Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Sederet Alasan Aliansi Zero Waste Indonesia Sanggah Klaim Sukses Pengelolaan Sampah Banyumas

Menurut AZWI, pengelolaan sampah di Banyumas kerap dianggap sebagai model keberhasilan dan banyak daerah yang mendorong untuk replikasi.

22 Maret 2025 | 20.45 WIB

Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) di Banyumas, Jateng sudah dilengkapi mesin pemilah sampah antara sampah organik dan anorganik yang dikelola oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dengan hasil akhir berupa pupuk kompos, paving, bata, biji plastik, dan juga bubur sampah organik sebagai bahan baku biomassa. Dok. PLN.
Perbesar
Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) di Banyumas, Jateng sudah dilengkapi mesin pemilah sampah antara sampah organik dan anorganik yang dikelola oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dengan hasil akhir berupa pupuk kompos, paving, bata, biji plastik, dan juga bubur sampah organik sebagai bahan baku biomassa. Dok. PLN.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Bandung - Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyoroti berbagai kelemahan dalam tata kelola pengelolaan sampah di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Aliansi menilai keberhasilan pengelolaan sampah di daerah itu masih bersifat semu. Alasannya karena tidak memenuhi prasyarat utama tata kelola, yaitu regulasi yang jelas, kelembagaan yang kuat dan keberlanjutan, serta pendanaan yang memadai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut AZWI, pengelolaan sampah di Banyumas kerap dianggap sebagai model keberhasilan dan banyak daerah yang mendorong untuk replikasi. Namun, AZWI menemukan kenyataan di lapangan bahwa masalah dasar sampah belum terselesaikan dan tergolong sangat serius. Selain itu partisipasi berbagai pemangku kepentingan dalam proses pengelolaan sampah dinilai masih belum optimal di Banyumas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Mengembangkan kebijakan dan proyek nasional berdasarkan kesuksesan sementara, tanpa fondasi tata kelola yang kuat, menyebabkan terjadinya pemborosan APBN dan APBD serta menyebabkan kita kehilangan waktu untuk mengatasi krisis sampah secara tuntas,” kata Direktur Eksekutif Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) di Bandung David Sutasurya lewat keterangan tertulis, Jumat 21 Maret 2025.

David menyorongkan data 2024 yang mencatat penumpukan limbah di berbagai fasilitas pengelolaan sampah di Kabupaten Banyumas sekitar 5.000 ton. Kondisi itu dipicu oleh kendala teknis dan keterbatasan teknologi yang belum memenuhi standar kualitas, sehingga berpotensi menimbulkan dampak lingkungan yang lebih luas.

Alih-alih mendorong pencegahan dan pengurangan sampah dari sumbernya, kebijakan yang didorong dan diterapkan diamatinya masih bertumpu pada teknologi mahal yang tidak menyelesaikan akar permasalahan tata kelola. Menurut David, kelemahan tata kelola yang tidak tepat ini berisiko menimbulkan beban jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan di Banyumas.

Seperti yang disamaikan pula oleh Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali Catur Yudha Hariani, dalam keterangan tertulis yang sama, “Pemilahan sampah di sumber adalah cara terbaik untuk memastikan pengelolaan sampah yang efisien dan berkelanjutan.” Sedangkan yang terjadi saat ini adalah memilah sampah tercampur dengan berbagai teknologi pemusnah sampah dan sistem berbiaya tinggi yang akhirnya mangkrak, tidak berkelanjutan karena pemerintah daerah tidak mampu membiayai. 

AZWI juga membantah klaim kesuksesan pemerintah Kabupaten Banyumas yang mengubah sampah menjadi Refuse Derived Fuel (RDF). Kenyataan di lapangan, klaim itu dinilai masih jauh dari optimal.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh Nol Sampah pada 2024, sampel bahan baku RDF dan paving yang dibuat mengandung klorin. Temuan ini mengindikasikan potensi pelepasan senyawa karsinogen dioksin dan furan selama proses pembakaran. “Bahan baku paving plastik di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Banyumas terdiri dari plastik campuran tanpa ada pemilahan,” kata Direktur Nol Sampah Surabaya Hermawan Some, juga dalam keterangan tertulis yang sama.

Karena itu menurutnya, perlu ada pencegahan dan pemantauan emisi dioksin dan furan seperti diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 70 tahun 2016. Alasannya karena dampak proses pembakaran plastik campuran itu akan menghasilkan beban kesehatan jangka panjang bagi masyarakat dan kontaminasi rantai makanan.

Direktur ECOTON Daru Setyorini mencontohkan sejumlah kota di dunia yang dinilainya benar-benar sukses mengolah sampah. Di antaranya adalah San Fernando di Filipina yang disebutkannya dalam waktu satu tahun berhasil meningkatkan pengumpulan sampah organik dan daur ulang dari 12 menjadi 80 persen saat ini. "Caranya dengan membatasi timbulan sampah, pengumpulan terpilah dan pengomposan komunal di tiap desa tanpa aktivitas pemusnahan," tuturnya, di bagian lain keterangan tertulis AZWI.

Dengan peraturan yang tegas, Daru mengungkap, semua desa menyediakan sarana dan menjalankan sistem layanan pengelolaan sampah terpilah serta pengolahan organik. Pemerintah Filipina juga disebutkannya melakukan penilaian tahunan pada kinerja desa dan akan memberikan sanksi jika pengelolaan sampah tidak dilaksanakan dengan baik.

“Kemampuan pemerintah sebagai regulator yang kuat bagi produsen dan sumber sampah merupakan faktor kunci keberhasilan pengelolaan sampah di berbagai kota maju,” ujar Daru lagi.

AZWI menilai kebuntuan peningkatan kinerja pengelolaan sampah di Indonesia terkait dengan berbagai kebijakan pemerintah pusat yang belum berhasil menciptakan ekosistem tata kelola secara kondusif. Aliansi menyambut baik inisiatif dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk menerapkan penegakan hukum yang tegas bagi kabupaten dan kota. “Namun masih banyak pekerjaan lain yang perlu diselesaikan untuk membangun ekosistem tata kelola yang mendukung pemerintah daerah,” kata David Sutasurya.

Versi Pemda Banyumas

Dikutip dari artikel dalam laman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang terbit pada 27 Juli 2024, Pemerintah Kabupaten Banyumas mengeluarkan kebijakan tentang pengelolaan sampah pasca ditutupnya TPA di daerah itu dengan nama Sumpah Beruang (Sulap Sampah Berubah Uang). Kebijakan antara lain pengolahan sampah dilakukan secara terintegrasi dari hulu ke hilir.

Dari hulu, masyarakat wajib memilah sampah dari sumber, disiapkan aplikasi berbasis informasi teknologi  berupa SALINMAS dan JEKNYONG, serta masyarakat mendapat reward berupa uang. Pada bagian tengah, pengolahan sampah dilakukan oleh kelompok-kelompok swadaya masyarakat di TPST/TPS 3R/PDU. 

"Untuk daerah hilir, sisa pengolahan sampah di TPST/PDU/TPS 3R diolah di TPA BLE oleh pemerintah, dan residunya dibakar dengan pirolisis non insenerator,” ujarSekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyumas Arif Sugiono dalam webinar Pengelolaan Sampah untuk dapat Bermanfaat Terhadap Lingkungan dan Ekonomi.

Dia melanjutkan, semua sampah diolah menjadi produk bernilai ekonomi, ekonomi sirkuler, menyerap tenaga kerja di masyarakat, dan tidak ada sampah yang dibuang di TPA. Kelompok Swadaya Masyarakat sebagai operator, pemerintah sebagai regulator. "Perda retribusi sampah dihilangkan, masyarakat membayar iuran sampah langsung kepada KSM yang besarannya ditentukan berdasarkan kesepakatan,” katanya menambahkan saat itu.

Anwar Siswadi (Kontributor)

Kontributor Tempo di Bandung

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus