pengendalian Sunter-Cakung Environmental Management (SCEM). Programnya, antara lain, meminta kepada 200 industri yang menggunakan logam berat tadi, agar tidak lagi membuang limbahnya yang berbahaya itu ke sungai-sungai. Untuk menghadapi ancaman B3 itu, upaya apa saja yang sudah dilakukan? Karena sepanjang pantai Teluk Jakarta secara keseluruhan sudah tercemar, untuk membudidayakan ikan yang stationer, seperti kerang, tidak lagi diberikan izin. Paling dekat, jika ingin membudidayakan ikan, boleh dilakukan di Pulau Onrust yang telah melampaui batas perairan pantai Teluk Jakarta. Apa pegangan untuk menentukan ambang batas terjadinya pencemaran oleh industri-industri yang membuang limbahnya ke sungai-sungai? Itu bergantung pada peruntukan ambang batas yang digunakan. Misalnya untuk air sungai, bisa diperuntukkan kepada empat kategori, yaitu, kategori air minum, air pertanian, air industri, dan air kehidupan biota. Jadi, sungai seperti Sunter dan Cakung, ambang batas yang digunakan adalah yang dlperuntukkan bagi industri, dan bukan diperuntukkan buat air pertanian, apalagi buat diminum. Lalu, bagaimana dengan rencana pengendalian B3 di Teluk Jakarta? Untuk pengendalian B3 ini, pemerintah mempunyai rencana untuk menyiapkan pembuangan zat berbahaya tadi secara tersendiri. Tempat pembuangannya memerlukan persyaratan tertentu, seperti tidak boleh meresap sehingga masuk pada air tanah, banyak persyaratan keamanan lainnya. Kini, di lokasi yang sudah disediakan itu, sedang dilakukan pekerjaan tahap awal, seperti pengeboran Nah, di situlah disediakan "kuburan" untuk bahan yang berbahaya tadi. Tempat penyimpanan B3 ini, prosesnya dapat berupa recycling untuk memungkinkan B3 ini dapat diekspor sebagai bahan baku. Bisa juga disimpan dengan jalan ditimbun dan kemudian dibakar. Yang penting, yang mau saya katakan, pemerintah tidak ongkang-ongkang kaki saja. Secara kongkret, pembiayaan untuk rencana ini sudah dianggarkan pada tahun 1986/1987, dan biaya seluruhnya diperkirakan akan menghabiskan US$ 3,5 juta. Sebagai negara yang lebih berpengalaman dalam menangani masalah B3, Norwegia ikut membantu kita. Apa yang kurang dari perangkat UU, kok di sana-sini masih saja ada pelanggaran yang mengganggu kelestarian lingkungan hidup? Kita mesti fair, lingkungan hidup adalah persoalan baru buat kita. Itu bisa dilihat dari lahirnya UU tentang Lingkungan Hidup pada 1982. Jadi, jangan berharap perubahan secara tiba-tiba, ibarat hitam menjadi putih. Artinya, kita tidak bisa menyalahkan industri-industri yang ada sejak sebelum diberlakukannya UU tentang Lingkungan Hidup. Kuncinya, pada akhirnya, terletak pada pengawasannya. Sehingga masalahnya, apakah peraturan-peraturan itu terwujudkan atau tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini